Umat Allah di Kalimantan dalam Tekanan terutama soal Lahan dan Arus Modernisasi
ilustrasi by AGrok sesuai narasi. |
Jika pada masa gereja mula-mula penganiayaan terjadi karena iman kepada Kristus, umat Kristen dikejar, dipenjarakan, bahkan dibunuh karena kesetiaan mereka kepada Injil, maka di Kalimantan, orang Dayak menghadapi bentuk penganiayaan yang berbeda namun tak kalah menyakitkan.
Model penindasan Dayak: Gereja sebagai pembebas
Penindasan terhadap orang Dayak tidak selalu bersumber dari perbedaan agama, melainkan lebih sering karena keberanian mereka mempertahankan tanah, hutan, dan adat istiadat leluhur. Semua itu bukan sekadar simbol budaya, tetapi merupakan jantung kehidupan mereka—ruang hidup yang menyatu dengan kosmologi, identitas, dan tata nilai komunitas.
Dalam banyak kasus, ketika mereka mempertahankan hak atas wilayah adatnya, mereka justru dianggap sebagai pengganggu atau penghambat arus pembangunan. Padahal, secara historis, Dayak adalah pemelihara bumi yang menjaga ekosistem hutan tropis Kalimantan dengan prinsip-prinsip kearifan lokal yang lestari, jauh sebelum konsep “sustainability” dikenal dunia modern.
Masuknya kekuatan ekonomi besar dari luar, terutama perusahaan sawit, tambang, dan proyek-proyek strategis nasional seperti food estate atau pembangunan infrastruktur, menjadi awal dari derita panjang masyarakat adat Dayak. Mereka jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan, bahkan sering kali tidak diberi informasi yang cukup tentang proyek-proyek yang akan merampas tanah mereka. Mereka dikriminalisasi saat membela haknya, digusur tanpa ganti rugi yang adil, dan tidak mendapatkan ruang setara dalam diskursus publik. Pembangunan yang mestinya membawa kesejahteraan malah menjadi alat peminggiran yang sistemik. Ketika suara mereka tak didengar, hutan yang mereka jaga pun pelan-pelan hilang, berganti dengan gurun sawit, lubang tambang, atau jalan raya megaproyek.
Contoh nyata adalah proyek perluasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang berdampak besar pada masyarakat adat di Kalimantan Timur. Proyek ini tidak hanya mengubah lanskap hutan yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati, tetapi juga menggusur ruang hidup masyarakat adat tanpa jaminan keberlanjutan hak-hak mereka.
Sementara narasi nasional dipenuhi dengan euforia kemajuan dan modernisasi, masyarakat Dayak hanya menjadi penonton dalam pembangunan yang mengatasnamakan masa depan bangsa. Ironisnya, mereka yang menjaga bumi selama ribuan tahun justru tidak diajak bicara, apalagi menikmati hasilnya. Ketimpangan ini menandai kegagalan pembangunan dalam memahami bahwa tanah bukan hanya aset ekonomi, melainkan bagian dari tubuh dan jiwa orang Dayak.
Penganiayaan terhadap orang Dayak di era modern lebih halus, sistematis, dan seringkali dilegitimasi oleh kebijakan negara. Perampasan tanah adat terjadi lewat skema perizinan konsesi, sementara suara masyarakat lokal diredam oleh birokrasi dan kekuasaan modal. Mereka yang melawan dianggap radikal atau antimodern, padahal sesungguhnya mereka memperjuangkan hak atas tanah warisan dan kelangsungan hidup komunitasnya. Eksploitasi sumber daya alam bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga mencabut akar identitas Dayak yang lekat dengan hutan, sungai, dan ritus-ritus budaya. Ironisnya, di tengah pembangunan yang digembar-gemborkan membawa kesejahteraan, masyarakat adat justru semakin tersingkir dari ruang hidupnya sendiri.
👉 Baca juga Edukasi Digital untuk Peserta Didik PAUD: Tantangan dan Peluang
Marginalisasi budaya pun menjadi luka yang tak terlihat namun menggerus perlahan. Bahasa ibu mulai hilang, rumah panjang digantikan perumahan sederhana yang seragam, dan upacara adat makin jarang digelar karena dianggap tidak relevan. Di sekolah, narasi tentang Dayak sering kali dipinggirkan, dan sejarah mereka nyaris tidak masuk dalam kurikulum formal. Ini adalah bentuk penganiayaan kultural—penghapusan identitas secara perlahan lewat sistem pendidikan, media, dan arus modernisasi yang tidak berpihak pada kearifan lokal. Seperti gereja mula-mula yang berdiri teguh di tengah penganiayaan, demikian pula orang Dayak kini dipanggil untuk tetap teguh menjaga iman kepada nilai-nilai leluhur mereka, meski harus menghadapi arus kekuatan yang besar dari luar.
1. Penganiayaan terhadap Umat Allah di Kalimantan
Orang Dayak, sebagai bagian dari umat Allah, telah lama hidup selaras dengan alam dan mempertahankan tanah leluhur mereka. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, mereka menghadapi tantangan besar dari berbagai pihak:
-
Perusahaan Sawit dan Tambang Merampas Tanah Leluhur
Banyak perusahaan kelapa sawit dan tambang masuk ke wilayah Kalimantan, menggusur hutan yang menjadi sumber kehidupan orang Dayak.
-
Tanah adat yang seharusnya diwarisi turun-temurun mulai diambil alih dengan berbagai cara, termasuk melalui manipulasi hukum dan tekanan dari aparat.
-
Orang Dayak yang menolak menyerahkan tanah mereka sering menghadapi intimidasi, bahkan kriminalisasi.
-
Kekuatan Politik dan Ekonomi dari Luar
Pemerintah sering kali lebih berpihak kepada investor daripada kepada masyarakat adat.
-
Transmigrasi dan urbanisasi menyebabkan orang Dayak terpinggirkan di tanah mereka sendiri.
-
Pengaruh kapitalisme global membuat pola hidup tradisional orang Dayak semakin tergeser oleh gaya hidup modern yang tidak selalu sejalan dengan kearifan lokal.
2. Kemiripan dengan Penganiayaan dalam Perjanjian Baru
Kemiripan dengan Penganiayaan dalam Perjanjian Baru
Jika ditelaah lebih dalam, terdapat kemiripan yang mencolok antara penganiayaan yang dialami umat Kristen dalam Perjanjian Baru dan penderitaan yang dialami oleh orang Dayak di Kalimantan. Dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus, umat Kristen mula-mula menghadapi tekanan, penangkapan, bahkan kematian karena mempertahankan iman mereka kepada Kristus. Mereka dianggap ancaman oleh kekuatan politik dan agama pada masa itu karena menolak tunduk pada sistem kekuasaan yang bertentangan dengan ajaran kasih dan keadilan. Pola ini terlihat pula dalam konteks Dayak modern: ketika mereka mempertahankan tanah leluhur dan kearifan budaya yang diwariskan turun-temurun, mereka dianggap penghalang oleh kekuatan ekonomi dan politik yang ingin menguasai sumber daya alam Borneo.
Seperti umat Kristen mula-mula yang tidak hanya mempertahankan keyakinan rohani, tetapi juga menghadirkan nilai-nilai alternatif dalam masyarakat, masyarakat Dayak pun berjuang mempertahankan suatu cara hidup yang menyatu dengan alam dan spiritualitas lokal. Upaya mempertahankan hutan, tanah adat, dan sistem sosial yang kolektif, seringkali disalahartikan sebagai penolakan terhadap pembangunan. Akibatnya, mereka mengalami kekerasan, kriminalisasi, dan peminggiran secara sistematis, baik oleh negara maupun korporasi besar. Sama seperti para martir Kristen yang disingkirkan karena berbeda dan mengancam status quo, orang Dayak pun mengalami nasib serupa karena keberanian mereka menjaga warisan budaya dan ekologi.
Persamaan ini mengajak kita untuk membaca ulang konsep penganiayaan dalam perspektif yang lebih luas. Penganiayaan bukan hanya karena iman keagamaan, tetapi juga karena keberanian untuk menjaga nilai-nilai luhur yang bertentangan dengan sistem penindasan. Dalam konteks pendidikan Agama Kristen masa kini, khususnya di era digital, penghayatan terhadap penderitaan dan perjuangan seperti yang dialami oleh orang Dayak dapat menjadi ruang refleksi teologis dan praksis iman yang relevan. Ini membuka peluang untuk solidaritas lintas budaya dan iman, di mana Gereja dan umat Kristen modern terpanggil untuk berdiri bersama kelompok-kelompok yang tertindas, sebagaimana Kristus hadir di tengah-tengah mereka yang disingkirkan.
👉 Baca juga Pendidikan Agama Kristen ke Era Digital
Jika dibandingkan dengan penganiayaan orang Kristen dalam Perjanjian Baru, ada beberapa kesamaan:
Seperti umat Kristen mula-mula yang dianiaya karena iman mereka, orang Dayak dianiaya karena mempertahankan tanah dan budaya mereka.
-
Seperti Paulus yang menghadapi penguasa Roma, orang Dayak menghadapi kekuatan besar yang memiliki kuasa hukum dan ekonomi untuk menekan mereka.
-
Seperti Stefanus yang dibunuh karena bersaksi, beberapa aktivis adat Dayak juga mengalami kekerasan atau ancaman karena membela hak-hak mereka.
3. Panggilan untuk Bangkit dan Bertahan
Dalam Alkitab, Yesus berkata:
"Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." (Matius 5:10)
👉 Baca juga Mengapa Gereja Katolik Kuat dan Bertahan sebagai Organisasi Lebih dari 2.000 Tahun
Orang Dayak, sebagai umat Allah, dipanggil untuk terus mempertahankan tanah, budaya, dan hak-hak mereka dengan bijaksana dan damai.
Seperti gereja mula-mula yang bertahan di tengah penganiayaan dan akhirnya menyebarkan Injil ke seluruh dunia, orang Dayak juga harus tetap teguh dalam identitas mereka, berjuang dengan cara-cara yang benar, dan menggunakan strategi yang cerdas untuk melindungi warisan leluhur mereka.
Kesimpulan
- Penganiayaan tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik dan agama, tetapi juga dalam bentuk ekonomi, sosial, dan budaya.
- Umat Allah di Kalimantan, khususnya orang Dayak, harus bersatu untuk menghadapi tantangan ini dengan iman, kebijaksanaan, dan semangat juang agar tidak kehilangan tanah dan identitas mereka.
-- Abram Gerardus Nyali