Mita dan Bayangan Kota
Kota besar, seperti bintang di langit gelap. Terlalu terang, tapi terlalu jauh untuk disentuh. Setiap hari, ia memandang ke arah barat. Di sana, kota besar berbisik melalui angin. Bisikan itu menggelitik hatinya, membangkitkan keinginan yang terpendam. Namun, desa ini selalu memeluknya erat, tak ingin melepaskannya. Angin di desa mengenal setiap desah napasnya.
Mimpinya terbang, bagai burung yang ingin lepas. Kota adalah bayangan yang terus mengejarnya. Di desanya, kehidupan berjalan perlahan, penuh ketenangan. Tapi hati Mita berlari, mencari sesuatu yang lebih. Setiap embun pagi seperti mengajaknya tetap tinggal. Namun suara kota terus memanggil, menggoda dengan janji gemerlap.
Ayah dan ibunya
adalah tanah dan air. Keduanya tetap diam, seolah sudah mengenal nasib. Mereka
tahu, gadis itu punya impian yang tak dapat mereka jangkau. Seno, seperti pohon
yang kokoh di tengah badai. Diam, namun selalu ada di samping Mita.
Senja itu, Mita duduk di bawah pohon mangga. Angin berhembus, membawa harum tanah basah. Ia menatap horizon, mata tertutup, membayangkan kota. Kota, dengan gedung-gedung tinggi seperti raksasa yang dingin. Di benaknya, kota selalu indah, penuh cahaya. Tapi ada ketidakpastian yang bersembunyi di balik impian itu. Impian itu terasa jauh, seperti bintang yang memudar di balik awan.
Mita merasa seperti daun dihempas angin. Desa ini adalah rumah, namun impiannya bagai badai. Hatinya, bimbang di antara dua dunia. Seno datang, diam namun penuh pengertian. "Kau akan pergi?" tanyanya akhirnya, setelah lama terdiam.
Mita mengangguk, walau hatinya seperti tertinggal.
“Aku ingin tahu dunia luar,” jawabnya pelan. Suaranya lirih, namun bergetar penuh keyakinan. Namun di balik keyakinan itu, ada ketakutan yang dalam. "Jangan biarkan kota menghapus siapa dirimu," kata Seno. Kata-kata itu seperti bayangan yang menempel di pikirannya.
Hari keberangkatan tiba, kabut menyelimuti desa. Desa itu, seperti merestui kepergian Mita. Ia melangkah, meninggalkan rumah dengan langkah berat. Angin desa berhembus pelan, seolah mengucapkan selamat tinggal. Tapi di hatinya, desa itu tetap tinggal. Ayah dan ibunya, hanya berdiri diam, seperti patung. Mita tahu, mereka selalu menunggu, meski tak mengucap sepatah kata.
Kota menyambutnya dengan gemerlap cahaya yang menusuk. Suara klakson, lampu-lampu terang, jalanan ramai. Semua terlihat indah pada awalnya, namun cepat berubah. Kota itu, seperti badai yang tak pernah berhenti. Orang-orang berjalan tanpa arah, tak saling mengenal. Mita merasa seperti daun yang terbang di angin liar.
Malam di kota terasa dingin dan asing. Mita berdiri di tengah keramaian, namun merasa sendiri. Ia merindukan angin desa yang lembut dan penuh cinta. Kota bukanlah rumah, hanya bayangan dari impiannya. Dalam gemerlap kota, ia menemukan kekosongan. Ternyata, impian yang ia kejar hanyalah bayangan semu.
Akhirnya, Mita
memutuskan untuk kembali ke desanya. Namun desa itu telah berubah, tak lagi
sama. Sawah-sawah hijau berubah menjadi jalanan beton. Pohon mangga tua kini
telah tiada.
Dan Seno? Dia pun telah pergi, meninggalkan selembar surat. Surat itu hanya berisi satu kalimat: "Aku pergi mencari angin yang mengenalku." Membaca surat itu, Mita tertegun. Ia menyadari, angin yang ia cari selama ini bukan berada di kota atau desa. Semua yang ia butuhkan telah ada sejak awal—dalam dirinya sendiri.
Namun, sebelum ia beranjak dari rumah Seno, suara langkah terdengar. Dari balik pintu, muncullah seorang wanita asing, wajahnya asing namun matanya begitu akrab. “Mita?” tanyanya dengan suara yang tenang tapi tajam. “Kau mencari Seno?”
Mita mengangguk, meski tak mengenal siapa wanita itu. “Seno sudah menemukan tempatnya,” lanjut wanita itu sambil tersenyum samar. “Ia pergi ke tempat yang sama seperti mimpimu, Mita.”
Kata-kata itu mengguncang Mita. “Kota?” tanyanya, bingung.
Wanita itu menggeleng. “Tidak, bukan kota… tapi masa depan yang menunggumu. Di balik semua keinginanmu untuk pergi, sesungguhnya ada sesuatu yang lebih besar, dan Seno telah melihatnya lebih dulu.”
Mita terdiam. Wanita itu perlahan mendekat, lalu menyerahkan sebuah benda kecil pada Mita. Itu adalah kompas tua dengan jarum yang bergetar halus. “Ini akan menuntunmu pada apa yang selama ini kau cari.”
Mita menerima
kompas itu dengan hati berdebar. “Apa maksudnya?” tanyanya.
Wanita itu hanya
tersenyum. “Jawabannya tidak ada di kota atau desa. Jawabannya ada di tempat
yang tak pernah kau bayangkan.”
Saat Mita hendak bertanya lebih lanjut, wanita itu lenyap secepat ia datang. Di tangan Mita, kompas itu perlahan berhenti bergetar, dan jarumnya menunjuk pada satu arah yang tak pernah ia duga—ke hutan di balik bukit, tempat ia tak pernah menginjakkan kaki sebelumnya.
Mita memandang hutan itu dengan perasaan aneh, penuh rasa penasaran dan keberanian baru. Entah apa yang menunggunya di sana, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa jalan itu adalah untuknya. Bukan kota, bukan desa—melainkan sebuah tujuan yang tak terlihat, tetapi jelas dipanggil oleh takdir.
Dengan langkah teguh, Mita mulai berjalan menuju arah yang ditunjukkan kompasnya. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa bukan hanya dirinya yang mengejar impian, tetapi impian itu juga tengan mencari dirinya.
-- Natalia