Menyulam Kasih di Antara Rentangan Derita
Gambar Ilutrasi: Sebuah situasi yang menggambarkan seorang perempuan sebelum dan sesudah mengenal Tuhan
Dunia
memiliki banyak rahasia yang tersingkap didalamnya. Termasuk berbagai rupa yang
kalang kabut saling menjatuhkan sesama manusia, menjadi pemeran utama yang tak lagi
asing. Benar adanya kadang bumi menyimpan banyak hal yang menjijikkan terlebih
para manusia yang saling menyerang bahkan nyawa menghilang lantaran mabuk
agama.
Entah
Tuhan yang mana yang mengajarkan untuk saling memakan saudara dikala lapar dan
dahaga akan kuasa? Entah apa yang ditawarkan oleh surga sehingga mencela adalah
hal yang biasa?
Begitulah
pikiran Margaretha yang kala itu duduk sembari memandangi riuhnya pemandangan
dibalik jendela cafe yang terletak dipinggiran kota.
Slruup….
Sesekali
Margaretha meneguk secangkir kopi yang tampak dingin menyentuh bibir tebalnya.
Jemarinya mulai meraih ponsel yang sedari tadi tersimpan diatas meja.
Jari-jemarinya bermain bak rima mencari nama untuk dihubunginya.
“aku
sedang diluar. Sebentar lagi aku kembali kesana.” Ucapnya lembut tanpa
berekspresi apa-apa.
Begitulah
wanita yang bernama lengkap Margaretha Alychia atau yang akrab disapa
Margaretha. Ia seorang wanita tangguh yang hidup dikalangan keluarga yang
berkecukupan. Namun, kedamaian dihatinya adalah kata-kata asing yang bahkan ia
tak tau pastinya, ia juga tak mengenal bagaimana rasanya seorang manusia
bahagia yang mampu merasakan kedamaian.
Ia
perempuan masa kini yang berkali-kali mencoba protes dengan berbagai aksi
manusia yang menjengkelkan baginya. Lingkungan patriarki, kekerasan rumah
tangga bahkan penyiksaan fisik maupun batin yang bertopengkan agama menjadi
kecemasan baginya.
Yang
paling dekat dengan dirinya, ia dibunuh berkali-kali di rumah sendiri. Namun
dipagi hari dipaksa kembali hidup hanya sekedar menutupi aib keluarganya.
Orang
tuanya tidak pernah menjadi teladan bagi dirinya. Bahkan kecurangan,
keserakahan dan pembunuhan kerap terjadi di depan mata. Orang tuanya tinggal
bersama, namun seolah bukan cinta yang menjadi landasannya. Kerap ia bertanya
dalam hati, apakah kehadirannya sesuatu yang diharapkan?
Margaretha
bangun dari tempat duduknya. Ia memasukkan ponselnya kedalam tas yang ia simpan
pada kursi di sampingnya.
Ia
melangkah meninggalkan café dan menuju ke kantor di seberang jalan. Ia bekerja
cukup lama di perusahaan ternama itu. Bukan impiannya untuk menjadi seorang
budak korporat disana. Entah atas dasar apa ayahnya memasukkan ia kedalam
gudang para penipu dan manusia-manusia munafik disana.
“aku
cari kamu dari tadi.” Ucap Angela.
Angela
adalah perempuan manis dan lembut. Perempuan yang tampak berbeda dari
tumpukan-tumpukan robot hidup disana. Angela berkali-kali menyebut nama Tuhan
dan Bunda Maria dihadapan Margaretha. Entah apapun itu, tampaknya Angela begitu
mengagumi kedua nama yang tak pernah lepas dari mulutnya.
“aku
mencari angin segar” jawab Margaretha sembari melangkah menuju meja kerjanya.
“kenapa
tidak ajak aku?” tanya Angela yang dari tadi disampingnya.
“aku
melihat kamu sedang melakukan kebiasaanmu, menutup mata sambil memegang
kalung….apa…..ros…”
Masih
terbata-bata mencari nama kalung yang sering disebut sahabatnya itu Angela
dengan cepat menyambung.
“Rosario.”
“nah,
Rosario.” Jelasnya lagi.
“kamu
kan bisa menunggu.” Ucap Angela lagi.
“tentu,
tapi aku kagum sekaligus iri. Kamu begitu dekat dengan Tuhanmu sedang aku tidak
tau Tuhanku yang mana? cara menyembahnya seperti apa?” Sahutnya lagi kini
dengan nada lirih.
“Tuhan
kita sama. Kamu seorang katolik juga kan. KTP mu mengatakan demikian”. Sambung
Angela yang duduk disamping sahabatnya itu.
Margaretha
hanya tersenyum kecil mendengar kata-kata Angela. "Ya, mungkin KTP-ku
mengatakan aku seorang Katolik, tapi aku sendiri tidak tahu apa artinya itu.
Tuhan… begitu jauh dariku, seolah tak pernah hadir dalam setiap langkah
hidupku."
Angela
diam sejenak, tak ingin memaksa, namun ia juga tak bisa diam saja melihat
sahabatnya terus terjebak dalam kehampaan. Angela tahu, hidup Margaretha
dipenuhi dengan luka-luka yang tak pernah sembuh, luka yang berasal dari rumah
yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, namun malah menjadi ladang
penindasan. Ia tahu bahwa Margaretha tidak hanya kehilangan kepercayaan pada
Tuhan, tapi juga pada manusia.
Margaretha menarik napas dalam-dalam, menatap
Angela dengan mata yang penuh tanda tanya. "Angela...," ia berkata
pelan, "Kamu selalu berbicara tentang Tuhan dengan begitu yakin. Apa kamu
benar-benar merasakan kehadiran-Nya? Apa kamu pernah meragukan-Nya? Aku hanya
melihat... kehancuran di sekitarku."
Angela tersenyum lembut, seperti seorang ibu yang
hendak menenangkan anak kecil yang bingung. "Margaretha, setiap orang
punya perjalanan sendiri untuk menemukan Tuhan. Aku juga pernah berada di titik
di mana aku merasa hilang, tak tahu arah, tapi aku selalu percaya bahwa Tuhan
tidak pernah meninggalkan kita. Kamu tahu, Tuhan tidak selalu terlihat dalam
hal-hal besar. Terkadang, Dia ada dalam hal-hal kecil... dalam ketenangan,
dalam damai yang tiba-tiba datang tanpa alasan, dalam cinta yang tak
bersyarat."
Margaretha merasakan dadanya mulai sesak, seolah
ada sesuatu yang ingin keluar tapi terhalang oleh tembok yang selama ini ia
bangun. “Cinta yang tak bersyarat? Di mana itu, Angela? Di mana aku bisa
menemukan cinta seperti itu?” suaranya hampir berbisik. "Di rumah? Di
tempat kerja? Aku tidak pernah tahu cinta yang seperti itu. Orang tua ku...
mereka hanya cinta pada status, pada kuasa. Di rumah, aku seperti boneka yang
harus bergerak sesuai kehendak mereka. Aku merasa tidak pernah benar-benar
hidup."
Angela menatap Margaretha dengan penuh kasih,
memegang tangannya dengan lembut. “Margaretha, cinta sejati ada dalam hatimu,
dalam hubunganmu dengan Tuhan. Mungkin kamu belum merasakannya sekarang, tapi
itu bukan berarti Tuhan tidak mencintaimu. Aku percaya, kadang kita harus
melalui jalan yang sulit untuk benar-benar memahami cinta dan rahmat-Nya."
Margaretha menarik tangannya, sedikit terguncang
oleh perasaan yang semakin dalam meresap. Ia tertawa pahit, “Angela, kamu
terlalu percaya pada dongeng. Hidup ini tidak seindah itu. Aku hanya melihat
kebohongan dan kehancuran di mana-mana. Orang-orang menggunakan nama Tuhan
untuk membenarkan hal-hal yang mengerikan.”
Angela tetap tenang, tidak terguncang oleh
tanggapan keras itu. "Mungkin kamu benar," katanya perlahan, "tapi
Tuhan tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan manusia. Itu adalah
pilihan kita, pilihan untuk mencintai atau merusak. Dan aku tahu, di dalam
hatimu yang terluka ini, kamu mencari cinta, kamu ingin damai. Kamu tidak harus
menemukan semuanya sekarang, tapi kamu bisa memulainya."
Margaretha menatap ke arah jendela, merenungkan
kata-kata sahabatnya. Sejenak, hening menguasai ruangan. Lalu Margaretha
berkata, "Angela, aku ingin mempercayai apa yang kamu katakan. Tapi
keluargaku... Ayahku, ibuku, mereka adalah orang yang paling sering mengucapkan
nama Tuhan di mulut, tapi tangan mereka berlumuran darah. Bagaimana mungkin
Tuhan ada di antara kami?”
Angela menatapnya lembut. "Margaretha, Tuhan
tidak pernah memaksakan diri-Nya kepada siapa pun. Tapi Tuhan bisa hadir di
tengah-tengah keluarga kita jika kita memanggil-Nya dengan tulus. Mungkin
keluargamu terluka seperti kamu. Mungkin mereka juga butuh pengampunan, seperti
halnya kamu."
Margaretha tertegun. Ia tidak pernah berpikir
seperti itu sebelumnya. "Pengampunan?" katanya pelan, hampir tidak
terdengar. "Aku harus memaafkan mereka?"
Angela mengangguk, matanya lembut namun tegas.
"Ya, pengampunan. Bukan untuk mereka, tapi untuk dirimu sendiri. Supaya
hatimu bisa bebas dari beban yang selama ini kamu pikul. Percayalah, ketika
kamu belajar memaafkan, kamu akan merasakan kedamaian yang luar biasa. Dan saat
itu, kamu akan mulai merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupmu."
Margaretha menghela napas panjang. Kata-kata Angela terasa berat, namun penuh harapan. Mungkin memang selama ini ia hidup dalam kegelapan, memandang hidup dari sudut yang salah. Mungkin Tuhan tidak pernah jauh, hanya saja ia yang selalu menghindar.
Hari-hari
berlalu, dan Margaretha terus menjalani rutinitasnya di kantor seperti biasa,
namun sesuatu mulai berubah. Konflik besar mulai meletus di dalam keluarganya.
Ayah Margaretha, yang selama ini dikenal sebagai seorang pria berkuasa,
terjerat kasus korupsi besar yang menarik perhatian publik. Berita itu
menghancurkan reputasi keluarganya yang selama ini dijaga mati-matian. Ibunya
menjadi sasaran kebencian, bukan hanya dari publik, tapi dari keluarganya
sendiri. Orang-orang di sekitarnya mulai menunjukkan wajah asli mereka,
teman-teman yang selama ini terlihat ramah mulai menjauh.
Margaretha
pun terperangkap di tengah badai. Ia tidak lagi bisa menutupi rasa sakit yang
selama ini ia pendam. Ia merasa sendirian, tenggelam dalam kegelapan tanpa ada
yang bisa diandalkan. Semua hal yang ia benci tentang dunia ini sekarang
menimpa keluarganya sendiri, dan ia merasa tidak ada jalan keluar.
Sementara itu, selama ini Margaretha bekerja di
perusahaan itu bukan atas keinginannya sendiri, melainkan karena desakan dari
ayahnya, Pak Herman, yang memiliki hubungan bisnis kotor dengan atasannya, Pak
Arman. Ayah Margaretha terlibat dalam berbagai praktik gelap bersama Pak Arman,
dari penggelapan dana hingga korupsi di belakang layar. Dulu, ketika Margaretha
pertama kali masuk, Pak Arman bersikap sangat baik kepadanya. Bukan karena ia
menghargai kompetensinya, tetapi karena takut pada pengaruh besar Pak Herman.
Hubungan itu memberi perlindungan bagi Margaretha, meski ia tahu pekerjaannya
di sana bukan yang ia inginkan, setidaknya ia merasa aman.
Namun, semua berubah ketika ayahnya ditangkap dan
dipenjara atas tuduhan korupsi. Penyidik berhasil mengungkap beberapa skandal
bisnis gelap Pak Herman dan meski Pak Arman terlibat, ia berhasil lolos dari
jerat hukum. Kini, tanpa perlindungan ayahnya, Margaretha tidak lagi dipandang
sebagai ‘anak emas. Sebaliknya, Pak Arman yang dulu bersikap lembut dan selalu
tersenyum ramah, mulai menunjukkan wajah aslinya, seorang bos kejam yang hanya
mementingkan dirinya sendiri.
Sementara itu, dalam rapat mingguan, Pak Arman
tiba-tiba memintanya untuk mengurus proyek besar sendirian, tanpa dukungan tim
yang seharusnya terlibat. Padahal, proyek ini sangat kompleks, dan biasanya
ditangani oleh beberapa departemen sekaligus. Margaretha merasa ini tidak adil
dan dengan sopan mencoba untuk menolaknya.
“Pak, saya rasa proyek ini terlalu besar untuk
saya tangani sendiri. Biasanya tim pemasaran dan keuangan juga terlibat dalam
penyusunan laporan dan strategi. Bisa kita koordinasikan dulu?”
Pak Arman mengangkat alisnya dan tersenyum sinis.
“Kamu lupa, Margaretha? Kamu tidak punya pilihan di sini. Dulu kamu bisa
bersandar pada pengaruh ayahmu, tapi sekarang? Kamu hanya karyawan biasa di
sini. Kerjakan saja tugasmu atau aku akan pastikan kariermu hancur lebih cepat
dari yang kamu bayangkan.”
Kata-katanya menusuk tajam. Margaretha tahu,
situasinya berubah drastis. Dulu ia dihargai bukan karena kemampuannya, tetapi
karena nama besar ayahnya. Kini, ia menjadi sasaran kemarahan dan frustasi Pak
Arman yang jelas tidak lagi takut padanya. Setiap hari di kantor menjadi beban
berat bagi Margaretha, tidak hanya karena pekerjaan yang makin tidak masuk
akal, tetapi juga karena penghinaan yang mulai sering diterimanya.
Suatu hari, Pak Arman memanggilnya ke ruangannya.
Di sana, ia menghadap Margaretha dengan sikap dingin dan penuh ancaman.
"Aku butuh kamu untuk menandatangani dokumen-dokumen ini," katanya
sambil meletakkan berkas di meja. “Ini adalah transaksi yang sudah kami atur
sejak lama. Ayahmu tahu semua ini, jadi kamu harus ikut menutupinya.”
Margaretha membaca dokumen-dokumen itu dan dengan
cepat menyadari bahwa ini adalah bagian dari bisnis kotor ayahnya yang belum
terungkap. Tanda tangannya akan berarti ia ikut terlibat dalam korupsi besar
ini.
“Pak, saya tidak bisa tanda tangan ini,” ucapnya
tegas. “Ini ilegal, dan saya tidak akan menjadi bagian dari ini.”
Pak Arman tersenyum tipis, dan suaranya terdengar
licik. “Margaretha, jangan naif. Kalau kamu tidak tanda tangan, aku akan
memastikan semua orang tahu kamu terlibat. Ingat, ada banyak bukti yang bisa
kubuat seolah-olah kamu ikut bermain dalam bisnis gelap ayahmu. Dan kalau itu
sampai ke publik, hidupmu akan lebih sulit dari ini.”
Margaretha menahan napas. Ia merasa terperangkap.
Pak Arman mengancam akan menghancurkan reputasinya dan itu akan memperburuk
keadaan keluarganya yang sudah jatuh akibat kasus ayahnya. Margaretha tahu
bahwa jika ia tidak berhati-hati, ia bisa berakhir seperti ayahnya, terjebak
dalam skandal dan kehancuran hidup.
Di
rumah, keadaan tak jauh berbeda. Ibunya, Ibu Laras, yang dulu selalu tampak
tegar dan angkuh, kini terpuruk dalam rasa bersalah yang mendalam. Ayah
Margaretha, yang selama bertahun-tahun menjadi sosok kuat dan berkuasa, kini
meringkuk di dalam penjara. Ibu Laras jarang berbicara, dan kalaupun berbicara,
sering kali hanya untuk mengeluh tentang nasib buruk yang menimpa keluarga
mereka.
Namun,
di tengah semua kekacauan ini, ada satu sosok yang tetap menjadi cahaya kecil
bagi Margaretha, Angela, sahabatnya di kantor. Angela, dengan senyum lembut dan
kata-kata penuh penghiburan, selalu berada di sisinya. Angela seringkali
berbicara tentang Tuhan, tentang Bunda Maria, dan tentang harapan, hal-hal yang
dulu Margaretha anggap sebagai omong kosong. Tapi semakin hari, kata-kata
Angela mulai menggetarkan hatinya.
Suatu
sore, setelah dimarahi dan diancam lagi oleh Pak Arman Margaretha berjalan tak
tentu arah hingga langit gelap dan hujan turun deras,
seolah ikut mencerminkan kekacauan dalam dirinya. Tanpa sadar, langkahnya
membawanya ke sebuah gereja tua yang berada di pinggiran kota. Gereja itu
tampak sunyi, hanya diterangi oleh beberapa lilin di dalamnya. Hatinya merasa
tertarik, meski logikanya menolak.
Dengan
berat hati, Margaretha melangkah masuk. Angela, yang selama ini memperhatikan
gerak-geriknya dari kejauhan, diam-diam mengikutinya. Di dalam gereja,
Margaretha duduk di salah satu bangku kayu yang dingin, memandangi patung Yesus
di atas altar. Hatinya penuh kebingungan, kemarahan, dan rasa sakit.
"Apa
yang sebenarnya kau inginkan dariku?" Margaretha berbisik lirih, suaranya
penuh luka. "Jika memang Kau ada, mengapa semua ini terjadi? Mengapa Kau
diam saja ketika aku hancur? Mengapa Kau membiarkan keluargaku
berantakan?"
Saat
itu, entah datang dari mana, entah tau dari siapa, sosok Angela melangkah
mendekatinya, duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa. Ia hanya meraih tangan
Margaretha dengan lembut, memberikan kehangatan ditengah rasa dingin yang
menyelimutinya.
"Tuhan
tidak pernah diam, Margaretha. Dia selalu ada di sini," bisik Angela
pelan, matanya berkaca-kaca. "Kadang kita hanya terlalu fokus pada luka
kita hingga kita tidak bisa melihat-Nya. Aku tahu betapa beratnya hidupmu, tapi
Tuhan tidak pernah menjauh darimu. Dia selalu menunggu, siap memelukmu kapan
pun kamu siap kembali."
Angela
meraih tangan Margaretha, menggenggamnya erat. "Tuhan tidak akan
meninggalkanmu, Margaretha. Kadang, saat hidup terasa paling gelap, itulah saat
kita paling dekat dengan cahaya-Nya. Kamu harus percaya, Tuhan punya rencana
untukmu."
"Tuhan?
Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara berbicara pada-Nya. Selama ini aku
hanya... aku bahkan tidak tahu bagaimana berdoa."
Angela
tersenyum kecil. "Berdoa itu tidak harus sempurna. Tuhan mendengar setiap
bisikan hati kita. Kamu bisa mulai dari hal kecil. Mengungkapkan apa yang kamu
rasakan, seperti yang kamu lakukan sekarang."
Air
mata Margaretha mulai mengalir tanpa ia sadari. Rasa sakit yang selama ini ia
tahan seolah meluap keluar, meruntuhkan dinding yang ia bangun selama
bertahun-tahun. Angela terus menggenggam tangannya, memberi kekuatan tanpa
menghakimi.
Malam
itu menjadi titik balik bagi Margaretha. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya,
ia merasakan kehadiran Tuhan. Bukan sebagai sosok yang jauh dan asing, tapi
sebagai pelindung yang penuh kasih. Angela membimbingnya perlahan, mengajaknya
berdoa bersama, memperkenalkan Margaretha pada Rosario yang dulu ia pandang
sebelah mata.
Setelah
percakapan itu, Margaretha mulai perlahan-lahan mendekatkan dirinya pada Tuhan,
meskipun dengan cara yang penuh keraguan. Setiap kali Angela berdoa Rosario, ia
mengikutinya, meski tak sepenuhnya memahami doa tersebut. Namun, ada ketenangan
yang ia rasakan, meski hanya sesaat.
Sementara
itu, di rumah, ibunya mulai berubah. Ibu Laras yang dulu terlihat keras dan tak
peduli, kini mulai lebih sering berbicara dengan Margaretha. Suatu malam,
ketika Margaretha pulang dari kantor dengan wajah lelah, ia menemukan ibunya
duduk di meja makan, memegang foto keluarga mereka.
"Margaretha,"
panggilnya dengan suara pelan.
Margaretha
berhenti di depan ibunya. "Ada apa, Bu?"
Ibunya
terdiam sejenak, air mata mengalir dari sudut matanya. "Aku... aku sudah
terlalu lama membiarkan semuanya hancur. Dulu, aku menutup mata pada semua
kesalahan yang ayahmu lakukan. Aku pikir selama kita hidup nyaman, semua akan
baik-baik saja. Tapi sekarang... aku kehilangan segalanya. Kita kehilangan
segalanya." Ucapnya dengan nada parau dan suara yang bergetar menahan
tangisnya, meski tak sepenuhnya tertahan.
Margaretha
duduk di samping ibunya, memegang tangannya. "Kita masih punya satu sama
lain, Bu. Kita bisa memperbaiki ini. Mungkin tidak semua, tapi kita bisa mulai
dari diri kita sendiri."
Ibu
Laras mengangguk pelan. "Maukah kamu membantuku menemukan kembali Tuhan?
Aku... aku ingin berubah, Margaretha."
Margaretha
tersenyum, meski air mata juga mengalir di wajahnya. "Kita bisa
melakukannya bersama, Bu."
Keesokan
harinya, mereka memutuskan untuk mengunjungi ayah Margaretha di penjara. Dengan
hati berat, mereka memasuki ruang kunjungan, di mana Pak Pak Herman duduk
dengan tatapan kosong. Wajahnya tampak lebih tua dari sebelumnya, keriput
menghiasi seluruh wajahnya. Ketika ia melihat Ibu Laras dan Margaretha, air
mata langsung mengalir di pipinya.
"Ayah..."
Margaretha memanggilnya pelan.
Pak
Herman menatap mereka berdua dengan rasa penyesalan yang mendalam. "Aku
sudah menghancurkan semuanya. Aku yang menyebabkan kalian menderita seperti
ini. Aku... aku tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya."
Ibu
Laras, yang biasanya hanya terdiam, kini maju dan menggenggam tangan suaminya.
"Kita masih bisa memperbaikinya, sayang. Kita bisa memulai dengan memohon
pengampunan dari Tuhan. Aku juga sudah terlalu lama menutup mata. Tapi kita
bisa berubah. Tuhan selalu memberi kesempatan kedua."
Di
tengah rasa haru dan kesedihan yang mendalam, keluarga itu berdoa bersama di
ruang kecil penjara. Angela selalu mengatakan bahwa doa bisa menjadi jembatan
yang menghubungkan kita dengan Tuhan, dan Margaretha merasakannya saat itu. Doa
mereka dipenuhi air mata, penuh rasa penyesalan, tetapi juga penuh harapan.
Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi mereka bisa
memulai perjalanan baru, perjalanan menuju pemulihan, cinta, dan iman.
Hari-hari
berikutnya, Margaretha terus didampingi oleh Angela yang tak pernah lelah
mengingatkan betapa pentingnya memiliki harapan. Ia tahu, Angela adalah cahaya
yang dikirim Tuhan di tengah kegelapan hidupnya. Perlahan, kehidupan Margaretha
dan keluarganya mulai berubah. Mereka mungkin tidak akan pernah kembali pada
kemewahan yang dulu, tapi mereka menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga:
kedamaian, pengampunan, dan cinta yang sejati, bukan hanya untuk dunia ini, tapi
juga untuk Tuhan yang selalu menunggu mereka kembali.
Di
saat semuanya tampak berantakan, mereka menemukan harapan. Dan itulah hadiah
terbesar dari semua penderitaan yang mereka lalui.
Waktu
berlalu, dan perubahan di dalam diri Margaretha perlahan-lahan mulai merambat
ke keluarganya. Ia yang dulu begitu penuh amarah kini mulai menunjukkan belas
kasih, terutama kepada ibunya yang hancur karena skandal ayahnya.
Keesokan harinya, setelah merasakan kedamaian
dalam keluarganya, Margaretha memiliki semangat dan harapan baru. Ia memutuskan
untuk melawan ketakutannya. Saat kembali ke kantor, ia menemui Angela. Dengan
suara lirih, Margaretha menceritakan semuanya. Angela mendengarkannya dengan
penuh perhatian, lalu berkata dengan tenang, “Margaretha, kamu tidak sendirian.
Kita akan hadapi ini bersama-sama. Jangan takut, karena kebenaran selalu menang
pada akhirnya.”
Dengan dukungan Angela, Margaretha memberanikan
diri untuk melaporkan Pak Arman ke pihak berwenang. Bersama Angela, mereka
mengumpulkan bukti-bukti yang mengungkap keterlibatan Pak Arman dalam berbagai
skandal korupsi yang selama ini disembunyikan.
Tidak lama setelah itu, Pak Arman ditangkap, dan
nama Margaretha pun dibersihkan dari segala tuduhan. Bagi Margaretha, ini bukan
hanya kemenangan atas ketidakadilan di tempat kerjanya, tetapi juga awal dari
kebangkitannya, sebuah perjalanan panjang untuk menemukan kedamaian yang telah
lama hilang dari hidupnya. Melalui perjuangan ini, ia menemukan kembali
imannya, dan bersama Angela, Margaretha mulai belajar untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan dengan cara yang lebih dalam.
Angela,
dengan kelembutan dan kesabarannya, menjadi pilar kekuatan bagi Margaretha dan
keluarganya. Ia terus mendoakan mereka, membantu mereka mengenali kasih Tuhan
yang selama ini mereka abaikan. Keluarga yang dulu penuh kebencian dan penipuan
itu, perlahan mulai belajar memaafkan dan berdamai, baik dengan diri mereka
sendiri maupun dengan Tuhan.
Dan
di akhir perjalanan panjang yang penuh air mata dan doa itu, Margaretha
menemukan kedamaian yang selama ini ia cari. Ia tahu, meski dunia masih penuh
dengan kekacauan, ada satu hal yang tidak pernah berubah yaitu kasih Tuhan yang
selalu ada, menunggu untuk diterima.
Saat
ini, ia berdiri lebih kuat dari sebelumnya, bukan karena kekayaannya atau
posisinya, tapi karena ia telah mengenal cinta Tuhan yang sejati. Dan untuk
itu, ia berterima kasih pada Angela, yang dengan sabar dan tanpa pamrih,
menuntunnya kembali ke jalan yang benar.
Kesimpulan
Pesan moral dari cerita ini adalah bahwa ketulusan hati, pengampunan, dan iman kepada Tuhan dapat membawa perubahan positif dalam hidup kita, bahkan di saat-saat paling gelap. Margaretha dan keluarganya menghadapi cobaan berat, dari pengkhianatan, kekejaman, hingga kehancuran moral dalam keluarga. Namun, mereka menemukan harapan dan pemulihan melalui perjalanan menuju pengampunan dan pertobatan.
Tuhan
selalu memberi kesempatan kedua kepada siapa pun yang bersedia membuka hati dan
menerima-Nya. Tak peduli seberapa jauh kita telah tersesat, masih ada jalan
kembali menuju cinta, perdamaian, dan kebahagiaan sejati.
Selain itu, persahabatan yang tulus seperti hubungan antara Angela dan Margaretha menunjukkan betapa pentingnya dukungan dan pengaruh positif dari orang-orang di sekitar kita. Angela dengan lembut menuntun Margaretha untuk menemukan Tuhan, membantunya menghadapi kesulitan, dan akhirnya membawa keluarga Margaretha kembali bersatu.
Cerita ini juga mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kekayaan atau kekuasaan, melainkan dari kedamaian hati dan cinta yang tulus.
-Selvitri Asmita Sari ʚଓ-