Mengapa Dayak Mayoritas Katolik di Kalbar?

Mengapa Dayak Mayoritas Katolik di Kalbar?

Di Kalbar, sekitar 25-35% penduduk Katolik, mayoritas Dayak. Ist.

Oleh Fidelis Saputra, Spd.

Pagi itu lonceng gereja di sebuah kampung Kapuas Hulu berdentang pelan. Kabut masih menggantung di atas sungai, suara ayam jantan bersahut-sahutan.

Di depan gereja kecil yang sederhana, beberapa ibu sudah datang dengan kebaya hitam berhias manik-manik Dayak. Anak-anak berlarian sambil membawa buku nyanyian. Dari dalam, terdengar bunyi tawak; alat musik tradisional yang dipadukan dengan liturgi misa.

Pemandangan semacam ini bukan hal asing di pedalaman Kalimantan Barat. Katolik di sini tidak tampil asing atau dingin, melainkan hangat, dekat, bahkan terasa “Dayak sekali”. Tidak heran jika lebih dari seperempat penduduk Kalbar beragama Katolik, dan sebagian besar dari mereka adalah orang Dayak.

Mengapa bisa begitu? Pertanyaan ini membawa kita pada sejarah panjang misi Katolik, terutama sejak para Kapusin tiba di Singkawang pada 1905. Mereka tidak hanya membawa Injil, tetapi juga sikap hormat pada budaya setempat. Di situlah benih pertama ditanam.

Budaya yang diadaptasi, tidak disingkirkan

“Orang Dayak pilih Katolik karena budaya mereka dihargai sekaldihormati,” kata Pastor Dionisius Meligun, PR imam asal Dayak, suatu hari. Ungkapan pastor pedalaman keuskupan Sangau yang pernah belajar di universitas Kepausan, Roma, itu terasa sederhana, tapi menyimpan kunci penting.

Di Kalbar, sekitar 25-35% penduduk Katolik, mayoritas Dayak

Alih-alih melarang tato, tarian, atau penghormatan leluhur, para misionaris Kapusin justru berusaha memahami. Misionaris melihat kepercayaan Dayak pada roh alam tidak sepenuhnya asing. Ada irisan dengan iman Katolik yang mengenal malaikat dan para kudus. Ritual-ritual adat Dayak yang sarat simbol dipandang sebagai “benih firman” (semen verbi), yang dapat bertumbuh dalam terang Injil.

Maka misa tidak melulu dalam bahasa Latin atau Belanda, tetapi perlahan diberi sentuhan lokal. Nyanyian pujian bisa diiringi gong, pakaian adat dipakai dalam pesta iman, doa panen kadang dirangkaikan dengan berkat imam. Gereja bukan datang sebagai penghapus budaya, melainkan sebagai sahabat.

Inkulturasi ini membuat orang Dayak merasa Katolik bukan sekadar agama impor, melainkan rumah baru yang tetap menjaga akar mereka.

Dari Sekolah ke Solidaritas dan Gerakan pemberdayaan

Selain hormat budaya, faktor lain adalah pendekatan kemanusiaan. Para misionaris Kapusin dan suster Fransiskan lebih sibuk membangun sekolah, rumah sakit, dan asrama daripada sibuk berkhotbah panjang. Sekolah Katolik di pedalaman membuka kesempatan anak-anak Dayak belajar membaca, berhitung, dan kelak melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Klinik sederhana yang dikelola suster memberi obat pada mereka yang sakit malaria atau luka di ladang.

“Dulu kami datang bukan untuk meng-Katolikkan secara massal, tapi untuk melayani,” tulis sebuah laporan misi Kapusin. Pelayanan itulah yang akhirnya membuka hati banyak keluarga Dayak.

Dari sini muncul identitas baru: Dayak-Katolik. Nama baptis dipakai berdampingan dengan nama adat. Ritual Katolik bercampur dengan pesta gawai panen. Bagi orang Dayak, menjadi Katolik berarti tetap bisa menari, tetap bisa menyebut leluhur, tapi sekaligus mendapat akses pada pendidikan dan kesehatan.

Katolik di Kalimantan Barat tidak sekadar soal keyakinan religius, tetapi menjelma menjadi identitas etnis yang membentuk cara orang Dayak memandang dirinya di tengah perubahan zaman. Ketika pesisir didominasi oleh suku lain dengan tradisi Islam yang kuat, pedalaman menemukan nafas baru dalam Katolik. Gereja bukan hanya tempat ibadah, melainkan ruang simbolis tempat orang Dayak merumuskan harga diri, sekaligus meneguhkan eksistensi mereka sebagai bangsa yang punya martabat.

Proses itu makin nyata ketika misi Katolik membuka jalan pendidikan, kesehatan, hingga wadah-wadah sosial yang mengangkat harkat masyarakat pedalaman. Dari altar gereja lahir sekolah, rumah sakit, hingga organisasi ekonomi kerakyatan seperti Credit Union, yang mengajarkan kemandirian finansial dan solidaritas. Katolik akhirnya bukan lagi sekadar warisan iman, melainkan pintu masuk modernisasi yang berakar pada budaya Dayak, menjembatani dunia tradisi dan dunia baru yang menuntut kecakapan sosial, politik, dan ekonomi.

Katolik menjadi tanda kebersamaan, semacam benteng yang menegaskan: kami Dayak, kami Katolik.

Dari Statistik ke Kisah Sehari-hari

Statistik memang jelas. Di interior Kalbar seperti di Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sekadau, Sanggau, landak; orang Katolik dominan. Sementara di Kalimantan Timur, Dayak lebih banyak Protestan, buah dari misi gereja Injili.

Tapi angka saja tidak cukup menjelaskan. Yang lebih kuat adalah cerita sehari-hari. Seorang anak di Putussibau yang bersekolah di SMP Katolik lalu masuk seminari. Seorang ibu yang melahirkan di klinik suster karena puskesmas terlalu jauh. Seorang kakek yang masih menari gawai, lalu dengan tenang ikut misa hari Minggu.

Cerita-cerita ini menggambarkan bagaimana Katolik diterima bukan karena paksaan, melainkan karena hadir sebagai teman hidup. Bukan sekadar memberi dogma, tapi menghadirkan empati.

Kini lebih seratus tahun lebih setelah Kapusin pertama menjejakkan kaki di Singkawang, wajah Gereja Katolik di Kalimantan Barat telah menyatu dengan wajah Dayak. 

Para imam lokal lahir dari kampung sendiri, memimpin umat dengan bahasa dan tradisi yang mereka pahami. Inkulturasi bukan lagi strategi, tapi kenyataan sehari-hari.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org