Pilatus Mengadili Yesus di Kursi Batu
Pilatus Mengadili Yesus di Kursi Batu (lithos thronos) tercatat dalam dan di luar teks Alkitab. Saling verifikasi bukti fakta-sejarah. Ist. |
Oleh Teguh Imanqu
Ketika kita membaca Injil Yohanes, ada detail kecil yang sering luput dari perhatian. Yohanes menulis: “Ketika Pilatus mendengar perkataan itu, ia menyuruh Yesus keluar, lalu ia duduk di kursi pengadilan di tempat yang bernama Litostrotos, dalam bahasa Ibrani: Gabbata” (Yoh 19:13).
Detail itu tidak kebetulan. Yohanes ingin menegaskan momen penting: Pilatus duduk di kursi batu, dalam bahasa Yunani disebut lithos thronos. Arti harfiahnya adalah kursi atau takhta dari batu. Kursi ini bukan kursi biasa. Ia adalah simbol kekuasaan resmi seorang gubernur Roma saat menjatuhkan keputusan hukum.
Biasanya kursi itu diletakkan di tempat terbuka. Orang banyak bisa menyaksikan dengan jelas. Begitu penguasa duduk, ia tidak lagi hanya pribadi dengan perasaan dan pikiran. Ia berubah menjadi representasi negara, hukum, dan otoritas tertinggi. Kursi batu itu keras, dingin, dan kaku. Sama seperti wajah hukum Romawi yang tak mengenal belas kasihan.
Namun, di hadapannya berdiri seorang Yesus yang babak belur. Ia dicambuk,
dipakaikan mahkota duri, dan diikat. Kontras begitu tajam. Di satu sisi ada
kursi batu yang dingin. Di sisi lain ada Yesus yang tampak lemah. Pertanyaan
besar muncul: siapakah sebenarnya yang berkuasa di sana?
Pilatus: Antara Hati Nurani dan Tekanan Publik
Pilatus bukan tidak tahu siapa Yesus. Berkali-kali ia berkata, “Aku tidak mendapati kesalahan pada orang ini” (Yoh 18:38; 19:4, 6). Nurani Pilatus masih berbicara. Bahkan istrinya sempat mengirim pesan, “Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam” (Mat 27:19).
Namun Pilatus bukan hanya manusia pribadi. Ia pejabat Roma, hidup dalam dunia politik penuh intrik. Ia tahu satu keputusan bisa mengguncang kedudukannya. Orang Yahudi bisa mengadukan dia ke Kaisar. Satu tuduhan saja: “Pilatus melindungi orang yang menyebut dirinya raja.” Itu bisa berarti kariernya tamat.
Saat imam-imam kepala berteriak, “Jika engkau melepaskan Dia, engkau bukan sahabat Kaisar. Setiap orang yang mengaku dirinya raja melawan Kaisar” (Yoh 19:12), Pilatus terpukul. Kata-kata itu menikam jantungnya. Ia sadar ia sedang berada di jalan buntu.
Akhirnya, ia memilih yang paling aman bagi dirinya. Ia mencuci tangan. Ia berkata tidak bertanggung jawab. Tetapi faktanya, ia yang duduk di kursi batu itu. Ia yang memberi perintah akhir. Dialah yang menandatangani kematian Yesus.
Dilema Pilatus adalah cermin hidup manusia sepanjang masa. Berapa banyak orang
tahu apa yang benar, tetapi takut mengatakannya? Berapa banyak orang menutup
telinga bagi nurani karena tekanan, karena kenyamanan, atau karena takut
kehilangan posisi? Setiap orang bisa saja menjadi Pilatus dalam hidupnya
sendiri.
Kursi Batu dan Takhta Sejati
Kursi batu itu terlihat kokoh. Pilatus duduk dengan wibawa. Yesus berdiri tanpa daya. Tetapi siapa sebenarnya raja di situ? Yohanes menulis kisah dengan penuh ironi. Seakan berkata: lihatlah lebih dalam.
Kursi batu hanyalah simbol kekuasaan duniawi yang rapuh. Roma yang perkasa akhirnya runtuh. Nama Pilatus dikenang dengan aib. Sebaliknya, Yesus yang berdiri hina di hadapannya justru dimuliakan. Dari salib lahirlah kuasa yang tak tergoyahkan. Dari penderitaan lahir kemenangan.
Inilah paradoks iman. Kursi batu tampak dingin dan kaku. Tetapi takhta sejati adalah salib. Pilatus seolah berkuasa, padahal kehilangan kendali. Yesus seolah kalah, padahal sedang menuju kemenangan.
Kursi batu mewakili hukum dunia: kompromi, ketakutan, kepentingan diri. Takhta Kristus mewakili kasih Allah: pengorbanan, kerelaan, kemenangan sejati. Pertanyaan kembali kepada kita: kursi mana yang kita pilih duduki dalam hidup?
Renungan untuk Zaman Ini
Kisah Pilatus di lithos thronos bukan sekadar sejarah dua ribu tahun lalu. Ia hidup di setiap zaman. Termasuk zaman kita.
Pertama, ia mengingatkan tentang tanggung jawab. Kursi batu adalah kursi pengadilan. Setiap orang punya kursi itu: orang tua bagi anaknya, guru bagi muridnya, pemimpin bagi masyarakatnya. Di kursi itu, keputusan kita memengaruhi hidup orang lain. Pertanyaannya: adilkah kita? ataukah kita menyerah pada tekanan?
Kedua, ia berbicara tentang hati nurani. Pilatus mendengarnya, tetapi
mengabaikan. Kita pun sering begitu. Ada suara halus di hati yang mengingatkan.
Tetapi kita memilih jalan aman, lebih populer, lebih menguntungkan. Nurani
kalah oleh kompromi.
Ketiga, kisah ini menegaskan kontras antara kuasa dunia dan kuasa Allah. Dunia percaya pada kursi batu: uang, jabatan, popularitas. Namun kursi itu rapuh. Cepat atau lambat, ia runtuh. Sebaliknya, kuasa kasih dan pengorbanan, yang tampak lemah, bertahan selamanya. Salib yang dulu jadi lambang kehinaan kini menjadi tanda keselamatan.
Pilatus duduk di kursi batu, tetapi Yesus naik ke salib. Dunia melihat Pilatus memutuskan, padahal ia yang terperangkap. Dunia melihat Yesus dihukum, padahal Ia yang menang.
Hari ini, kita pun bisa jatuh ke dalam pilihan serupa. Duduk di kursi batu, atau berdiri bersama Kristus. Mengikuti jalan aman, atau setia pada kebenaran.
Kisah Pilatus mengingatkan kita: kursi batu hanyalah bayangan. Takhta sejati adalah salib Kristus, yang tetap tegak sepanjang zaman.