Yesus Sejarah, Disalibkan Saat Pontius Pilatus Berkuasa

Yesus yang disalibkan, wafat dan dimakamkan, dan bangkit dari kematian.
Yesus-sejarah disalibkan, wafat, dimakamkan, dan bangkit dari kematian.

Oleh Br. Cosmas Damianus

Benarkah Yesus pernah disalibkan?

Pertanyaan klasik ini sering muncul. Ya, benarkah Yesus pernah disalibkan? Atau semuanya sekadar kisah mitologi yang disulam dengan keyakinan? 

Dalam ranah akademik, terutama sejarah, pertanyaan itu dijawab bukan hanya lewat iman, melainkan melalui bukti-bukti konkret.

Injil memang mencatat hal yang demikian ini: “Mereka membawa Yesus ke hadapan Pilatus” (Lukas 23:1), dan “Pilatus menyerahkan-Nya kepada mereka agar disalibkan” (Yohanes 19:16). Namun yang menarik, kisah itu tidak berhenti di ruang iman. Catatan di luar lingkup Kristen justru meneguhkan detail yang sama.

Sumber dari luar Injil tentang Yesus yang disalibkan

Flavius Yosefus, sejarawan Yahudi yang menulis Antiquities of the Jews sekitar tahun 93 M, mencatat: “Yesus… yang dikenal sebagai Kristus, dihukum salib oleh Pilatus.” 

Tacitus, sejarawan Romawi yang terkenal ketat, menuliskan dalam Annals tahun 116 M: “Kristus… dieksekusi atas perintah Pontius Pilatus pada masa Kaisar Tiberius.” 

Dua sumber ini tidak bisa disepelekan karena datang dari sumber sejarah yang bukan pengikut Yesus. Artinya, ada verifikasi pihak lain, di luar teks Injil, yang membenarkan peristiwa dan fakta penyalibab Yesus.

Pontius Pilatus sendiri bukan tokoh imajiner. Batu bertuliskan Pilate Stone yang ditemukan tahun 1961 di Kaisarea membuktikan keberadaannya sebagai prefek Yudea dari tahun 26 hingga 36 M. 

Talmud Babilonia, Sanhedrin 43a, bahkan menyinggung hukuman mati Yesus di masa Pilatus. Bukti arkeologis lain semakin memperkuat gambaran itu. Pada 1968, arkeolog menemukan tulang pergelangan kaki dengan paku tertancap di Yerusalem, bukti nyata teknik penyaliban Romawi.

Sejarawan modern, termasuk Bart Ehrman, seorang agnostik yang kritis, mengatakan dalam bukunya Did Jesus Exist? (2012): “Penyaliban Yesus oleh Pilatus adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan.” 

Dengan begitu, peristiwa itu menembus sekat antara iman dan ilmu pengetahuan. Yesus bukan tokoh khayalan yang melayang di ruang mitologi, melainkan sosok historis yang benar-benar dieksekusi di era politik Romawi.

Namun, sejarah tidak berhenti pada angka dan bukti arkeologi. Di baliknya, ada tubuh manusia yang tergantung di kayu salib. Gereja Katolik memilih menghadirkan tubuh itu di salib-salibnya. Bukan salib kosong, tetapi corpus yang memperlihatkan penderitaan, sekaligus realitas inkarnasi. Santo Ireneus, abad kedua, menekankan: “Yesus sungguh menderita dalam tubuh jasmani.”

Jika salib kosong sering dipakai tradisi Kristen lain untuk menekankan kebangkitan, salib dengan tubuh Yesus dalam Katolik berbicara tentang realisme sejarah. Bahwa eksekusi itu nyata. Bahwa ada tubuh yang dipaku. Bahwa darah itu menetes. Inilah titik temu antara fakta dan iman.

Politik Kekuasaan dan Jalan Menuju Salib

Penyaliban Yesus tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik. Pilatus, seorang prefek yang terkenal keras, sering dicatat suka menggunakan kekerasan demi menjaga ketertiban. Dalam konteks kolonial Romawi, penyaliban adalah hukuman untuk pemberontak atau budak yang dianggap melawan. Salib bukan hanya alat mati, melainkan pesan publik: jangan coba-coba melawan kekaisaran.

Yesus dituduh mengaku sebagai Raja orang Yahudi. Tuduhan ini berbahaya, sebab di telinga penguasa Romawi, istilah raja berarti potensi politik. Walau Pilatus tampak ragu, tekanan massa dan elite Yahudi membuatnya akhirnya menyerahkan Yesus untuk disalib. Dengan begitu, Yesus dieksekusi bukan hanya karena teologi, melainkan juga karena politik kuasa.

Pola seperti ini tidak asing jika dilihat dari pengalaman Indonesia. Di Kalimantan Barat, orang Dayak mengalami bentuk “penyaliban sosial” ketika lahan adat mereka dirampas oleh perusahaan perkebunan besar. Bukan tubuh yang dipaku di kayu, tetapi harga diri dan identitas yang terikat dalam sistem hukum yang berat sebelah. Seperti Yesus di hadapan Pilatus, mereka menghadapi kuasa besar yang sulit ditandingi. Perlawanan bisa saja muncul, tetapi risikonya amat besar.

Di Flores, umat Katolik punya kenangan panjang tentang kekuasaan kolonial. Pada masa Portugis, gereja berdiri tetapi sering bersanding dengan kepentingan dagang dan dominasi politik. Banyak orang kecil merasa “dikorbankan” demi kepentingan elite. Salib dalam sejarah lokal bukan sekadar simbol iman, melainkan juga pengalaman konkret tentang penderitaan yang lahir dari ketidakadilan.

Sementara di Jawa, pengalaman salib tampak dalam cerita rakyat tentang petani yang harus menyerahkan hasil panen ke penguasa kolonial. Mereka tidak disalib di tiang kayu, tetapi diperas tenaga dan hasil bumi, sementara suara mereka tak terdengar. Sama seperti Yesus, orang-orang kecil itu berhadapan dengan struktur kuasa yang dingin dan keras.

Penyaliban Yesus di masa Pilatus bukan peristiwa yang jauh. Peristiwa penyaliban Yesus bergema dalam pola sejarah manusia: ketika yang kecil berhadapan dengan kuasa besar, dan tubuh baik tubuh fisik maupun tubuh sosial yang akhirnya dikorbankan.

Tubuh, Luka, dan Pengalaman Iman

Tubuh Yesus yang tergantung di salib mengingatkan kita bahwa iman Kristen tidak berangkat dari mitos, melainkan dari pengalaman tubuh yang nyata.

Markus 15:24 singkat mencatat “Mereka menyalibkan Dia.” Frasa sederhana, tetapi mengguncang. Ada tubuh yang dipaku. Ada napas yang tertahan. 

Ada luka yang terbuka, yakni pada lambung Yesus yang ditikam oleh serdadu Romawi. Secara saksama peristiwa dan fakta sejarah ini dicatat oleh Yohanes 19:34:

"Tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air."

Konteks penikaman keji itu adalah bahwa setelah Yesus disalibkan dan sudah mati, prajurit Romawi memastikan kematian-Nya. Alih-alih mematahkan kaki-Nya seperti dilakukan pada dua penjahat lain, salah seorang prajurit menikam lambung Yesus dengan tombak. Dari sana keluar darah dan air; detail yang sangat khas Injil Yohanes.

Beberapa tafsir menyebut keluarnya darah dan air itu melambangkan: darah sebagai korban Yesus yang menebus manusia. Sedangkan air adalah tanda kehidupan baru, rahmat, dan sakramen baptisan.

Dalam Injil Yohanes 19:34 dicatat bahwa seorang serdadu Romawi menikam lambung Yesus dengan tombak, dan seketika itu mengalir keluar darah dan air; peristiwa ini bukan hanya menjadi tanda nyata kematian-Nya, melainkan juga mengandung makna rohani yang dalam: darah melambangkan penebusan dosa manusia, sementara air menunjuk pada kehidupan baru dan rahmat yang mengalir bagi orang beriman, sehingga luka terbuka di lambung Yesus menjadi sumber keselamatan sekaligus simbol kasih yang tak terbatas.

N.T. Wright, dalam The Resurrection of the Son of God (2003), menyebut penyaliban Yesus sebagai “titik balik sejarah.” Di satu sisi, ia adalah penghinaan ala Romawi; di sisi lain, ia membuka jalan bagi iman yang menembus batas politik dan budaya. Dari tubuh yang terluka, lahir gerakan rohani yang mengubah dunia.

Pengalaman iman ini masih terasa nyata dalam kehidupan umat. Ketika saya berjalan di Via Dolorosa di Yerusalem, jalur yang dipercaya dilalui Yesus menuju Golgota, suasana terasa begitu hidup. Bau dupa dari kapel-kapel kecil bercampur dengan teriakan pedagang di pasar Arab. Seakan sejarah berulang: penderitaan berjalan berdampingan dengan hiruk-pikuk dunia. Salib tidak diletakkan di museum; ia hadir di tengah kehidupan.

Di Kalimantan Barat, tubuh masyarakat yang kehilangan tanah adat menjadi “salib modern.” Mereka membawa luka sosial, tetapi dalam doa di kapel-kapel kecil, mereka menemukan Yesus yang juga pernah diperlakukan tidak adil. Kisah penyaliban memberi daya tahan untuk terus bertahan. Salib Yesus ditemukan tergantung di leher mereka. Atau di genggaman tangan dalam untaian Rosario.

Di Flores, banyak umat yang setia memikul salib dalam bentuk kemiskinan sehari-hari. Namun, mereka merayakan iman dengan prosesi jalan salib yang meriah setiap pekan suci. Tubuh mereka yang lelah oleh kerja di ladang seakan menemukan rekan seperjalanan dalam tubuh Yesus yang jatuh di jalan menuju Golgota.

Di Jawa, penderitaan sosial sering digambarkan dalam teater rakyat atau tembang yang menyiratkan pasrah. Salib Yesus masuk dalam bahasa budaya: penderitaan tidak dihapus, tetapi dimaknai sebagai jalan menuju kebangkitan.

Tubuh yang tergantung di kayu salib, dengan luka-luka yang terbuka, terus berbicara lintas zaman. Ia menegaskan bahwa iman tidak steril dari sejarah. Sebaliknya, iman menubuh dalam sejarah yang penuh luka, agar manusia berani melihat penderitaan bukan sekadar tragedi, melainkan bagian dari jalan menuju pembaruan.

Dari Sejarah ke Iman: Resonansi di Nusantara

Pertanyaan “apakah Yesus sungguh disalibkan?” dijawab dengan tegas oleh sejarah. Bukti arkeologi, catatan sejarawan, dan kesaksian Kitab Suci bertemu pada satu titik: Ya, penyaliban itu nyata. Namun iman Katolik melangkah lebih jauh: bukan hanya fakta sejarah, melainkan jalan keselamatan.

Salib dengan tubuh Yesus yang tergantung bukan dekorasi. Ia adalah pengingat akan sejarah yang pahit, tetapi sekaligus sumber kekuatan untuk hidup. Dalam setiap salib di rumah orang Katolik di Kalimantan, Flores, atau Jawa, umat diajak mengenang bahwa Tuhan sendiri pernah masuk ke dalam penderitaan manusia.

Di Kalimantan Barat, ketika warga menghadapi konflik lahan, banyak yang menggantungkan salib di rumah mereka. Bukan untuk menolak hukum negara, melainkan untuk mengingatkan diri bahwa penderitaan bisa dipikul bersama Yesus. Di Flores, salib di jalan-jalan desa menjadi penanda iman yang kokoh meski ekonomi terbatas. Di Jawa, salib berdiri di tengah sawah, sederhana namun kuat, menyatukan doa petani dengan kerja keras sehari-hari.

Pengalaman ini memperlihatkan bahwa sejarah Yesus tidak berhenti dua ribu tahun lalu di Yerusalem. Ia berlanjut dalam kehidupan sehari-hari umat di Nusantara. Tubuh yang disalibkan di masa Pilatus kini menjadi tubuh iman yang menyatukan manusia dari berbagai pulau dan budaya.

Sejarah memberi kepastian bahwa Yesus pernah dieksekusi. Iman memberi kedalaman bahwa eksekusi itu bukan akhir. Dari kayu salib, lahir harapan baru. Dari tubuh yang dipaku, lahir tubuh rohani yang menyatukan dunia.

Dan ketika kita memandang salib dengan tubuh Yesus, kita tahu: ini bukan legenda. Ini bukan mitos. Ini sejarah yang menubuh. Ini iman yang menghidupkan.

Pontianak, 14 September 2025

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org