Katedral: Tradisinya Kursi Seorang Uskup Katolik

 

Katedral: Kursi Seorang Uskup Katolik
Katedral harfiahnya berarti: Kursi Seorang Uskup Katolik. Ist.

Oleh Dr. Laurentius Prasetyo

Katedral sepatah kata yang sederhana. Kata itu berasal dari khasanah Latin cathedra, yang berarti kursi. Bukan kursi sembarang kursi. Melainkan kursi otoritas. Kursi seorang guru. Kursi seorang hakim. Dan dalam iman Kristen, kursi seorang uskup.

Takhta atau kursi

Akar katanya lebih jauh lagi, dari khasanah Yunani kathédra. Gabungan dari kata yang berarti “ke bawah” dan hedra yang berarti “dudukan”. Artinya: tempat duduk yang menetap, kursi resmi.

Ketika Yesus diadili, Injil Yohanes menulis bahwa Pilatus “duduk di kursi pengadilan” (Yohanes 19:13). Dalam bahasa Yunani, frasa itu adalah lithos thronos (λίθινος θρόνος), yang berarti takhta atau kursi dari batu. Kursi ini adalah tempat resmi bagi seorang gubernur Roma ketika ia hendak memberikan keputusan hukum.

Artinya, Pilatus tidak lagi sekadar berdialog dengan orang banyak, melainkan sudah duduk dalam kapasitas resminya sebagai hakim. Begitu ia duduk di kursi itu, setiap keputusan yang keluar dari mulutnya dianggap sah dan final menurut hukum Romawi. Dari kursi itulah ia akhirnya menyerahkan Yesus untuk disalibkan.

Dari Yunani pindah ke Latin, lalu ke Prancis Tengah dalam bentuk cathédrale. Dari sana masuk ke bahasa Inggris sebagai cathedral. Akhirnya dalam bahasa Indonesia ia menjadi katedral.

Makna dasarnya tidak pernah hilang. Bagi orang Romawi kuno, kursi adalah tanda wibawa. Seorang orator duduk di kursi untuk berbicara. Seorang hakim duduk di kursi tinggi untuk memutus perkara. Ketika tradisi itu masuk ke dalam Gereja, kursi menjadi lambang wewenang seorang uskup. Dari sinilah lahir istilah ecclesia cathedralis. Gereja yang memiliki cathedra. Gereja tempat uskup duduk dan mengajar.

Itulah mengapa orang sering keliru ketika mengira katedral identik dengan gedung besar atau arsitektur megah. Tidak. Inti katedral bukan di batu-batunya, bukan di menara atau jendela kaca patri. Intinya ada pada kursi. Kursi itu menjadi tanda bahwa seorang uskup hadir, mengajar, dan memimpin umatnya.

Dari kata cathedra lahir pula istilah teologis yang sangat penting: ex cathedra. Artinya, “dari kursi”. Bila Paus berbicara ex cathedra tentang iman dan moral, ajarannya dianggap tidak mungkin salah. Kursi menjadi simbol sekaligus sumber otoritas. Kursi bukan sekadar mebel, melainkan tanda pengajaran yang mengikat. Scott Hahn, teolog Katolik Amerika, sering menekankan hal ini. Baginya, cathedra adalah tanda kesetiaan umat kepada Sang Gembala.

Baca Ex Cathedra

Singkat cerita, katedral adalah “gereja kursi”. Kursi seorang uskup. Kursi yang menandai otoritas. Kursi yang melampaui kayu dan ukiran, karena di sanalah umat melihat sumber kesatuan.

Mula Pertama Digunakan dan Khasanah Katolik

Pertanyaan berikutnya: kapan istilah katedral mulai digunakan?

Pada abad-abad pertama, komunitas Kristen masih kecil. Mereka berkumpul di rumah-rumah. Tidak ada gedung megah. Tidak ada kursi resmi. Uskup memimpin tetapi belum memiliki tanda fisik yang menegaskan otoritasnya.

Situasi berubah setelah Edik Milan tahun 313. Kekristenan diakui sah dalam Kekaisaran Romawi. Gereja mulai membangun basilika. Uskup mendapat kedudukan yang lebih formal. Seiring itu, kursi uskup pun dipandang penting. Dari sinilah istilah ecclesia cathedralis muncul. Gereja dengan kursi uskup.

Abad keempat dan kelima adalah masa lahirnya katedral dalam arti penuh. Di Italia, Gallia, Spanyol, dan Afrika Utara, gereja-gereja dibangun sebagai pusat diose. Uskup memiliki kursi tetap. Arsitektur berkembang: basilika, kemudian Romanesque, lalu Gotik. Tapi sekali lagi, status katedral tidak pernah ditentukan oleh kemegahannya. Ada katedral yang kecil. Ada gereja yang besar tapi bukan katedral, karena tidak memiliki kursi uskup.

Apakah katedral hanya ada dalam Katolik?

Dalam Gereja Katolik, katedral jelas menempati tempat utama. Ia adalah “ibu” dari seluruh gereja di keuskupan. Dari sanalah uskup memimpin liturgi, mengajar, dan mengatur pastoral. Vatikan sering menyebut katedral sebagai pusat kesatuan umat di sebuah diose. Takhta Santo Petrus sendiri di Vatikan adalah cathedra tertinggi, tanda primat Uskup Roma atas seluruh Gereja.

Namun, tradisi lain juga mengenal katedral. Gereja Ortodoks Timur memiliki kursi uskup di katedral mereka. Gereja Anglikan pun demikian. Bahkan beberapa komunitas Lutheran yang tetap memelihara struktur episkopal juga memiliki katedral.

Baca Katedral Sanggau

Sebaliknya, gereja-gereja Protestan yang non-episkopal tidak mengenal istilah ini. Karena mereka tidak memiliki uskup dalam arti tradisional, mereka tidak memerlukan kursi uskup. Meski demikian, di banyak kota Eropa masih berdiri gereja yang disebut “katedral” meski sekarang menjadi Protestan, karena dulunya memang kursi uskup sebelum Reformasi.

Vatikan memberi bobot simbolis tambahan. Istilah cathedra Petri atau Kursi Santo Petrus dipakai untuk menegaskan otoritas kepausan. Paus, bila berbicara ex cathedra, tidak berbicara sebagai pribadi, melainkan sebagai pengganti Petrus. Kursi menjadi lambang bahwa ajaran itu tidak hanya milik manusia, melainkan juga bagian dari warisan iman yang dijaga Gereja.

Scott Hahn, dalam bukunya dan khotbah-khotbahnya, sering menekankan perayaan “Chair of St. Peter”. Ia menulis bahwa kursi bukan benda mati. Kursi adalah tanda kesetiaan, kesatuan, dan otoritas. Bagi umat, merayakan Kursi Petrus berarti merayakan kesatuan Gereja di bawah gembala yang sah.

Katedral: Kursi seorang Uskup

Katedral, pada akhirnya, bukanlah tentang ukuran bangunan. Katedral adalah kursi. Kursi seorang uskup. Kursi yang menjadi tanda bahwa umat punya gembala. Kursi yang mengikat kesatuan dan mengarahkan iman.

Baca Katedral Ketapang

Dalam kursi itu tersimpan simbol yang dalam: otoritas sekaligus tanggung jawab. Kursi yang ditempatkan di tengah altar, di balik doa-doa, di hadapan umat. Kursi yang sederhana sekaligus agung.

Itulah katedral! 

Sepatah kata yang lahir dari Yunani, diadopsi Latin, dibawa Gereja, dan akhirnya menjadi bagian dari iman yang hidup. Kursi itu terus ada, dari abad ke abad. Ia mengingatkan bahwa dalam perjalanan panjang Gereja, selalu ada seorang gembala yang duduk, mengajar, dan memimpin.

Pontianak, 20 September 2025


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org