Katolik Dayak; Dayak Katolik; Dibolak Balik Sama Saja!
Katolik Dayak; Dayak Katolik; dibolak balik, sama saja! |
Buku yang diterbitkan Lembaga Literasi Dayak ini lahir bukan lahir dari tangan seorang sejarawan. Tapi dari hati seorang penulis muda yang sedang mencari jejak dirinya di tengah pusaran sejarah dan identitas Dayak.
Sang penulis tidak mengklaim kebenaran absolut. Ia lebih
menegaskan bahwa yang dibawa hanyalah refleksi pribadi. Bahan-bahan yang
tersaji sebagian besar berasal dari studi pustaka, diperkuat oleh sedikit
pengalaman langsung dan dialog dengan orang-orang di sekitar. Karena itu,
pembaca diajak untuk tidak menjadikannya kitab tafsir final, melainkan ruang
perenungan.
Justru keterbatasan inilah yang membuat buku ini terasa
segar. Penulis berani mengakui kebingungan, tantangan, bahkan keraguannya dalam
membaca sejarah Dayak, Katolik, dan relasi keduanya. Kejujuran ini berbeda
dengan gaya buku akademik yang sering kaku.
Dalam bahasa sederhana, buku ini lebih menyerupai “catatan
pinggir” seorang anak muda yang resah: bagaimana orang Dayak menempatkan diri
dalam sejarah panjang Borneo? Bagaimana iman Katolik yang dibawa misi Eropa
kemudian menyatu dengan denyut nadi pedalaman Kalimantan?
Nada tulisannya bisa disebut sebagai kicauan dari dalam:
suara kecil yang lahir dari komunitas, dan karenanya punya bobot moral. Ia
tidak dimaksudkan untuk menyenangkan telinga luar, melainkan untuk menggetarkan
hati mereka yang ada di dalam lingkaran: umat Katolik Dayak yang sedang mencari
pijakan di tengah perubahan zaman.
Katolik Dayak
Salah satu hal menarik dalam buku ini adalah keberanian
penulis menyandingkan ajaran sosial Gereja dengan kenyataan lokal Dayak. Misi
Katolik, menurutnya, ibarat mutiara berharga. Mutiara itu jangan sampai
terbuang atau diperlakukan sembarangan, melainkan harus terus dipoles melalui
katekese, homili, pendidikan, dan perjumpaan komunitas. Namun, ia juga sadar
bahwa realitas tidak selalu ideal. Ada kebingungan, gesekan, bahkan rasa
frustasi ketika Gereja berhadapan dengan tantangan sosial-politik kontemporer.
Di sini terlihat jelas posisi penulis yang kritis sekaligus
penuh cinta. Ia menyadari, orang Dayak menemukan harga dirinya lewat Katolik,
terutama setelah berabad-abad berada di pinggiran politik dan ekonomi. Namun,
menemukan harga diri tidak berarti berhenti di situ. Ada pekerjaan rumah besar:
membangun kesadaran kritis, memperkuat pendidikan, memperjuangkan ekonomi
kerakyatan, dan tidak tergoda untuk menjual tanah atau menggadaikan warisan
budaya. Katolik Dayak, dalam kerangka itu, dipanggil untuk menjadi komunitas
yang militan, bukan dalam arti konfrontatif, melainkan dalam keteguhan iman dan
kepedulian sosial.
Konsili Vatikan II, dalam konstitusi Gaudium et Spes,
pernah menegaskan bahwa “sukacita dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang
zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, adalah juga
sukacita dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus.” Kutipan ini
memberi dasar teologis: Gereja tidak boleh menutup diri, melainkan hadir di
tengah masyarakat, merasakan denyut hidupnya, termasuk denyut masyarakat Dayak
yang sedang berjuang mencari tempat dalam sejarah.
Buku ini juga membuka ruang perdebatan. Ia tidak menutup
kemungkinan adanya perbedaan pandangan, baik di kalangan Katolik sendiri maupun
dengan komunitas lain. Justru, lewat perbedaan itulah lahir ventilasi baru.
Penulis berharap diskusi seputar identitas, sejarah, dan misi Dayak Katolik
bisa memperkaya Gereja, bukan membuatnya kaku dan terasing. Dengan cara itu,
umat tetap bisa merasa segar meski badai tantangan terus datang.
Kontribusi Kecil, Gaung yang Luas
Meski terdiri dari 40 tulisan yang bersifat reflektif, buku
ini punya ambisi sosial yang lebih besar daripada sekadar catatan pribadi.
Penulis ingin agar pembaca: baik Dayak maupun non-Dayak, Katolik maupun bukan,
mendengar suara dari dalam komunitas. Suara ini tidak lantang seperti orasi
politik, tetapi lirih dan konsisten. Lirih karena lahir dari pergumulan iman,
konsisten karena lahir dari cinta pada tanah sendiri.
Di era new media, ketika industri buku sering
terhimpit arus digital, karya semacam ini tetap punya tempat. Bukan karena
kemewahan datanya, melainkan karena kedalaman refleksi yang mengundang orang
untuk berhenti sejenak dan merenung. Ketika informasi hari ini lebih sering
diukur dari kecepatan dan viralitas, buku ini mengingatkan kita bahwa ada jenis
tulisan lain yang justru tumbuh dari kelambatan: dari proses merenung,
menggali, lalu menyusun.
Pembaca akan menemukan bahwa buku ini bukan
tentang jawaban, melainkan tentang pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu
menyasar ke inti: siapa kita sebagai Dayak? Apa arti menjadi Katolik di tanah
Borneo? Bagaimana Gereja bisa hadir dengan wajah yang ramah, adil, dan tetap
setia pada misinya? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin tidak semuanya selesai,
tetapi justru di situlah nilai buku ini. Ia mengajak pembaca untuk ikut serta
dalam percakapan panjang tentang sejarah, identitas, dan iman.
Paus Paulus VI dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi
(1975) menulis bahwa “pewartaan Injil adalah rahmat dan panggilan khas Gereja,
identitasnya yang terdalam.” Kalimat ini terasa pas untuk membingkai semangat
buku ini: tulisan-tulisan penulis muda Dayak ini adalah bagian dari panggilan
pewartaan, meski dengan bahasa refleksi, kegelisahan, dan “kicauan dari dalam.”
Penulis menutup karyanya dengan rendah hati. Ia menggarisbawahi bahwa tidak ada niatan menggurui, tidak ada klaim kebenaran mutlak. Yang ada hanyalah sebuah undangan: mari membaca, berpikir, dan berdialog bersama.
Dari kicauan kecil "dari dalam" ini, siapa tahu lahir gema yang lebih luas: sebuah percakapan yang mampu
memperkaya Gereja sekaligus menguatkan orang Dayak di tengah derasnya arus
zaman.
Peresensi: Agustinus Hertanto, S.Pd.