Orang Kristen Mengikuti dan Bertuhan pada Yesus yang Disalibkan, Wafat, Bangkit, dan Naik ke Surga
Garansi bagi orang Kristen mengikuti Yesus yang datang dari dan kembali ke surga. Ist. |
Oleh Sr. Tanti Yosepha
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, iman Kristen tetap menjadi pondasi miliaran orang di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia yang multikultural, iman akan Tuhan yang datang ke dunia menyelamatkan umat pilihan-Nya, tetap mengemuka.
Tidak syak lagi bahwa sosok Yesus Kristus sejarah adalah sentral dalam agama Kristen bukan hanya seorang guru atau nabi, melainkan Tuhan (Lord) yang disembah dan diikuti.
Keyakinan
utama umat Kristen berpusat pada peristiwa-peristiwa krusial dalam
kehidupan-Nya: penyaliban, kematian, kebangkitan, dan kenaikan ke surga.
Peristiwa ini bukan sekadar cerita historis, tetapi fondasi teologis yang
membentuk identitas spiritual umat Kristen. Seperti yang tercatat dalam
Alkitab, peristiwa ini menjadi bukti kasih Allah yang tak terbatas dan janji
keselamatan bagi manusia.
Artikel ini akan mengeksplorasi keempat peristiwa tersebut, dengan merujuk pada ayat-ayat Alkitab yang relevan, serta refleksi atas maknanya bagi kehidupan sehari-hari.
Penyaliban Yesus: Pengorbanan Kasih Ilahi
Penyaliban Yesus Kristus merupakan puncak penderitaan-Nya
sebagai manusia, sekaligus manifestasi kasih Allah yang rela berkorban demi
penebusan dosa manusia. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 30 Masehi di
Yerusalem, di bawah pemerintahan Romawi, di mana Yesus dituduh sebagai
pemberontak dan dihukum mati dengan cara disalibkan. Alkitab mencatat secara
rinci bagaimana Yesus dibawa ke Golgota, tempat penyaliban, setelah diadili
oleh Pontius Pilatus.
Salah satu ayat kunci adalah dalam Injil Matius 27:32-44, di mana digambarkan: "Mereka memaksa seorang yang lewat, yaitu Simon orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, memikul salib Yesus. Mereka membawa-Nya ke tempat yang bernama Golgota, yang berarti: Tempat Tengkorak. Di situ mereka memberi-Nya minum anggur bercampur empedu, tetapi sesudah merasakannya Ia menolaknya."
Ayat ini menggambarkan penderitaan fisik yang luar biasa,
termasuk pemakuan di tangan dan kaki, serta ejekan dari orang banyak. Injil
Markus 15:21-32 juga menambahkan detail serupa, menekankan bagaimana Yesus
ditempatkan di antara dua penjahat, memenuhi nubuat dalam Yesaya 53:12 yang
menyatakan bahwa Mesias akan "dihitung di antara pemberontak."
Mengapa orang Kristen mengikuti Yesus yang disalibkan? Karena penyaliban ini bukan kekalahan, melainkan kemenangan atas dosa. Seperti yang ditegaskan dalam 1 Petrus 2:24: "Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh."
Di
Indonesia, di mana toleransi antaragama menjadi isu penting sekaligus mahal, narasi ini
mengajarkan tentang pengorbanan tanpa pamrih. Bayangkan, dalam konteks sejarah,
penyaliban adalah hukuman bagi budak dan penjahat terburuk, namun Yesus
menerimanya secara sukarela. Ini menjadi teladan bagi umat Kristen untuk
menghadapi penderitaan hidup, seperti diskriminasi atau tantangan ekonomi,
dengan iman yang teguh.
Refleksi lebih lanjut, penyaliban Yesus juga menjadi simbol persatuan. Dalam Galatia 3:28, Paulus menulis: "Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus."
Di era globalisasi, di mana perpecahan rasial dan sosial marak,
pesan ini relevan. Riset dari sumber Alkitab menunjukkan bahwa peristiwa ini
tidak hanya historis, tetapi juga teologis, sebagaimana dikonfirmasi dalam
berbagai studi biblikal. Total bagian ini menambah kedalaman pemahaman,
mengingatkan bahwa mengikuti Yesus berarti merangkul salib sebagai jalan menuju
kehidupan abadi.
Kematian Yesus Penghapusan Dosa Manusia
Setelah penyaliban, kematian Yesus menandai akhir dari
penderitaan-Nya sebagai manusia. Alkitab mencatat bahwa Yesus menghembuskan
nafas terakhir-Nya sekitar pukul tiga sore, dengan kata-kata terakhir:
"Sudah selesai!" (Yohanes 19:30). Ini bukan akhir tragis, melainkan
pemenuhan rencana keselamatan. Injil Lukas 23:46 melukiskan: "Lalu Yesus
berseru dengan suara nyaring: 'Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan
nyawa-Ku.' Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya."
Ayat ini menunjukkan ketaatan total Yesus kepada Bapa-Nya, sekaligus konfirmasi kematian-Nya yang nyata. Dalam Roma 5:8, Paulus menjelaskan: "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa."
Kematian Yesus ini menjadi korban penebusan, menggantikan hukuman atas dosa manusia,
sebagaimana nubuat dalam Yesaya 53:5-6: "Tetapi dia tertikam oleh karena
pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang
mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh
bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh."
Bagi orang Kristen, kematian Yesus adalah dasar pengampunan
dosa. Ini mendorong introspeksi diri, terutama di masyarakat Indonesia yang
kaya akan tradisi spiritual. Misalnya, selama Paskah, umat Kristen merayakan
Jumat Agung untuk mengenang peristiwa ini, sering dengan puasa dan doa. Dalam
konteks modern, di mana isu korupsi dan ketidakadilan merajalela, pesan ini
mengajak untuk meninggalkan dosa dan hidup baru. Seperti yang dinyatakan dalam
2 Korintus 5:21: "Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi
dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah."
Validasi dari Alkitab menunjukkan bahwa kematian ini bukan
fiksi, melainkan fakta historis yang dikuatkan oleh saksi mata, seperti yang
tercatat dalam 1 Korintus 15:3-4: "Sebab yang sangat penting telah
kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, yakni bahwa
Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci." Ini
menjadi alasan mengapa orang Kristen bertuhan pada-Nya: kematian-Nya membuka
jalan rekonsiliasi dengan Allah.
Kebangkitan Yesus: Harapan Hidup yang Baru
Kebangkitan Yesus dari kematian adalah puncak iman Kristen,
membuktikan kuasa-Nya atas maut. Peristiwa ini terjadi pada hari ketiga setelah
kematian-Nya, sebagaimana diramalkan-Nya sendiri. Injil Matius 28:1-10
menggambarkan: "Setelah hari Sabat lewat, menjelang fajar pada hari
pertama minggu itu, pergilah Maria Magdalena dan Maria yang lain, menengok
kubur itu. Maka terjadilah gempa bumi yang hebat sebab seorang malaikat Tuhan
turun dari sorga dan datang ke batu itu dan menggulingkannya lalu duduk di
atasnya."
Ayat kunci lainnya adalah Yohanes 11:25-26: "Kata Yesus
kepadanya: 'Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia
akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya
kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.'" Ini menjanjikan kehidupan
abadi bagi pengikut-Nya. Dalam Roma 6:4, Paulus menambahkan: "Sebab itu
kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian,
supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh
kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru."
Kebangkitan ini menjadi sumber harapan, terutama di masa
sulit seperti pasca-pandemi COVID-19 di Indonesia, di mana banyak keluarga
kehilangan orang tercinta. Umat Kristen melihat kebangkitan sebagai bukti bahwa
maut bukan akhir. Seperti yang ditekankan dalam 1 Korintus 15:20-22:
"Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara
orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal. Sebab
sama seperti maut datang oleh satu orang manusia, demikian juga kebangkitan
orang mati datang oleh satu orang manusia."
Refleksi ini mengajak orang Kristen untuk hidup dengan
optimisme, berkontribusi pada masyarakat melalui pelayanan sosial. Sumber
biblikal mengonfirmasi bahwa kebangkitan disaksikan oleh ratusan orang,
menjadikannya fondasi iman yang tak tergoyahkan. Mengikuti Yesus yang bangkit
berarti merangkul kehidupan yang penuh kuasa dan tujuan.
Kenaikan Yesus ke Surga dan Janji Kedatangan Kembali
Akhirnya, kenaikan Yesus ke surga menandai pemuliaan-Nya dan janji kedatangan kembali. Peristiwa ini terjadi 40 hari setelah kebangkitan, di Bukit Zaitun. Kisah Para Rasul 1:9-11 mencatat: "Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka.
Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu,
tiba-tiba berdirilah dua orang berpakaian putih bijaksana di dekat mereka, dan
berkata kepada mereka: 'Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri
melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan
datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke
sorga.'"
Ayat ini menjanjikan parousia, atau kedatangan kedua Yesus.
Dalam Lukas 24:50-53, digambarkan: "Kemudian Ia membawa mereka ke luar
kota sampai dekat Betania. Di situ Ia mengangkat tangan-Nya dan memberkati
mereka. Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan
terangkat ke sorga." Ini menjadi dasar keyakinan akan kerajaan Allah yang
akan datang.
Bagi orang Kristen, kenaikan ini berarti Yesus kini duduk di
sebelah kanan Bapa, menjadi Pengantara (Ibrani 7:25: "Sebab itu Ia sanggup
juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia menghampiri Allah,
karena Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka"). Di
Indonesia, di mana harapan akan keadilan sosial tinggi, pesan ini menginspirasi
untuk hidup suci sambil menanti kedatangan-Nya.
Seperti yang dinyatakan dalam Efesus 4:8-10: "Itulah sebabnya kata nas: 'Tatkala Ia naik ke tempat tinggi, Ia membawa tawanan-tawanan; Ia memberikan pemberian-pemberian kepada manusia.'"
Kenaikan ini juga menandai pengutusan Roh Kudus, sebagaimana janji dalam
Yohanes 16:7. Mengikuti Yesus yang naik ke surga berarti hidup dengan visi
eskatologis, penuh harapan dan tanggung jawab.
Orang Kristen mengikuti dan bertuhan pada Yesus yang disalibkan, wafat, bangkit, dan naik ke surga karena peristiwa ini membentuk narasi keselamatan yang lengkap.
Dari pengorbanan hingga pemuliaan, iman ini menawarkan jawaban atas misteri hidup dan maut.
Di tengah dunia yang penuh
ketidakpastian, keyakinan ini menjadi sumber kekuatan. Semoga refleksi ini
menginspirasi pembaca untuk mendalami Alkitab lebih lanjut. Menjadikan Alkitab sebagai Firman tertulis yang disampaikan Firman yang Hidup yang datang ke dunia menjadi "daging" dan tinggal di antara manusia.