Salib, antara Latria dan Dulia: Jawaban Jitu kepada Tuduhan Menyembah
Di balik salib, ada Tuhan kita yang menakutkan bagi yang tidak percaya dan bagi yang percaya menjadi perisai. Grok AI. |
Di balik salib, ada Tuhan kita yang menakutkan bagi yang tidak percaya. Namun, bagi yang percaya sebagai perisai.
Sebagai orang Katolik, kita kerap menghadapi pertanyaan
tentang penggunaan salib dalam liturgi dan devosi pribadi umat Katolik, khususnya
tuduhan bahwa kita menyembah salib itu sendiri.
Apakah orang Katolk menyambah salib?
Pertanyaan ini tidak hanya relevan dalam dialog antaragama
tetapi juga mencerminkan kebutuhan mendesak untuk memperjelas doktrin Gereja.
Baca Verbum Dei: Ketika Firman Menjadi Daging, Berbicara, dan Dituliskan
Artikel ini akan mengeksplorasi makna teologis salib dalam
tradisi Katolik, membedakan antara latria (penyembahan) dan dulia
(penghormatan), serta menjawab kesalahpahaman dengan merujuk pada Kitab Suci,
Katekismus Gereja Katolik, dan karya teolog terkemuka seperti Santo Thomas
Aquinas dan Santo Agustinus. Tujuannya adalah memberikan pemahaman yang
mendalam sekaligus pastoral untuk membina iman umat.
Doktrin Katolik tentang Penyembahan
Penyembahan sejati (latria) dalam tradisi Katolik
hanya ditujukan kepada Allah dalam misteri Tritunggal: Bapa, Putra (Yesus
Kristus), dan Roh Kudus. Dasar ini berakar pada perintah pertama Sepuluh Hukum,
sebagaimana tercatat dalam Keluaran 20:3-5:
“Jangan ada bagimu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung
yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di
bawah, atau yang ada di air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya
atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang
cemburu.”
Gereja dengan tegas menolak idolatri, yakni penyembahan benda ciptaan sebagai
pelanggaran terhadap hukum ilahi. Salib, sebagai benda fisik, tidak memiliki
hakikat ilahi dan oleh karena itu tidak dapat menjadi objek latria.
Baca Yesus Adalah Firman yang Menjadi Manusia: Logos, Rhema, dan Graphein
Katekismus Gereja Katolik (KGK) memberikan kerangka teologis
yang jelas dalam paragraf 2131-2132:
“Pemakaian gambar-gambar keagamaan dalam Gereja Katolik tidak bertentangan
dengan larangan dalam Perintah pertama Kitab Suci. Gambar-gambar ini, termasuk
salib, digunakan untuk menghormati (dulia) apa yang digambarkan, yaitu Kristus
atau para kudus, dan bukan sebagai penyembahan (latria) kepada benda itu
sendiri.”
Distingsi ini mencerminkan tradisi apostolik yang konsisten, yang membedakan
penghormatan kepada gambar suci dari penyembahan kepada Allah.
Makna Teologis Salib dalam Tradisi Katolik
Salib bukan sekadar simbol historis; ia adalah pusat misteri
penebusan dalam teologi Katolik. Berikut adalah dimensi teologisnya:
- Instrumen
Penebusan: Salib adalah alat di mana Yesus Kristus, Putra Allah,
menawarkan diri-Nya sebagai kurban untuk dosa umat manusia, sebagaimana
dinyatakan dalam Yohanes 3:16:
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”
Santo Thomas Aquinas, dalam Summa Theologiae (III, q. 48, a. 2), menegaskan bahwa salib adalah tanda cinta ilahi yang tak terucapkan, bukan benda yang disembah. - Alat
Liturgi dan Devosi: Dalam liturgi Katolik, salib krusifik—salib dengan
gambar Yesus yang disalib—digunakan untuk mengingatkan umat akan
penderitaan dan kebangkitan-Nya. Pada hari Jumat Agung, ritus penghormatan
salib (Adoratio Crucis) melibatkan umat mencium salib sebagai tanda
syukur atas penebusan, bukan sebagai penyembahan kayu itu sendiri.
- Simbol
Kemenangan: Sejak penglihatan Kaisar Konstantinus (312 M), salib
menjadi tanda kemenangan iman Kristen, sebagaimana dijelaskan oleh Santo
Agustinus dalam De Civitate Dei (Buku X). Namun, kemenangan ini
tidak menjadikan salib sebagai dewa, melainkan pengingat kehadiran
Kristus.
Praktik Devosi dan Potensi Kesalahpahaman
Meskipun salib tidak disembah, praktik devosi tertentu dapat
memicu kesalahpahaman:
- Ritual
Penghormatan: Umat Katolik sering mencium salib, membuat tanda salib,
atau berlutut di depannya selama doa. Ini adalah bentuk dulia,
penghormatan kepada apa yang diwakili salib yaitu Yesus bukan kayu atau
logamnya. KGK paragraf 2132 menegaskan bahwa tindakan ini membantu umat
memusatkan hati pada Kristus.
- Perbedaan
dengan Tradisi Lain: Dalam Protestanisme, penggunaan salib lebih
minimalis, sering kali tanpa gambar Yesus, untuk menghindari persepsi
idolatri. Hal ini kadang memperkuat anggapan bahwa Katolik “menyembah”
salib karena ritualnya yang lebih terlihat.
- Perspektif
Eksternal: Dalam dialog dengan agama yang menekankan
tauhid tanpa representasi visual, tindakan berdoa di depan salib bisa
disalahartikan sebagai penyembahan berhala. Namun, teologi Katolik dengan
tegas menolak kedangkalan dan ketidakmengertian tersebut. Mispersepsi yang sangat fatal!
Bukti Teologis dan Historis
Kebenaran bahwa salib tidak disembah didukung oleh:
- Kitab
Suci: Konsistensi dengan larangan idolatri dalam Perjanjian Lama
(Yesaya 44:9-20) dan penegasan penebusan melalui salib dalam Perjanjian
Baru (1 Korintus 1:18: “Karena pemberitaan tentang salib memang adalah
kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang
diselamatkan, pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.”).
- Tradisi
Gereja: Konsili Nicea II (787 M) mengesahkan penggunaan gambar suci,
termasuk salib, sebagai alat devosi, bukan penyembahan, dengan dukungan
dari Paus Gregorius yang Agung, yang menyebut ikon sebagai “buku bagi
orang buta.”
- Pemikiran
Teolog: Santo Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae (II-II, q.
94, a. 4) menegaskan bahwa penghormatan kepada gambar suci adalah relatif,
mengarah pada prototipe (Kristus), bukan benda itu sendiri.
Respons Pastoral terhadap Kesalahpahaman
Sebagai seorang Katolik, kita patut untuk memahami bahwa salib adalah sakramen visual; jendela menuju misteri penebusan.
Baca Umat Allah di Kalimantan dalam Tekanan terutama soal Lahan dan Arus Modernisasi
Bagi yang
memandang ritual kita dengan curiga, kita dapat menjelaskan bahwa tindakan
mencium salib mirip dengan mencium foto orang tercinta, bukan menyembah kertas
atau bingkainya. Dialog antaragama, seperti yang dianjurkan oleh Konsili
Vatikan II dalam Nostra Aetate, dapat membantu menjembatani perbedaan
ini dengan kasih dan kebenaran.
Kesimpulan
Umat Katolik tidak menyembah salib. Salib adalah simbol suci yang mengingatkan kita akan pengorbanan dan kebangkitan Yesus Kristus, digunakan dalam devosi sebagai alat untuk menghormati-Nya, bukan sebagai Tuhan itu sendiri.
Tuduhan penyembahan muncul dari kurangnya pemahaman teologis dan perbedaan budaya ritual.
Dengan pendekatan teologis yang berakar pada Kitab
Suci dan tradisi Gereja, kita dapat memperkuat iman kita sekaligus membangun
jembatan pemahaman dengan sesama pencari kebenaran.
-- Lukas Suyudi
Referensi
- Alkitab,
Keluaran 20:3-5, Yohanes 3:16, 1 Korintus 1:18, Yesaya 44:9-20
- Katekismus
Gereja Katolik, paragraf 2131-2132
- Santo
Thomas Aquinas, Summa Theologiae (III, q. 48, a. 2; II-II, q. 94,
a. 4)
- Santo
Agustinus, De Civitate Dei (Buku X)
- Konsili
Nicea II (787 M), Dekret tentang Gambar Suci