Bulan Kitab Suci Nasional: Firman Tuhan sebagai Sumber Pembaruan Hidup di Gereja Katolik Indonesia
Kitab Suci kabar baik bagi manusia. Ist. |
Oleh Dr. RD Laurentius Prasetyo
Bulan Kitab Suci Nasional: Firman Tuhan sebagai Sumber
Pembaruan Hidup di Gereja Katolik Indonesia
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, di mana informasi
digital membanjiri kita setiap detik, Gereja Katolik Indonesia kembali mengajak
umatnya untuk kembali ke sumber utama iman: Kitab Suci. September, bulan yang
identik dengan musim semi rohani ini, telah menjadi momen spesial sejak puluhan
tahun lalu.
Tahun 2025 ini, Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) mengusung
tema "Allah Sumber Pembaruan Relasi dalam Hidup", sebuah panggilan
mendalam untuk memperbarui hubungan dengan Tuhan, sesama, dan diri sendiri
melalui Firman-Nya.
Tema ini terinspirasi dari Kitab Zakharia dan Maleakhi, dua nabi pasca-pembuangan Babel yang menekankan harapan dan restorasi. Seperti yang diumumkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), BKSN bukan sekadar perayaan ritual, melainkan gerakan kolektif untuk menjadikan Alkitab sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri
asal-usulnya, proses penetapannya, tradisi panjang Gereja sejak zaman
apostolik, hingga makna kanon Kitab Suci sebagai Firman yang hidup. Semua ini,
diharapkan, bisa menjadi renungan bagi kita di era yang penuh tantangan ini.
Asal Mula Bulan Kitab Suci Nasional di Gereja Katolik
Indonesia
Bayangkan saja, di tahun-tahun pasca-kemerdekaan Indonesia,
ketika bangsa ini masih merajut identitasnya, Gereja Katolik mulai menyadari
kebutuhan mendesak untuk mendekatkan umat dengan Kitab Suci. Asal mula BKSN tak
lepas dari semangat Konsili Vatikan II (1962-1965), yang melalui dokumen Dei
Verbum menegaskan bahwa Wahyu Ilahi bukan monopoli kaum rohaniwan, tapi harus
menjadi makanan rohani bagi semua umat.
Di Indonesia, inisiatif ini dimulai bahkan sebelum konsili
itu, tepatnya pada 1950-an, ketika Lembaga Biblika Indonesia (LBI) didirikan
untuk menerjemahkan Alkitab ke bahasa Indonesia yang mudah dipahami. LBI, yang
bekerja sama dengan para ahli bahasa dan teolog, melihat September sebagai
waktu ideal karena bertepatan dengan akhir musim panen di banyak daerah
pedesaan, simbol dari "panen rohani" melalui pembacaan Firman Tuhan.
Ide ini lahir dari keprihatinan pastoral. Di masa itu,
banyak umat Katolik Indonesia masih bergantung pada tradisi lisan dan doa-doa
tradisional, sementara Alkitab sering dianggap sebagai buku suci yang terlalu
rumit.
Para uskup, melalui Majelis Agung Waligereja Indonesia
(MAWI) pendahulu KWI, melihat peluang untuk melawan arus sekularisme yang mulai
merembes dari kota-kota besar. September dipilih bukan secara kebetulan; ia
mengikuti kalender liturgi yang menandai transisi menuju akhir tahun gerejani,
di mana umat diajak merefleksikan perjalanan iman mereka. Sejak awal, BKSN
dirancang sebagai bulan penuh aktivitas: dari seminar di paroki hingga
distribusi Alkitab murah. Menurut catatan sejarah Gereja, inisiatif ini juga
terinspirasi dari gerakan serupa di Eropa pasca-Perang Dunia II, di mana Kitab
Suci menjadi alat rekonsiliasi sosial.
Di tahun 2025, tema "Allah Sumber Pembaruan Relasi dalam Hidup" semakin relevan. Pandemi COVID-19 yang baru saja berlalu meninggalkan luka relasi yang dalam, dari isolasi sosial hingga konflik keluarga.
Firman Tuhan, seperti dalam Zakharia 8:16-17 yang menyerukan
kejujuran dan perdamaian, menjadi obat penyembuh. Kegiatan seperti lomba
membaca Mazmur atau kuis Alkitab di sekolah-sekolah Katolik bukan hanya
hiburan, tapi cara konkret untuk membangun komunitas. Di Keuskupan Surabaya,
misalnya, tema lokal "Yesus: Jalan, Kebenaran dan Hidup" menambahkan
dimensi Kristosentris, mengajak umat muda untuk meditasi Lectio Divina
secara daring. Ini semua menunjukkan bagaimana asal mula BKSN telah berevolusi
menjadi gerakan inklusif, menyentuh berbagai lapisan masyarakat Indonesia yang
multikultural.
Proses Penetapan Resmi September sebagai Bulan Kitab Suci
Proses penetapan September sebagai Bulan Kitab Suci tak
ubahnya seperti perjalanan panjang sebuah undang-undang di parlemen, tapi
dengan nuansa rohani yang kental. Semuanya bermula pada Sidang MAWI tahun 1977
di Jakarta, di mana para uskup Indonesia berkumpul untuk membahas isu pastoral
pasca-Konsili Vatikan II. Saat itu, mereka menetapkan satu Hari Minggu Kitab
Suci Nasional, biasanya pada Minggu terakhir September, sebagai langkah awal.
Namun, melihat respon umat yang antusias, perayaan ini diperluas menjadi
sebulan penuh. Keputusan ini bukan datang dari atas semata; ia lahir dari
dialog dengan LBI dan komunitas basis seperti kelompok doa di paroki-paroki
kecil di Jawa hingga Papua.
Alasan pemilihan September sederhana tapi mendalam: bulan
ini menandai akhir musim kemarau di banyak wilayah, simbol transisi dan
pembaruan. Secara liturgi, ia dekat dengan Hari Raya Salib Suci pada 14
September, yang mengingatkan pada pengorbanan Kristus sebagai Firman yang
menjadi daging. KWI, sebagai penerus MAWI, kemudian menginstitusionalisasikan
ini melalui surat pastoral tahunan. Setiap tahun, tema dipilih berdasarkan isu
aktual; misalnya, pada 2024, fokus pada relasi yang menyembuhkan, sementara 2025
menekankan pembaruan relasi dari perspektif nabi Zakharia dan Maleakhi.
Prosesnya melibatkan komisi biblika KWI yang berkonsultasi dengan teolog lokal,
memastikan tema relevan dengan konteks Indonesia seperti keragaman agama dan
tantangan ekonomi.
Kegiatan selama BKSN beragam dan adaptif. Di paroki kota besar seperti Jakarta, ada seminar daring tentang interpretasi Alkitab dalam budaya pop, sementara di daerah pedesaan, umat diajak membaca bersama di bawah pohon rindang. Lomba-lomba seperti membaca Mazmur responsorial atau desain poster bertema Firman Tuhan menjadi cara menarik generasi muda.
Bahkan, di era
digital, aplikasi Alkitab Indonesia semakin populer, dengan fitur audio untuk
mereka yang buta huruf. Penetapan ini juga mendapat dukungan dari pemerintah
melalui Kementerian Agama, yang melihatnya sebagai kontribusi positif bagi
harmoni beragama. Namun, tantangannya tetap: bagaimana membuat BKSN tak sekadar
event tahunan, tapi kebiasaan seumur hidup? Di sinilah peran keluarga dan
sekolah Katolik menjadi krusial, mengintegrasikan pembacaan Alkitab dalam
rutinitas harian. Proses penetapan ini, pada akhirnya, mencerminkan komitmen
Gereja Indonesia untuk menjadikan September sebagai bulan di mana Firman Tuhan
benar-benar hidup dan berbuah.
Tradisi Gereja Katolik dari Zaman Santo Petrus hingga Kini
Tradisi Gereja Katolik soal Kitab Suci seperti sungai
panjang yang mengalir dari sumber apostolik hingga hari ini, dengan Santo
Petrus sebagai batu pertama. Yesus sendiri mengangkat Petrus sebagai kepala
para rasul dalam Matius 16:18, menugaskannya menjaga depositum fidei, harta
iman yang mencakup tulisan suci. Sejak abad pertama, rasul-rasul seperti Paulus
menulis surat-surat yang menjadi bagian Perjanjian Baru, sementara Petrus
memimpin komunitas awal di Roma. Tradisi ini bukan statis; ia hidup melalui suksesi
apostolik, dari Petrus ke Linus, hingga Paus Fransiskus sekarang.
Pada abad ke-2, Bapa Gereja seperti Ireneus dari Lyon
membela keotentikan tulisan apostolik melawan ajaran sesat. Agustinus di abad
ke-4 menekankan bahwa Kitab Suci adalah Firman yang hidup karena
diinterpretasikan dalam konteks Tradisi dan Magisterium Gereja. Berbeda dengan
sola scriptura Protestan yang muncul di abad ke-16, Katolik melihat Kitab Suci
dan Tradisi sebagai dua sisi mata uang yang sama, seperti ditegaskan Dei
Verbum. Tradisi ini kontinu: dari Konsili Nicea (325 M) yang membahas doktrin,
hingga Vatikan II yang mendemokratisasi akses Alkitab.
Di Indonesia, tradisi ini beradaptasi dengan budaya lokal. Sejak misionaris Portugis tiba di abad ke-16, Alkitab diterjemahkan ke bahasa daerah, meski baru pada abad ke-20 menjadi luas. BKSN hari ini melanjutkan warisan ini, dengan kegiatan seperti Lectio Divina yang menggabungkan bacaan, meditasi, doa, dan kontemplasi.
Di tengah isu kontemporer seperti sekularisme
dan radikalisme, tradisi Petrus ini mengajak umat menjadi saksi Firman, seperti
dalam tema 2025 yang menyoroti relasi pembaruan. Ini bukan nostalgia, tapi
panggilan aktif untuk menjadikan Kitab Suci sebagai lentera di kegelapan zaman.
Penetapan Kanon Kitab Suci dan Maknanya sebagai Firman Hidup
Penetapan kanon Alkitab Katolik adalah babak penting dalam
sejarah Gereja, di mana daftar kitab resmi ditetapkan melalui konsili-konsili
awal. Konsili Hippo tahun 393 M, dipimpin Agustinus, menjadi yang pertama
menetapkan 73 kitab: 46 Perjanjian Lama (termasuk deuterokanonika seperti Tobit
dan Yudit) dan 27 Perjanjian Baru. Ini dikonfirmasi di Konsili Kartago 397 M
dan 419 M, serta disahkan Paus Innocentius I pada 405 M. Proses ini bukan
arbitrer; ia berdasarkan kriteria apostolisitas, ortodoksi, dan penggunaan
liturgi kuno.
Pada abad ke-16, Konsili Trent (1546) mengonfirmasi ulang kanon ini sebagai respons terhadap Reformasi Protestan, yang menghapus tujuh kitab deuterokanonika, sehingga Alkitab mereka hanya 66 kitab.
Bagi Katolik,
kanon 73 kitab (kadang disebut 72 jika Barukh dan Yeremia digabung)
mencerminkan Septuaginta, terjemahan Yunani yang dipakai para rasul. Maknanya
mendalam: Kitab Suci bukan teks mati, tapi Firman hidup (Ibrani 4:12) yang
berbicara melalui Ekaristi dan pengajaran Gereja.
Di BKSN 2025, kanon ini menjadi fondasi tema pembaruan. Kitab Zakharia, misalnya, berbicara tentang Yerusalem baru, simbol relasi yang direstorasi. Ini mengajak umat Indonesia, di tengah keragaman, untuk hayati Alkitab sebagai sumber harapan.
Penetapan kanon mengingatkan bahwa Gereja,
bukan individu, adalah penafsir otentik, mencegah interpretasi sesat. Hari ini,
dengan terjemahan digital, makna ini semakin hidup, mengubah September menjadi
bulan di mana Firman Tuhan benar-benar menyentuh hati.
Pontianak, 08 September 2025