Katedral Ketapang: Bertemu Tuhan dalam Wajah Lokal
Wajah lokal katedral Ketapang, Kalimantan Barat. Sumber: Sesawi,net |
Oleh Masri Sareb Putra
Pagi itu udara di Kota Ketapang belum sepenuhnya hangat saat umat mulai berkumpul di Paroki Katedral Santa Gemma Galgani.
Dari luar, gereja tampak kokoh. Bangunan terbaru berdiri di belakang gereja lama, yang kini difungsikan menjadi gedung serbaguna “Gedung Sillekens”.
Begitu masuk ke dalam, yang paling menarik adalah interiornya: kayu dominan, ukiran khas Dayak, warna-warna alami, langit-langit tinggi dengan rangka kayu tampak jelas, jendela-kecil yang memungkinkan sinar matahari pagi menyelinap membentuk ruang remang-remang nan teduh.
Relief dan
ornamen menghiasi dinding, pilar, mimbar. Ruang khidmatnya tak seperti ruang
gereja arsitektur Barat yang kaku dan seragam, melainkan sebuah ruang hidup
yang bernapas budaya setempat.
Romo Matheus Juli, imam dan perancang interiornya, ingin
agar setiap orang yang masuk merasakan bahwa Tuhan itu orang Ketapang; bukan
Tuhan asing di antara kayu, ukiran, dan warna lokal. Beliau mengatakan bahwa
penggunaan kayu adalah pilihan sadar sebab kayu adalah bahan alam yang melimpah
di Kalimantan, sekaligus memiliki daya tahan bila dirawat.
Di pelataran panti imam, relief kisah-kisah dalam Perjanjian
Lama dan Baru terpahat rapi dengan gaya pahat kayu lokal. Misalnya, adegan
kelahiran Yesus, murid-murid, dan salib disandingkan dengan motif tanaman
pakis, pohon anggur, bahkan burung enggang, yang dalam budaya Dayak adalah
simbol alam dan spiritualitas
Ketika Liturgi Menyapa Budaya
Misa di Katedral Ketapang bukan hanya soal bacaan, lagu, dan
ibadat yang sudah baku, tetapi juga melibatkan indera: bunyi, warna, aroma
kayu, tekstur dari material, dan kehadiran umat yang berpakaian sendiri-sendiri
etnisnya. Ini bukan pesta seragam, melainkan selebrasi keragaman di dalam iman
tunggal.
Beberapa misa menggunakan musik dan lagu lokal. Ada misa
dengan iringan organ, piano, tapi juga petikan gitar, bahkan melodi-melodi yang
memiliki pola musikal lokal Dayak atau Jawa, tergantung komunitas yang ikut
liturginya.
Bacaan, doa, dan khotbah kadang ikut menyelipkan analogi
yang dekat dengan pengalaman lokal: tentang sungai, hutan, kayu, tetumbuhan,
bahkan burung-burung yang dikenal oleh masyarakat Dayak. Misalnya, dalil
tentang pertumbuhan iman diumpamakan seperti pohon yang tumbuh dari akar ke
akar, seperti ukiran pohon anggur dalam interior gereja.
Di hari-hari tertentu, petugas pewarta (lektor), petugas
persembahan, dan koor mengenakan pakaian adat: kain tenun, motif Dayak, bahkan
pakaian Jawa bila komunitas Jawa ikut misa inkulturatif.
Semua ini tak sekadar dekoratif. Umat di Ketapang merasa
dihargai budayanya; mereka tak perlu meninggalkan akar budaya agar bisa
memenuhi panggilan iman mereka. Ada rasa bahwa Gereja bukanlah institusi asing
yang datang dari luar, tetapi menjadi bagian hidup masyarakat Ketapang.
Makna Ornamen dan Ruang sebagai Wajah Iman Lokal
Ketika kita duduk di kursi jemaat, memandang ke altar, kita
tak hanya melihat salib, tetapi juga relief-relief, yakni ukiran kayu yang
memuat motif-motif lokal: pohon anggur, motif pakis, ukiran “Putir Selung
Tamanang” (kisah dalam budaya Dayak tentang beras sebagai jelmaan nilai lokal).
Struktur ruang pun berbicara: ada hierarki fisik yang
mengingatkan pada struktur Batang Garing sebuah konsep alam dan kosmologi dalam
budaya Kaharingan (Dayak) yang terwakili di fasad/teras (bagian bawah), area
umat (tengah), dan area imam/tabernakel (atas).
Pemilihan warna juga bermakna. Misalnya, kuning sebagai
simbol kemuliaan dan kegembiraan, merah untuk api, darah Kristus, putih untuk
kesucian; warna-warna ini dilebur dengan estetika lokal sehingga tak tampak
asing atau terlalu “Barat”.
Untuk kayu dan ukiran sendiri: bukan hanya sebagai elemen
estetika, tetapi sebagai medium refleksi teologis. Relief yang relatif
“terbaca” oleh jemaat sehari-hari, membuat mereka bisa ikut merenungkan: “ini
iman saya”, “ini akar leluhur saya”, “ini rumah Tuhan saya”. Sehingga impor
budaya (yang seringkali Barat) bukan ditolak sepenuhnya, melainkan
direkontekstualisasi yang dapat diubah
agar punya resonansi lokal.
Tantangan, Refleksi, dan Harapan bagi Masa Depan
Inkulturasi seperti ini tidaklah tanpa tantangan. Ada
beberapa hal yang dihadapi:
- Keselarasan
antara budaya lokal dan ajaran Katolik: Ornamen atau simbol lokal
harus diseleksi agar tidak bertentangan dengan katekese iman. Contohnya,
jika suatu simbol budaya punya makna tradisi animistik yang bertolak
belakang dengan tauhid atau ajaran Katolik, maka harus dijelaskan atau
diadaptasi.
- Teknik
dan kualitas pengerjaan: Ukiran kayu harus dirawat supaya tahan lama;
kayu yang dipakai haruslah yang sesuai, agar tak mudah lapuk atau dimakan
rayap. Romo Yuli memilih kayu dan melibatkan pengrajin lokal agar
pengerjaannya tidak hanya estetis tetapi juga kuat dan sesuai lingkungan.
- Keterlibatan
umat dari berbagai suku dan tradisi: Ketapang memiliki keragaman
etnis: Dayak, Tionghoa, Jawa, dan suku‐suku lainnya. Gereja harus menjaga
bahwa misa inkulturasi bukan hanya milik satu kelompok, sehingga perasaan
inklusif tetap hidup. Romo Yuli menyatakan bahwa Katedral Ketapang bukan
“gereja suku Dayak saja”, tetapi terbuka bagi semua suku bangsa.
Namun, ada banyak harapan dan hasil positif yang terlihat:
- Umat
merasa lebih “di rumah” dalam iman mereka. Keakraban antara iman dan
budaya membuat partisipasi semakin hidup, bukan pasif.
- Gereja
menjadi ruang dialog budaya, bukan arena konflik. Budaya lokal dan iman
saling memperkaya, bukan bersaing.
- Generasi
muda dari suku-suku lokal melihat bahwa budaya mereka punya tempat dalam
iman mereka; bukan sesuatu yang harus ditinggalkan agar dianggap “benar
secara religius”.
Praktik baik inkulturasi
Gereja Katedral Ketapang bisa terus memperdalam praktik inkulturasi dengan memperluas liturgi budaya di hari-hari raya tertentu, meningkatkan pendidikan iman yang mengandung aspek budaya lokal, serta memperkuat pelatihan bagi petugas liturgi agar memahami makna simbol lokal. Selain itu, penting pula menjaga kualitas fisik dari interior agar tetap lestari.
Pengalaman misa di Katedral Ketapang menunjukkan bahwa Gereja Katolik menemukan wajah yang akrab di akar budaya lokal. Interior dengan ukiran, warna, dan relief Dayak menghadirkan nuansa yang hidup serta mendalam.
Liturgi dengan pakaian adat dan musik lokal memperlihatkan iman yang benar-benar berinkulturasi. Semua itu bukan sekadar hiasan belaka, melainkan tanda kasih ilahi yang universal.
Sebagaimana pohon sawit beradaptasi dengan lingkungan, Gereja di Ketapang juga tumbuh subur. Ia tidak hanya hadir, melainkan sungguh menjadi bagian nyata dari kehidupan masyarakat setempat.
Wajah Gereja mengakar kuat dalam budaya lokal, sekaligus tetap teguh dalam iman Katolik. Inilah rupa yang hidup, nyata, dan penuh makna.