Pope Joan, Film hanya Film
| Pope Joan, film hanya film yang coba mengaduk-aduk fantasi. |
Pernahkah Anda membayangkan seorang wanita duduk di kursi kepausan?
Film Pope Joan (2009) membawa penonton masuk ke dalam legenda Joan, wanita yang menyamar sebagai pria demi mengejar panggilan yang lebih tinggi.
Cerita ini sudah lama menjadi bisik-bisik sejarah yang menantang
imajinasi. Kini, melalui layar lebar, legenda itu “hidup” kembali, dengan
visual yang memikat dan konflik batin yang nyata.
Joan bukan hanya tokoh pemberani; ia simbol kerinduan manusia untuk diakui karena kemampuan, bukan gender. Di tengah tradisi Gereja Katolik yang sarat aturan, kehadiran seorang wanita dalam posisi tertinggi terasa radikal.
Penonton diajak menyelami dualitas yang melekat padanya: antara
identitas pribadi dan tuntutan sosial, antara keberanian dan ketakutan. Ada
kalanya layar menampilkan aula kepausan yang megah, ada kalanya lorong-lorong
sempit sekolah teologi yang ketat, semuanya memberi nuansa pergulatan internal
yang tak pernah mudah.
Penyamarannya yang Membingungkan
Di balik jubah kepausan dan gelar tinggi, Joan
menyembunyikan identitas aslinya. Penyamaran ini bukan semata soal bertahan
hidup, melainkan perjalanan spiritual yang berat. Ia harus berpikir cepat,
menyesuaikan tutur kata, dan memendam rasa takut setiap saat. Dalam sosok pria,
ia diterima, dihormati, dan bahkan dipuja. Tapi di balik itu, Joan terus
menghadapi dilema moral: bagaimana menjalani hidup jujur jika kebenaran diri
sendiri harus disembunyikan?
Film ini menyingkap ketidakadilan sistemik yang kerap
terjadi di institusi besar. Kadang, bakat dan kemampuan diabaikan karena aturan
atau stereotip sosial. Joan menjadi simbol perlawanan terhadap struktur yang
membatasi, sekaligus cermin bagi penonton: berapa banyak dari kita yang menahan
diri, menyembunyikan potensi, demi diterima oleh norma atau ekspektasi
masyarakat? Adegan-adegan di sekolah teologi, ruang baca penuh buku, dan
pertemuan rahasia Joan memberi penonton rasa tegang, seolah ikut menahan napas
bersama tokoh utama.
Iman yang Teruji
Lebih dari penyamaran dan kecerdasan, Pope Joan
menekankan pergulatan iman. Joan bukan hanya tokoh cerdas yang menyamar; ia
wanita beriman yang menghadapi dilema spiritual. Setiap keputusan besar
menuntut keberanian moral dan keyakinan. Bagaimana ia bisa memimpin Gereja
dengan integritas spiritual, sementara identitas aslinya tetap tersembunyi?
Film menampilkan momen-momen hening yang sarat makna: Joan
berdoa di lorong gereja yang sepi, merenungkan panggilan hidup, menahan air
mata saat kesendirian menjadi ujian. Ia mempertanyakan batas-batas moral dan
tanggung jawabnya. Penonton merasa ikut merasakan tekanan batin, seolah berada
di antara langit dan bumi, antara panggilan ilahi dan tuntutan manusia. Mirip
dengan kisah Yohanes Angelicus, di mana konflik internal dan institusi
menjadi panggung utama, Joan mengajarkan bahwa iman sejati diuji melalui
keputusan yang menantang norma sosial dan tradisi.
Relevansi untuk Zaman Modern
Meskipun berlatar abad pertengahan, kisah Joan relevan untuk
kita sekarang. Film ini mengajak penonton berpikir tentang peran gender, akses
pendidikan, dan ketidaksetaraan di banyak institusi—bukan hanya Gereja. Joan
mengingatkan kita bahwa pengakuan dan penghormatan seharusnya didasarkan pada
kompetensi, bukan stereotip atau aturan lama.
Selain itu, film memberi refleksi tentang kepemimpinan. Joan
menunjukkan bahwa posisi formal tidak selalu menjamin kebaikan. Kepemimpinan
sejati lahir dari integritas, keberanian moral, dan pengabdian pada nilai-nilai
spiritual. Penonton diajak merenung: bagaimana menyeimbangkan identitas diri,
tanggung jawab sosial, dan keyakinan spiritual di tengah dunia yang terus
berubah?
Pope Joan: Film Hanya Film
Pope Joan bukan sekadar legenda atau sejarah Gereja. Film
ini adalah cermin perjalanan manusia. Joan muncul sebagai sosok yang berani,
tetapi juga rapuh. Ia menantang batasan sosial, agama, dan harapan orang-orang
di sekitarnya. Setiap tindakannya menimbulkan pertanyaan: sejauh mana kita
berani jujur pada diri sendiri? Sejauh mana kita sanggup menjaga integritas di
tengah tekanan dunia? Film ini tidak memberi jawaban pasti. Ia hanya membuka
ruang bagi refleksi.
Perjalanan Joan penuh konflik batin. Ia terseret oleh dilema
moral, terkadang takut, terkadang teguh. Kamera menangkap kerentanannya dan
keberaniannya secara bersamaan, membuat penonton merasakan denyut hati sang
tokoh.
Kita menyaksikan perjuangan seorang manusia melawan norma,
melawan rasa takut, dan tetap berusaha setia pada panggilan hati. Momen-momen
sunyi dan heningnya sama pentingnya dengan adegan dramatis, karena di situlah
kehidupan batin Joan terasa nyata.
Seperti Yohanes Angelicus, kisah Joan mengajak kita
menelusuri makna iman, keberanian, dan kesetiaan. Film ini mengingatkan bahwa
manusia selalu berada di persimpangan: antara rasa takut dan keberanian, antara
kenyamanan dan panggilan hati.
Meski Pope Joan hanyalah film, ia menjadi jendela untuk
memahami perjalanan batin, pergulatan moral, dan keteguhan hati.
Penonton diajak merenung: apa arti keberanian kita sendiri dalam menghadapi dunia yang menuntut kepalsuan, kepatuhan, atau kompromi.
Peresensi Rangkaya Bada