Ex Cathedra
Jorge Mario Bergoglio atau paus Fransiskus. Ex cathedra hanya untuk Infallibilitas Paus hanya untuk pengajaran iman dan iman (saja) berlakunya, jangan keliru! |
Oleh Dr. RD Laurentius Prasetyo
Ex cathedra istilah berasal dari bahasa Latin: artinya sederhana saja, “dari kursi”. Namun kursi yang dimaksud bukan sembarang kursi. Ini merujuk pada takhta uskup, khususnya Uskup Roma, yakni Paus.
Ketika seorang paus berbicara ex cathedra, ia berbicara bukan hanya sebagai pribadi bernama Jorge Mario Bergoglio atau Joseph Ratzinger atau Karol Wojtyła, melainkan sebagai pemegang kuasa penuh Gereja Universal.
Di sini ada perbedaan besar. Seorang Paus bisa berkhotbah,
menulis, atau diwawancarai wartawan. Tetapi itu tidak otomatis ex cathedra.
Ia hanya dianggap pribadi manusia biasa, dengan pendapat yang tentu penting
tetapi tidak mengikat. Lain halnya bila Paus menyatakan sesuatu secara resmi:
“Aku, sebagai penerus Petrus, dengan maksud mengikat seluruh Gereja,
menyatakan….” Nah, pada saat itulah ia berbicara ex cathedra.
Tradisi ini menegaskan satu hal: umat Katolik percaya bahwa
dalam urusan iman dan moral, bila Paus berbicara ex cathedra, ia tidak
akan jatuh dalam kesalahan. Inilah yang disebut infallibilitas atau
ketidakmungkinan untuk menyesatkan.
Dari Gereja Perdana hingga Konsili Vatikan I
Benarkah sejak awal Paus dianggap tidak bisa salah?
Jawabannya tidak sesederhana itu.
Pada abad-abad pertama, Gereja lebih menekankan pada
kolegialitas para uskup. Mereka bersama-sama menjaga ajaran iman agar tetap
lurus. Uskup Roma memang dihormati, sebab ia dianggap penerus Rasul Petrus.
Tetapi belum ada rumusan tegas bahwa bila Paus berbicara resmi, maka otomatis
infalibel.
Perkembangan baru muncul pada Abad Pertengahan. Dalam
sengketa dengan kekaisaran, dalam perdebatan dengan kelompok teolog tertentu,
muncul keyakinan bahwa Paus memiliki wewenang tertinggi. Namun sekali lagi,
belum ada dokumen resmi yang mengikat seluruh Gereja.
Baru pada Konsili Vatikan I, tahun 1869–1870, persoalan ini
dibahas secara serius. Konsili yang diadakan di Basilika Santo Petrus, Roma,
akhirnya mengeluarkan konstitusi Pastor Aeternus. Di dalamnya ditegaskan
bahwa Paus, bila berbicara ex cathedra mengenai iman dan moral, dan bila
bermaksud mengikat seluruh Gereja, maka ia dilindungi dari kesalahan. Itulah
momen resmi lahirnya dogma infalibilitas.
Sejak saat itu, Gereja Katolik mempunyai rujukan yang jelas:
ada saat-saat tertentu di mana ajaran Paus tidak bisa diperdebatkan lagi.
Beberapa Contoh yang Nyata
Meski sudah didefinisikan, penggunaan ex cathedra
sangat jarang. Gereja berhati-hati. Paus lebih sering mengajar lewat ensiklik,
khotbah, homili, atau dokumen lain.
Contoh yang paling terkenal adalah tahun 1950. Paus Pius XII
mengumumkan dogma Assumptio Mariae, Maria diangkat ke surga dengan jiwa
dan raga. Pernyataan ini jelas ditujukan untuk seluruh Gereja, jelas mengenai
iman, dan jelas pula dimaksudkan mengikat. Maka para teolog sepakat: inilah
ajaran ex cathedra.
Contoh lain adalah tahun 1854. Paus Pius IX menyatakan dogma
Immaculata Conceptio, Maria dikandung tanpa noda dosa asal. Walaupun
definisi infalibilitas secara resmi baru dirumuskan tahun 1870, tetapi banyak
ahli berpendapat bahwa pengumuman Pius IX itu pun sudah masuk kategori ex
cathedra.
Menariknya, setelah tahun 1950, belum ada lagi dogma baru
yang diumumkan secara ex cathedra. Paus Yohanes Paulus II, Benediktus
XVI, bahkan Fransiskus, meski sangat aktif menulis dan berkhotbah, tidak pernah
menggunakan kuasa itu secara eksplisit.
Dampak yang Meluas
Sejak pertama kali didefinisikan, doktrin ex cathedra
menimbulkan perdebatan panjang. Ada yang mendukung penuh. Ada juga yang menolak
keras. Namun bagaimanapun, dampaknya nyata.
Dampak Positif
- Kesatuan
Iman
Dengan adanya doktrin ini, umat Katolik memiliki jangkar yang jelas. Di tengah keragaman tafsir dan pandangan, ada kepastian: pada titik tertentu, Gereja memiliki ajaran yang final. - Kepastian
Teologis
Banyak umat merasa tenang. Mereka percaya, kalau Paus sudah berbicara ex cathedra, maka itu tidak mungkin menyesatkan. Kepastian ini membantu kehidupan rohani, apalagi di zaman penuh keraguan. - Perlindungan
dari Ajaran Sesat
Sepanjang sejarah, Gereja pernah menghadapi berbagai ajaran menyimpang. Dengan adanya infalibilitas, Gereja punya senjata ampuh untuk menutup pintu bagi bidat. - Kejelasan
Identitas Katolik
Dunia Kristen sangat beragam. Adanya doktrin ex cathedra membuat umat Katolik bisa mengatakan: inilah yang kami yakini, inilah yang membedakan kami dari yang lain. Identitas semakin kuat. - Dorongan
Spiritualitas
Doktrin ini juga memiliki dimensi rohani. Umat diajak percaya bahwa Roh Kudus sungguh bekerja dalam Gereja. Bahwa manusia rapuh seperti Paus sekalipun bisa dijaga agar tidak salah, bila berbicara dalam nama Kristus. - Kekuatan
Moral di Hadapan Dunia
Paus yang berbicara ex cathedra memberi kesan kuat di mata dunia luar. Bahwa Gereja memiliki otoritas moral yang tidak sekadar tradisi, tetapi diyakini berasal dari Allah sendiri.
Dampak Negatif
- Kesalahpahaman
Publik
Banyak orang menyangka semua ucapan Paus otomatis infalibel. Padahal syaratnya ketat. Akibatnya, sering terjadi kebingungan. - Kritik
dari Luar Gereja
Kalangan Protestan, Ortodoks, atau non-Kristen melihat doktrin ini terlalu absolut. Mereka menilai hanya Allah yang tidak bisa salah, bukan manusia mana pun. - Risiko
Otoritarianisme
Ada kekhawatiran, doktrin ini bisa disalahgunakan. Meski dalam praktiknya sangat jarang dipakai, tetap ada bayangan bahwa Paus bisa mengendalikan ajaran sekehendaknya.
Jika dilihat, sisi positifnya lebih banyak. Ada enam poin
kelebihan, hanya tiga kelemahan. Rasio ini mencerminkan kenyataan: bagi umat
Katolik, doktrin ini membawa lebih banyak manfaat ketimbang masalah.
Di Tengah Dunia Modern
Kini, abad ke-21, doktrin ex cathedra menghadapi
tantangan baru. Media massa membuat setiap perkataan Paus tersebar luas. Kadang
ucapan spontan dalam wawancara dianggap setara dengan dogma. Padahal jelas
berbeda.
Selain itu, masyarakat modern semakin plural. Di Eropa,
sekularisasi meluas. Di Amerika Latin, muncul persaingan dengan gereja-gereja
evangelikal. Di Asia, Gereja Katolik hidup berdampingan dengan agama mayoritas
lain. Dalam situasi ini, klaim infalibilitas bisa dianggap aneh, bahkan
berlebihan.
Namun justru di tengah keraguan zaman modern, doktrin ex
cathedra bisa tampil sebagai jangkar iman. Ia mengingatkan umat bahwa di
balik perubahan sosial, ada kebenaran yang tetap. Bahwa iman bukan hasil voting
atau survei, melainkan anugerah yang dijaga oleh Gereja.
Tantangan Pastoral
Tugas besar Gereja adalah menjelaskan perbedaan antara
pengajaran biasa dan pengajaran ex cathedra. Pendidikan iman menjadi
kunci. Di paroki, di sekolah, di universitas Katolik, umat perlu dibimbing agar
mengerti maknanya dengan benar.
Juga penting ditegaskan bahwa infalibilitas tidak berarti
Paus tidak bisa berbuat salah dalam hidup pribadinya. Skandal yang pernah
mengguncang Gereja jelas menunjukkan: pemimpin gereja pun tetap manusia yang
bisa jatuh. Infallibilitas hanya berlaku dalam bidang ajaran iman dan moral,
itu pun bila syaratnya terpenuhi.
Ex cathedra adalah istilah yang sederhana, tetapi
dengan makna mendalam. Ia menandai momen ketika Paus berbicara bukan sekadar
sebagai pribadi, melainkan sebagai pewaris takhta Petrus, sebagai gembala
seluruh umat Katolik.
Sejarah membuktikan: penggunaannya sangat jarang, tetapi
ketika terjadi, dampaknya besar. Ia memberi kesatuan, kepastian, dan identitas.
Meski ada kritik dan salah paham, bagi umat Katolik, ex cathedra tetap
menjadi tanda kehadiran Roh Kudus yang menjaga Gereja sepanjang zaman.
Di tengah dunia yang makin kompleks, dengan tantangan
pluralitas, sekularisasi, dan banjir informasi, doktrin ini masih relevan. Ia
mengingatkan bahwa di atas segala keraguan, ada kursi iman yang kokoh. Kursi
itu bukan sekadar simbol. Ia adalah takhta dari mana suara Gereja universal
digemakan.