Bayang Ibu di Kabut Senja
Ilustrasi Gambar Seorang Anak Lelaki dan Bayangan Ibunya
Setiap kali aku menutup mata, bayangan samar itu hadir, menggenangi benak seperti embun pagi yang melekat di daun-daun rapuh. Aku berumur tujuh tahun saat ibuku pergi, saat dunia yang kugenggam dengan kepolosan seorang anak kecil tiba-tiba runtuh tanpa peringatan. Di usia yang masih hijau, aku tidak mengerti arti dari kata 'perpisahan', terlebih lagi 'kematian'. Bagiku, yang kutahu hanya satu: ibu adalah rumah, tempat segala resahku menemukan kedamaian. Kehilangan ibu seperti terlempar dari rumah yang aman ke padang pasir yang luas dan tak berujung. Aku tersesat, dan sampai kini, aku masih berusaha menemukan jalan pulang.Ibuku adalah kenangan yang berkelebat seperti kabut di tepi hutan, begitu dekat namun tak pernah bisa kugenggam. Wajahnya samar, meski aku mencoba sekuat tenaga mengingat detail-detailnya. Senyumnya, suaranya, bagaimana ia memelukku erat ketika aku takut pada suara petir yang menderu di luar jendela—semua itu perlahan memudar, seperti pasir yang tertiup angin. Namun, satu hal yang tak pernah hilang adalah rasa—rasa hangat yang mengalir dari setiap pelukan dan belaian lembutnya, seakan ia adalah matahari yang menyinari duniaku yang kecil.
Saat kepergian itu, aku hanya bisa berdiri di sudut ruangan, menyaksikan tubuhnya terbaring kaku. Ada begitu banyak orang di sana—mereka menangis, meratap, sementara aku bingung, terperangkap dalam ketidakpahaman. Aku tidak menangis saat itu, entah mengapa. Mungkin karena aku belum mengerti bahwa itu adalah kali terakhir aku melihat ibu. Bahwa setelah hari itu, aku tidak akan pernah lagi mendengar suaranya yang lembut memanggil namaku. Tidak akan ada lagi belaian lembut di rambutku saat aku terlelap. Segala yang kuanggap abadi ternyata begitu mudah hilang, seperti daun yang luruh dari dahan, jatuh dan menghilang ke dalam tanah.
Hari-hari setelah itu bagiku bagaikan melangkah di jalan yang diselimuti kabut tebal. Dunia tetap berjalan, orang-orang tetap tertawa, tapi bagiku, semuanya berubah menjadi sunyi. Setiap sudut rumah yang dulu dipenuhi canda dan tawa ibu kini terasa begitu sepi, kosong seperti gua tak berpenghuni. Aku sering duduk di pojok kamar, berharap ibuku akan datang dan memelukku, seperti yang biasa ia lakukan ketika aku takut atau sedih. Tapi yang ada hanya hampa. Kesunyian menyelubungiku seperti selimut dingin yang tak bisa kugoyahkan.
Saat aku pulang dari sekolah, melihat anak-anak lain menggenggam tangan ibu mereka, hatiku terasa mencelus. Aku tak pernah bisa berkata apa-apa, hanya bisa melihat dari kejauhan, seperti seorang asing yang mengintip kehidupan orang lain dari balik jendela. Bagiku, dunia mereka tampak sempurna—hangat, utuh. Sementara duniaku terasa rapuh, seperti kaca yang retak, menunggu untuk hancur berkeping-keping.
Setiap kali aku merasa sendirian, hatiku selalu kembali kepada ibuku, memanggil-manggil namanya dalam keheningan malam. Di antara bayangan yang berayun lembut di dinding, aku membayangkan dia ada di sana, duduk di samping tempat tidurku, menyanyikan lagu yang dulu sering ia lantunkan untuk meninabobokan aku. Tetapi yang terdengar hanya gemerisik angin di luar jendela, seperti suara bisikan hampa yang mengingatkan bahwa dia tak lagi ada. Aku sering bertanya, "Mengapa ibu harus pergi? Mengapa Tuhan begitu cepat memanggilnya?"
Aku tidak pernah mendapatkan jawaban, hanya sepi yang membalut pertanyaanku. Seiring waktu, aku mulai terbiasa dengan kesendirian ini, meski hatiku tak pernah benar-benar menerima. Seperti pohon yang kehilangan daunnya di musim gugur, aku merasa bagian dari diriku telah diambil, namun aku masih berdiri, meski tak lagi utuh. Kematian ibuku mencabut akarku dari tanah yang kukenal, dan aku dibiarkan menggantung di angin, tak tahu ke mana harus berpaut.
Ada saat-saat dalam hidup ketika aku sangat rindu pada ibuku hingga rasanya nafasku tercekik. Ketika dunia terlalu keras, ketika hidup terasa terlalu berat, aku selalu berharap dia ada di sana, memberi kekuatan dengan sentuhan lembut tangannya. Aku bisa membayangkan bagaimana dia akan memelukku erat dan berkata, "Nak, semuanya akan baik-baik saja." Tapi suara itu tak pernah datang, hanya keheningan yang terus menggelayuti.
Rindu ini bagaikan bara yang tak pernah padam, menghanguskan hatiku perlahan-lahan, meninggalkan jejak-jejak luka yang tak kasat mata. Pada malam-malam yang sunyi, aku merasakan kekosongan itu begitu dalam, seolah ada lubang besar di dadaku yang tak bisa tertutupi oleh apapun. Aku berdoa, memohon pada Tuhan agar ia mengirimkan ibuku kembali, walau hanya dalam mimpi. Aku ingin memeluknya lagi, ingin merasakan hangat tubuhnya yang kurindukan lebih dari apapun. Tapi mimpi-mimpi itu jarang datang. Ketika mereka datang, mereka hanya meninggalkan lebih banyak kesedihan saat aku terbangun.
Waktu terus berjalan, tetapi rindu ini tak pernah benar-benar hilang. Setiap kali aku menghadapi kesulitan, setiap kali hidup membuatku tersesat, aku selalu berpaling pada bayangan samar ibuku, seolah dia adalah bintang penuntunku di tengah malam yang pekat. Meski aku tahu dia tak akan pernah kembali, aku tetap mencari
-cari kehadirannya dalam setiap celah hidupku, berharap dia masih ada di sana, dalam bentuk yang tak bisa kulihat, tapi selalu bisa kurasakan.
Ibu adalah pelangi yang memudar di cakrawala, keindahannya tak pernah benar-benar hilang, meski mata tak lagi bisa menangkapnya. Dia ada di setiap sudut hidupku—dalam angin yang lembut membelai wajahku, dalam hangat matahari yang menyusup di antara dedaunan, dalam aliran air yang tenang di sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Dia adalah suara-suara kecil di dalam hatiku, yang terus membisikkan kata-kata penghiburan saat aku merasa sendiri.
Kini, di saat-saat paling sulit, aku belajar bahwa cinta seorang ibu tak pernah benar-benar pergi. Meskipun dia tidak lagi hadir dalam wujud yang bisa kulihat atau kusentuh, dia tetap ada di sini, dalam hatiku. Rinduku padanya adalah bukti bahwa kasihnya selalu mengalir, seperti arus sungai yang tak pernah berhenti, meski kita tak bisa melihat dari mana asalnya atau ke mana perginya.
Cinta ibu adalah langit malam yang selalu ada di atas kita, meski terkadang tertutup awan. Kita mungkin tidak selalu bisa melihat bintang-bintangnya, tapi kita tahu mereka ada di sana, memberikan sinarnya yang lembut, menjaga kita dari kegelapan yang paling dalam. Aku tahu, ibu adalah bintangku, dan meski dia telah pergi, dia tak pernah benar-benar meninggalkanku. Cintanya akan selalu ada, selamanya.
-- Ch. Pedeuro