Yesus Turun dari Surga: Misteri yang Dituturkan kepada Nikodemus
Tidak ada seorang pun yang telah naik ke surga, selain Dia yang telah turun dari surga, yaitu Anak Manusia. Yohanes 3:13–17. |
Oleh Sr. Tanti Yosepha
Hari ini, 14 September 2025. Gereja Katolik menatap salib dengan mata iman. Ia bukan sekadar kayu, bukan hanya lambang, melainkan jalan kasih Allah yang nyata. Bacaan Injil Yohanes mengajak kita percaya bahwa hanya Dia yang turun dari surga yang dapat membawa kita kembali ke sana. Liturgi memelihara ingatan itu, menghidupkan misteri itu, dan mengajak tubuh kita ikut mengakuinya dengan tanda salib.
Ketika kita keluar dari gereja nanti, salib tetap menemani.
Ia hadir dalam kesulitan kerja, dalam kesetiaan merawat keluarga, dalam doa-doa
yang hening di malam hari. Dan kita tahu: dalam salib itu, Allah sudah lebih
dulu turun; supaya kita berani berharap akan hidup yang naik kembali ke surga.
Misteri yang Dituturkan kepada Nikodemus
Injil Yohanes hari ini (3:13–17) menghadirkan percakapan malam hari antara Yesus dan Nikodemus. Nikodemus datang dengan kegelisahan, seorang pemimpin agama yang resah, ingin memahami mengapa seorang guru dari Nazaret mampu berbicara tentang Allah dengan begitu berkuasa.
Yesus tidak menjawab dengan uraian panjang, melainkan dengan kalimat yang tajam: “Tidak ada seorang pun yang telah naik ke surga, selain Dia yang telah turun dari surga, yaitu Anak Manusia.”
Bait ini menyimpan kedalaman yang sulit dijangkau sekaligus
sederhana untuk direnungkan. Yesus berbicara tentang asal-usul-Nya, tentang
misi yang Ia emban, juga tentang tujuan akhir perjalanan manusia. Hanya Dia
yang turun dari surga, maka hanya Dia pula yang dapat menunjukkan jalan kembali
ke sana. Semua pencarian manusia, semua kerinduan akan keabadian, menemukan
jawabannya di dalam diri-Nya.
Ketika kita mendengar bacaan ini dalam Misa Pesta Pemuliaan
Salib Suci, hati seolah diarahkan untuk menatap ke atas: ke kayu salib yang
ditinggikan. Sama seperti orang Israel di padang gurun yang menoleh kepada ular
tembaga untuk sembuh, demikian pula kita menatap kepada Kristus yang disalibkan
untuk menemukan hidup. Liturgi mengajak kita bukan hanya memahami kata-kata,
melainkan masuk ke dalam misteri yang hidup: salib yang dahulu menjadi alat
penghukuman, kini berubah menjadi tangga menuju surga.
Di tengah hiruk pikuk zaman digital, bacaan ini menegur kita
yang sering mencari jawaban instan. Yesus menegaskan, jalan ke surga bukanlah
jalan pintas. Jalan itu menurun dulu: masuk ke dalam penderitaan, taat sampai
mati, lalu baru dimuliakan. Misteri inilah yang sering sulit kita cerna, sama
sulitnya dengan Nikodemus yang malam itu hanya bisa terdiam.
Salib dalam Liturgi
Liturgi Katolik menempatkan salib di pusat segalanya. Misa
dimulai dengan tanda salib, dan ditutup dengan tanda yang sama. Imam mengangkat
salib dalam prosesi pembuka; umat mengikutinya dengan hening. Setiap gerakan
tangan yang menyentuh dahi, dada, dan bahu bukan sekadar ritual. Ia adalah
pengakuan iman yang tubuh kita sendiri ikut ucapkan.
Namun, jujur saja, sering kali tanda salib terasa otomatis.
Seperti kebiasaan tanpa makna. Bacaan Yohanes hari ini mengingatkan kita: salib
bukan sekadar simbol; di sanalah seluruh kasih Allah dituang habis. “Karena
begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya
yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa,
melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16).
Setiap kali imam mengangkat hosti dan piala di altar, umat
melihat kembali misteri salib itu. Tubuh dan darah Kristus yang dipersembahkan
bukanlah kenangan, melainkan kehadiran nyata. Liturgi tidak hanya menceritakan
kembali peristiwa lama di Yerusalem, melainkan menghidupkan kembali kasih yang
sama di tengah kita hari ini.
Di banyak paroki, pesta Pemuliaan Salib Suci dirayakan
dengan prosesi salib yang penuh khidmat. Umat membawa salib besar berkeliling
lingkungan, bernyanyi, berdoa, dan menyadari: salib hadir di jalan-jalan
kampung mereka, di tengah rumah-rumah yang sederhana. Salib turun dari altar
lalu menjejak di tanah kehidupan sehari-hari. Di situlah liturgi menjadi nyata:
iman bukan berhenti di dalam gereja, melainkan ikut masuk ke dapur keluarga, ke
sawah, ke kantor, ke jalanan kota.
Salib yang dipuliakan hari ini menuntut kita untuk berani
memikul salib sendiri. Kadang berupa sakit yang tak kunjung sembuh. Kadang
berupa masalah rumah tangga. Kadang berupa tekanan ekonomi. Semua itu tak
ringan. Tetapi dengan memandang salib Kristus, kita diajak percaya: penderitaan
bukan akhir; kasih Allah lebih besar dari segalanya.
Salib dalam Kehidupan Umat
Bagaimana bacaan hari ini menyentuh kehidupan umat di
Indonesia? Di sebuah paroki di pedalaman Kalimantan Barat, umat membawa salib
kayu besar menyusuri sungai. Mereka naik perahu motor, menyanyi dengan lantang,
dan menjadikan air sungai sebagai jalan prosesi. Salib menjadi tanda bahwa iman
mereka berakar dalam budaya sungai yang menghidupi. Sementara itu, di Flores,
salib dihiasi kain tenun berwarna-warni. Di sana umat memaknai salib bukan
hanya penderitaan, melainkan juga keindahan dan pengharapan. Di Jawa, salib
kecil sering tergantung di ruang tamu rumah Katolik sederhana; diam-diam ia
menjadi doa bisu di tengah keramaian kota.
Pengalaman umat ini menunjukkan: salib tidak pernah berhenti
menjadi tanda yang hidup. Ia masuk ke dalam konteks lokal, berbicara dengan
bahasa budaya, sekaligus tetap mengingatkan pada misteri yang sama: Kristus
yang wafat dan bangkit.
Di sisi lain, salib juga bisa menjadi ujian. Tidak jarang
umat Katolik menghadapi ejekan atau bahkan penolakan karena salib yang mereka
kenakan di leher. Namun justru dalam kesederhanaan itu, kesaksian iman lahir.
Salib kecil di dada, bila diterima dengan iman, menjadi pengingat bahwa kasih
Allah lebih kuat daripada cibiran manusia.
Liturgi hari ini meneguhkan kita untuk tidak malu dengan
salib, melainkan memuliakannya. Gereja mengajarkan, “Dalam salib ada
keselamatan, dalam salib ada kehidupan, dalam salib ada perlindungan dari
musuh.” Kata-kata kuno ini bukan sekadar doa, melainkan undangan untuk
menjalani hidup dengan penuh keberanian.
Maka, di tengah dunia yang kerap mengejar kemudahan, salib mengingatkan kita bahwa jalan Kristus adalah jalan yang berbeda: jalan yang setia, sabar, kadang sunyi, tetapi berbuah hidup kekal. Jalan turun lebih dulu; baru kemudian naik ke surga.