Huios tou Anthrōpou "Anak Manusia" dalam Injil Yohanes 3:13–17
| Anak Manusia" dalam Injil Yohanes 3:13–17 adalah Mesias. |
Ungkapan Yunani Υἱὸς τοῦ ἀνθρώπου (Huios tou
anthrōpou) berarti Anak Manusia. Dalam Injil Yohanes 3:13–17, Yesus
menyebut dirinya dengan istilah ini: “Tidak ada seorang pun yang telah naik ke
surga selain Dia yang telah turun dari surga, yaitu Anak Manusia.”
Ungkapan ini bukan sekadar gelar. Ia membawa lapisan makna
teologis yang dalam, terhubung dengan nubuat Daniel tentang sosok yang datang
“dengan awan-awan” (Daniel 7:13).
Kata “huios” menunjuk pada hubungan personal dan
eksistensial, bukan sekadar garis keturunan biologis. Sedangkan “anthrōpou”
adalah manusia, dalam arti universal, bukan individu tertentu. Maka, “Anak
Manusia” berarti sosok yang mewakili manusia seutuhnya, tetapi sekaligus
melampaui keterbatasan manusia biasa.
Di sini tampak paradoks. Yesus, yang berbicara kepada
Nikodemus di malam hari, mengklaim dirinya sebagai satu-satunya yang turun dari
surga dan kelak naik kembali. Gelar “Anak Manusia” mengikat bumi dan surga. Ia
hadir dalam tubuh manusia, tetapi asal-usulnya tidak terikat pada dunia.
Simbol Rendah Hati sekaligus Kemuliaan
Bagi orang Yahudi abad pertama, “Anak Manusia” terdengar
akrab, tetapi juga penuh misteri. Gelar itu bisa berarti “manusia biasa”, rapuh
dan fana. Namun dalam Kitab Daniel, “Anak Manusia” justru digambarkan menerima
kuasa dan kemuliaan dari Yang Mahatinggi. Yesus menyatukan dua lapisan makna
ini: kerendahan dan kemuliaan.
Dalam Yohanes 3, Yesus berbicara tentang salib yang akan
ditinggikan. Sama seperti Musa meninggikan ular tembaga di padang gurun,
demikian pula Anak Manusia harus ditinggikan. Artinya, kemuliaan Anak Manusia
tidak terpisah dari penderitaan. Salib menjadi takhta yang tak masuk akal,
tempat kehinaan berubah menjadi kemenangan.
Tradisi Gereja Katolik memahami hal ini dengan sangat
konkret. Corpus Yesus tetap digantung di kayu salib, bukan hanya salib kosong.
Itu bukan tanda penolakan terhadap kebangkitan, melainkan penekanan bahwa
kebangkitan tak mungkin ada tanpa penderitaan salib. Yang ditinggikan adalah
Dia
Dari Yerusalem ke Bukit Kelam
Makna “Anak Manusia” juga menemukan gema dalam pengalaman
umat beriman di berbagai tempat. Di Kalimantan, misalnya, kita dapat melihatnya
dalam jalan salib di Bukit Kelam, sebuah batu raksasa yang menjulang di
Sintang, Kalimantan Barat. Di sana, salib-salib dipasang di jalur jalan salib
yang menanjak.
Setiap perhentian membawa peziarah untuk merenungkan
penderitaan Yesus, yang adalah Anak Manusia. Ketika peziarah melangkah pelan,
berpeluh di bawah terik matahari, mereka merasakan bahwa iman tidak pernah
dilepaskan dari tubuh, dari tanah, dari langkah yang berat. Bukit Kelam
menghadirkan pengalaman nyata bagaimana Yesus, Sang Anak Manusia, ikut berjalan
bersama manusia dalam keringat dan beban.
Bukit ini bukan Yerusalem, tetapi menghadirkan gema yang
sama: salib menjadi tanda penghubung bumi dan surga. Bagi banyak umat di
Kalimantan, jalan salib di Bukit Kelam adalah cara mengingat bahwa Anak Manusia
tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Ia hadir di tanah sendiri, dalam budaya
sendiri, bukan sekadar dalam teks kuno.
Anak Manusia, Jembatan antara Langit dan Bumi
Yesus tidak menyebut dirinya “Anak Allah” dalam percakapan
ini, meskipun gelar itu juga penting. Ia memilih “Anak Manusia”.
Mengapa hal ini penting? Karena gelar itu menegaskan keterhubungan Allah dengan manusia. Ia tidak sekadar menatap umat-Nya dari surga, tetapi melibatkan diri dalam pergulatan sejarah. Ia berjalan di jalan berdebu Palestina, berbincang dengan orang-orang kecil, dan menegur para pemimpin agama. Ia menanggung sakit, dicemooh, dan akhirnya wafat di salib. Semua itu menunjukkan bahwa iman Kristen bukanlah iman yang berjarak, melainkan iman yang menyentuh kehidupan nyata. Yesus, Sang Anak Manusia, hadir sebagai penghubung antara Allah dan manusia, sekaligus saksi bahwa Allah peduli dengan penderitaan umat-Nya.
Karena itu, gelar Anak Manusia menghadirkan wajah Allah yang penuh belarasa. Ia bukan sekadar simbol transenden yang tak terjangkau, melainkan Allah yang merendah untuk mengangkat manusia. Kehadiran-Nya membuktikan bahwa Allah mau berjalan bersama kita, menderita bersama kita, bahkan wafat bagi kita. Itulah inti kabar gembira: Allah bukan hanya penguasa alam semesta, tetapi juga sahabat manusia. Dan karena Yesus sama dengan kita dalam segala hal kecuali dosa, maka Ia sungguh mampu memahami kita, menolong kita, dan membawa kita kembali kepada Allah.
"Sebab Imam Besar yang kita punya bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa."
Yesus adalah jembatan antara langit dan bumi. Ia turun dari
surga agar manusia dapat naik. Ia ditinggikan di salib agar manusia yang jatuh
dapat diangkat. Itulah inti Injil Yohanes 3:16 yang begitu terkenal: Allah
mengasihi dunia sehingga Ia memberikan Anak-Nya. Kasih itu diwujudkan bukan
dalam abstraksi, melainkan dalam tubuh Anak Manusia yang berani menanggung
luka.
Maka, ketika kita melihat salib di gereja, di tepi jalan,
atau di puncak Bukit Kelam, kita diajak untuk merenungkan hal yang sama: Anak
Manusia itu tetap hadir. Ia hadir dalam kemanusiaan kita yang rapuh, tetapi
juga membuka pintu ke kemuliaan yang abadi.