Annuntio Vobis Gaudium Magnum: Habemus Papam!
Annuntio Vobis Gaudium Magnum: Habemus Papam! adalah kabar gembira. Ist. |
Balkon Basilika Santo Petrus terbuka.
Ribuan pasang mata menatap ke atas. Dunia menahan napas.
Dari pengeras suara sederhana terdengar kalimat Latin yang sudah berabad-abad
dinantikan:
“Annuntio vobis gaudium magnum: Habemus Papam!”
Artinya: “Saya umumkan kepada kalian sukacita besar. Kita punya Paus!”
Frasa itu singkat. Namun gaungnya dahsyat. Bagi umat
Katolik, bukan sekadar pengumuman administratif. Ia adalah tanda kelanjutan
tradisi yang panjang. Sementara bagi dunia luas, ia berita besar yang langsung
melompat ke layar televisi, gawai, dan linimasa media sosial.
Memecah Kata, Menemukan Makna
Kalimat Latin ini padat, jelas, dan penuh simbol.
- Annuntio
berarti “Saya umumkan”. Sebuah deklarasi resmi dengan wibawa penuh.
- Vobis
berarti “Kepada kalian”. Tidak hanya untuk kerumunan di lapangan Santo
Petrus, melainkan juga kepada dunia.
- Gaudium
Magnum berarti “Sukacita besar”. Gaungnya mengingatkan pada Injil
Lukas 2:10, ketika malaikat membawa kabar sukacita kelahiran Kristus.
- Habemus
Papam berarti “Kita (telah) punya Paus”. Pernyataan yang menandai
keberlanjutan kepemimpinan Gereja.
Biasanya kalimat ini diteruskan dengan pengenalan resmi.
Nama lahir sang kardinal disebut, lalu nama kepausan yang ia pilih. Saat itulah
dunia tahu: siapa gembala baru yang akan duduk di takhta Petrus.
Dari Skisma ke Siaran Langsung
Tradisi ini tidak lahir sejak abad pertama. Justru, muncul
setelah Gereja melewati sejarah penuh intrik dan krisis.
Di awal, pemilihan Paus sering kacau. Ada campur tangan
kaisar, persaingan antar-kelompok di Roma, bahkan kekerasan. Pada abad ke-11,
lewat dekrit In Nomine Domini, aturan diperketat: hanya para kardinal
yang boleh memilih.
Frasa Habemus Papam mulai dipakai secara populer abad
ke-15. Pasca-Skisma Barat yang sempat melahirkan tiga Paus sekaligus, Otto
Colonna terpilih sebagai Paus Martinus V pada 1417. Pengumuman di balkon
menjadi tanda penyatuan kembali Gereja. Sejak itu, rumus ini bertahan.
Seiring waktu, tampilannya diperbarui. Asap hitam dan putih
(fumata) mulai dipakai abad ke-19. Dentang lonceng ditambahkan setelah
kebingungan publik pada 1978. Di era satelit dan media sosial, tradisi tua ini
justru makin hidup: kini disaksikan miliaran pasang mata.
Siapa yang Mengumumkan?
Hanya Kardinal Protodiakon yang berhak. Ia paling senior di
antara kardinal diakon.
Dialah jembatan antara konklaf yang tertutup dengan dunia
yang menunggu. Ia muncul di balkon, suaranya membawa kabar gembira yang segera
dicatat sejarah.
Banyak wajah terkenal pernah memegang peran ini. Kardinal
Jean-Louis Tauran pada 2013 misalnya, yang mengumumkan Paus Fransiskus dengan
suara lemah tetapi penuh wibawa. Atau Kardinal Jorge Medina Estévez pada 1978.
Kalau protodiakon terpilih sebagai paus atau berhalangan,
peran itu jatuh ke kardinal diakon berikutnya. Namun siapa pun yang berdiri di
sana, ia selalu menjadi simbol transisi Gereja di hadapan dunia.
Paus Leo XIV (2025)
Pengalaman segar muncul pada 8 Mei 2025. Asap putih mengepul
dari Kapel Sistine. Sorak-sorai memenuhi Lapangan Santo Petrus.
Beberapa menit kemudian, Kardinal Protodiakon Dominique
Mamberti melangkah ke balkon. Suaranya tegas:
“Annuntio vobis gaudium magnum: Habemus Papam!
Eminentissimum ac Reverendissimum Dominum, Dominum Robertum Franciscum, Sanctae
Romanae Ecclesiae Cardinalem Prevost, qui sibi nomen imposuit Leonem Decimum
Quartum.”
Sejak detik itu, dunia mengenal Paus Leo XIV. Ia paus
pertama dari Amerika Serikat. Seorang Agustinian yang pernah lama berkarya di
Peru. Nama “Leo” dipilihnya sebagai penghormatan kepada Paus Leo XIII, paus
yang menulis ensiklik sosial Rerum Novarum. Sebuah tanda bahwa
kepemimpinannya akan banyak berbicara tentang keadilan sosial, ketimpangan
global, dan etika teknologi.
Sebuah Kalimat Harapan
Apa pun abadnya, apa pun medianya, kalimat ini tetap sama.
Annuntio vobis gaudium magnum: Habemus Papam! bukan
hanya formula Latin yang indah. Ia gema iman. Ia tanda kesinambungan. Ia juga
harapan baru: bahwa Gereja tidak pernah kehilangan gembala.
Mungkin di situlah rahasianya. Kalimat sederhana ini selalu berhasil menyentuh, baik bagi umat Katolik maupun dunia yang sekadar menyaksikan.