Magisterium
Magisterium adalah kuasa mengajar Gereja-Katolik. Ist. |
Oleh Apen Panlelugen
Magisterium. Kata ini bisa jadi terdengar berat. Seakan hanya milik para teolog dan profesor di universitas. Tetapi bagi umat sederhana yang datang ke gereja setiap Minggu, istilah ini adalah sesuatu yang dirasakan.
Magisterium adalah jaminan bahwa ajaran yang kita dengar dari mimbar bukan
sekadar pendapat pribadi pastor atau uskup, melainkan suara Gereja yang menjaga
kebenaran.
Secara etimologis, "Magisterium"berasal dari bahasa Latin magisterium. Akar katanya, magister, berarti: guru, pemimpin, pengawas. Lalu ditambah sufiks -ium, yang menegaskan peran dan buah dari tugas seorang guru.
Awalnya, magister bisa berarti luas: presiden, direktur, orang yang memimpin. Namun, dalam Gereja, makna itu dipersempit: sang penjaga iman.
Bagi saya, mendengar homili yang membakar hati menghadirkan rasa tenang karena suara itu tidak berdiri sendiri. Magisterium berakar pada tradisi panjang yang selalu dibimbing Roh Kudus.
Magisterium bukan teori kosong. sebaliknya kuasa mengajar Gereja penopang iman di tengah kegamangan hidup.
Sejarah
Sejarah Magisterium berawal dari para rasul. Yesus sendiri
yang meletakkan fondasi. Petrus menerima kunci Kerajaan Sorga. Para rasul lain,
dengan cara masing-masing, menyalurkan warisan iman itu kepada penerus mereka.
Dari sanalah lahir suksesi apostolik yang terus berjalan hingga sekarang.
Pada abad ke-2, ketika ajaran sesat seperti Gnostisisme
mengguncang, tokoh-tokoh seperti Ignatius dari Antiokhia, Irenaeus,
Tertullianus, Siprianus, Ambrosius, hingga Agustinus bangkit menegaskan: Gereja
punya otoritas untuk menjaga ajaran sejati. Uskup, meski manusia biasa,
dipandang sebagai benteng iman.
Tentu, perjalanan itu tidak selalu mulus. Ada masa ketika
moral klerus runtuh. Origenes pun tak segan mengkritik keras. Ada pula
Montanisme yang ingin mendobrak dari luar. Namun, di setiap guncangan, Gereja
selalu menemukan cara untuk memperbarui dirinya. Konsili-konsili besar, mulai
dari Nicea sampai Konstantinopel, menetapkan dasar iman yang kita akui sampai
kini: bahwa Kristus sungguh Allah dan sungguh manusia.
Abad Pertengahan membawa dinamika lain: supremasi paus makin
diterima, meski tak lepas dari kritik. Thomas Aquinas mengajarkan keseimbangan:
membedakan magisterium pastoral dengan teologis. Reformasi membuka babak baru.
Gereja menjawab melalui Konsili Trente, menegaskan bahwa Kitab Suci dan Tradisi
Suci berjalan beriringan, tak terpisahkan.
Dan akhirnya, Konsili Vatikan I merumuskan secara eksplisit
infallibilitas paus, sedangkan Konsili Vatikan II menambahkan nuansa kolegial:
paus dan uskup berjalan bersama, ditemani para teolog. Saya, sebagai umat awam,
hanya bisa melihat perjalanan ini sebagai bukti: iman tak pernah dibiarkan liar
tanpa penuntun. Selalu ada tangan yang menuntun, meski kadang goyah.
Dari Mana Kuasa Itu Didapat?
Pertanyaan ini sering muncul di hati: apakah otoritas Gereja
hanya buatan manusia? Jawabannya sederhana tetapi dalam: kuasa itu bersumber
dari Kristus sendiri. Dialah yang mendirikan Gereja, bukan sekadar komunitas
doa, melainkan tubuh hidup yang dijaga Roh Kudus.
Ketika Yesus berkata kepada Petrus, “Engkau adalah batu
karang, dan di atas batu karang ini Aku akan membangun Gereja-Ku,” hati saya
merinding. Seolah janji itu terus bergema hingga hari ini. Kunci Kerajaan Sorga
yang diberikan bukan sekadar simbol. Ia adalah warisan otoritas untuk menjaga,
mengajar, menafsirkan, dan menuntun.
Magisterium menjadi jaminan bahwa iman kita tidak bergantung
pada logika rapuh atau interpretasi pribadi yang bisa salah arah.
Infallibilitas bukan berarti paus atau uskup tak pernah berdosa. Mereka tetap
manusia biasa, dengan segala kelemahannya. Namun, ketika mengajar iman dan
moral secara definitif, ada jaminan ilahi: Roh Kudus tak akan membiarkan Gereja
salah.
Sebagai umat, saya sering goyah. Dunia menawarkan banyak tafsir, banyak suara. Ada yang meyakinkan, ada yang menyesatkan. Dalam kebingungan itu, Magisterium menjadi seperti mercusuar di tengah samudera. Cahaya yang tidak selalu terang benderang, tapi cukup untuk menunjukkan arah. Dan arah itu, saya percaya, menuju Kristus sendiri.