Mengapa Corpus Yesus Masih Tergantung di Salib Umat Katolik?

 

Corpus Yesus Masih Tergantung di Salib Umat Katolik
Corpus Yesus yang tergantung di salib bagi mmat Katolik sangat mendasar sebagai salah satu ujud Yesus-historis. Ist.
Oleh Sr. Maria Assumpta Guati

Di tengah hiruk-pikuk kota, di antara gedung tinggi dan jalanan yang nyaris tak pernah sepi, tanda salib sering muncul begitu saja.

Ada yang menjuntai kecil di dada seorang pejalan kaki, ada yang terpahat di dinding kapel sederhana, ada pula yang berdiri kokoh di puncak menara gereja.

Banyak mata memandangnya sekilas, lalu berlalu. Namun bagi umat Katolik, salib bukan sekadar lambang geometris. Ada tubuh Yesus yang tergantung di sana, dengan luka di lambung yang ditikam oleh serdadu Romawi, darah, dan wajah tertunduk.

Justru tubuh itu yang membuat tanda salib tidak pernah jatuh sekadar hiasan belaka. Kehadiran Yesus yang tergantung di kayu itu menjadikan salib bukan ornamen kosong, melainkan tanda yang hidup. Di dalamnya terkandung begitu banyak lapisan makna: kesediaan menanggung derita, ketaatan yang teguh sampai mati, sikap berserah penuh kepada Bapa, dan pengorbanan tanpa pamrih demi manusia. Hinaan yang menempel di kayu itu pun berubah menjadi kemuliaan, seakan-akan dari luka lahir cahaya baru. Salib bukan hanya garis vertikal dan horizontal, melainkan perjumpaan yang tak terelakkan antara bumi dengan langit, antara keterbatasan manusia dengan kasih ilahi.

Dan di tengah pertemuan itulah, ada Yesus; bukan sosok lain. Dialah inti yang memberi arti pada kayu kasar itu. Tanpa Dia, salib hanyalah tiang kayu yang dingin. Dengan Dia, salib menjadi tanda hidup yang tak pernah lekang oleh waktu. Ia hadir di sana sebagai pengantara, jembatan yang merentang dari penderitaan menuju harapan, dari kematian menuju kehidupan. 

Maka setiap kali orang memandang corpus itu, bukan sekadar benda yang dilihat, melainkan misteri yang dialami: Yesus yang setia mendampingi manusia dalam segala silang kehidupan.

Corpus Kristus adalah Penanda Salib Itu Milik-Nya

Coba bayangkan salib polos tanpa apa-apa. Indah, mungkin. Namun bagaimana kita bisa tahu itu salib Yesus? Tradisi Katolik menekankan bahwa tubuh Yesus dengan tangan yang terentang, dada yang luka, kepala yang ditundukkan adalah penanda bahwa salib ini bukan sekadar alat hukuman, melainkan salib Kristus.

Injil Yohanes mencatat hal yang demikian ini, “Di sana Ia disalibkan, bersama dua orang lain, satu di kanan dan satu di kiri, sementara Yesus berada di tengah” (Yoh 19:18). Posisi di tengah bukan sekadar geografis, tetapi simbolis: Yesus adalah pusat penebusan.

Kehadiran tubuh itu menghindarkan salib dari kekosongan makna. Ia menegaskan bahwa keselamatan manusia lahir dari peristiwa konkret di Golgota. Santo Yustinus Martir pada abad kedua menuliskan bahwa salib dengan tubuh Kristus adalah “lambang yang kita pahami sebagai milik-Nya.” 

Lebih dekat dengan masa kini, Scott Hahn, seorang teolog Katolik kontemporer, menyebut tubuh itu sebagai cara Tuhan menunjukkan bahwa kebangkitan tidak bisa dilepaskan dari pengorbanan.

Contohnya terlihat jelas dalam devosi harian umat. Di Kapel St. Yosef di Yogyakarta, banyak peziarah datang hanya untuk berlutut di depan salib besar dengan corpus Yesus. Mereka menangis, ada yang menyalakan lilin, ada pula yang diam saja.

Tubuh Kristus di salib menjadi penanda iman yang hidup: Yesus yang disalibkan itulah yang mereka sembah.

Antara Salib Polos dan Salib dengan Tubuh

Perbedaan penekanan antara salib Katolik dan Protestan kerap menjadi bahan diskusi. Gereja Protestan umumnya menampilkan salib polos, menekankan kebangkitan. Sementara Gereja Katolik menegaskan relasi yang tak terpisahkan antara kematian di salib dan kebangkitan.

Gereja Katolik hendak menyatakan kepada dunia bahwa kebangkitan ada prosesnya; tak ada kebangkitan jika tidak melalui kematian Yesus di salib. Namun, dengan tubuh Kristus yang tetap tergantung, Gereja ingin menunjukkan bahwa Yesus yang disalibkan itulah Dia, Sang Penebus. Kedalaman simbol Katolik ada di relasi simbolik ini.

Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium menyebut salib sebagai paradoks: kematian yang justru melahirkan hidup. Tanpa tubuh, salib bisa menjadi terlalu abstrak. Dengan tubuh, salib membawa cerita nyata.

Contohnya dapat kita lihat dalam perayaan Jumat Agung di Larantuka, Flores. Ribuan peziarah berjalan dalam prosesi panjang sambil membawa salib besar dengan tubuh Kristus di atasnya. Salib itu digotong bergantian, dipeluk, bahkan diciumi. Bukan obsesi pada penderitaan, melainkan kesadaran bahwa kebangkitan lahir dari kematian. Salib polos tak akan menyampaikan pesan itu sekuat salib dengan tubuh.

Salib yang Menyapa Kehidupan Sehari-hari

Tubuh Yesus di salib tidak hanya hadir di altar gereja. Ia menyapa umat di banyak ruang kehidupan. Rosario di saku seorang nenek di Pontianak selalu dihiasi salib kecil dengan tubuh Kristus. Di sebuah ruang rawat inap di Jakarta, salib dengan corpus menggantung di dinding; seorang pasien kanker menatapnya lama, lalu berkata lirih kepada perawat, “Kalau Yesus bisa menanggung sakit itu, saya pun bisa belajar tabah.”

Saya sendiri pernah mengalaminya. Saat kecil, di gereja desa, saya memandang salib besar dengan tubuh Kristus. Awalnya ada rasa takut; darah, luka, wajah menderita. Namun seiring waktu, rasa takut itu berubah menjadi rasa akrab. 

Saya merasa seakan cerita Injil turun dari kitab dan berdiri nyata di depan mata. Hingga kini, setiap kali melihat salib dengan tubuh Yesus, ada perasaan yang sama: iman menjadi dekat, personal, dan hidup.

Tubuh yang tergantung di salib itu, setelah dua ribu tahun, masih berbicara. Ia seakan berbisik: “Aku disalibkan di antara para penjahat, namun dari salib inilah lahir kehidupan bagimu.”

Luka yang Menjadi Kasih

Mengapa tubuh Yesus masih tergantung di salib umat Katolik? Hal itu karena iman ini tidak hanya berbicara tentang kemenangan akhir, melainkan juga keberanian untuk memandang luka. 

Corpus Yesus mengingatkan bahwa kasih sejati bukanlah kisah tanpa penderitaan. Sebaliknya, kasih terbesar justru lahir dari luka yang dipilih, dari pengorbanan yang dijalani sepenuh hati.

Salib dengan tubuh Kristus adalah undangan: untuk ikut memikul, ikut berharap, dan ikut percaya. Bahwa di balik luka selalu ada kasih, dan di balik kematian selalu ada kehidupan.

Surabaya, 14 September 2025

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org