Allah Bisa Menjadi Apa Saja, tapi Memilih Menjadi Manusia untuk Rencana-Nya
Maha-lukisan Kisah Penciptaan Manusia Pertama oleh Allah karya karya agung nan abadi Michelangelo di Sistine Kapel. Allah berpotensi jadi apa saja, tetapi dalam Rancangan-Nya, Ia menjadi manusia. Sumber: https://www.thesistinechapel.org/the-creation-of-adam |
Oleh Br. Cosmas Damianus Baptista
Pernahkah Anda duduk sendirian di malam hari, menatap langit penuh bintang? Lalu bertanya: Mengapa Allah yang Mahakuasa memilih turun ke dunia sebagai manusia biasa?
Pertanyaan itu sering mengganggu pikiran saya
sejak kecil. Terutama saat mendengar cerita Natal dari ibu di kampung.
Bagi saya, topik “Allah yang menjadi manusia” bukan sekadar ajaran teologi yang rumit. Ia adalah kisah penuh misteri dan kehangatan.
Saya
masih ingat saat pertama kali membaca buku Scott Hahn tentang inkarnasi.
Rasanya seperti menemukan harta karun di tengah rutinitas harian. Hahn menulis
dengan sederhana, seakan berkata: Allah rela merendahkan diri demi kita.
Mari saya ajak Anda menelusuri misteri ini lewat empat sisi:
kemahakuasaan-Nya, pilihan-Nya yang agung, kehadiran-Nya yang nyata, dan jalan
pulang yang Ia bukakan. Anggap saja ini obrolan santai, seperti kita berbincang
di warung kopi.
Allah itu Mahakuasa. Dia bisa jadi apa saja. Dialah pencipta
galaksi luas dan atom terkecil. Tapi, mengapa Ia memilih jadi manusia?
Saya pernah merasakan secuil pertanyaan ini saat mendaki
gunung di Jawa Tengah. Duduk di dekat api unggun, saya teringat kisah Musa yang
gemetar di depan semak menyala. Api itu tanda kekudusan, tapi juga jarak. Allah
tampak jauh, menakutkan.
Namun, pengalaman pribadi mengajarkan hal lain. Ketika
kehilangan orangtua tercinta tahun lalu, saya merasa rapuh. Justru di saat itulah saya
merenung: Allah tidak mau kita hidup dalam ketakutan. Ia bisa saja tetap jauh
di surga, tapi Ia memilih jadi bayi lemah di palungan. Itu luar biasa.
Scott Hahn menyebut inkarnasi sebagai Allah yang “masuk ke
dalam kulit kita”. Bukan empati dari jauh, melainkan kasih yang benar-benar
menyentuh. Seperti seorang ayah yang rela turun ke lumpur demi mengangkat
anaknya.
Allah tetap Mahakuasa, tapi Ia gunakan kuasa itu untuk
mendekat. Bukan untuk pamer. Bukan untuk menakutkan. Tapi untuk membuat kita
berani datang kepada-Nya.Allah
Allah Bisa Apa Saja, Tapi Ia Memilih Jadi Manusia
Secara teori, Allah bisa saja hadir sebagai singa, elang,
atau makhluk agung lain. Tapi Ia memilih jadi manusia. Kenapa?
Saya pernah ditanya teman atheis di kafe, “Kenapa nggak jadi
singa? Lebih gagah.” Saya hanya tertawa. Tapi pertanyaan itu masuk akal.
Jawabannya? Karena rencana Allah bukan soal gagah, tapi soal kasih.
Injil Yohanes menulis: “Pada mulanya adalah Firman...
Firman itu menjadi manusia.” Itu bukan kebetulan. Para nabi sudah
menubuatkan. Konsili Gereja di abad-abad awal juga menegaskan: Yesus satu
pribadi dengan dua kodrat, ilahi dan manusia. Hanya lewat menjadi manusia, Ia
bisa benar-benar menebus manusia.
Saya pernah merasakannya ketika berdiri di Gereja Kelahiran,
Betlehem. Batu dan dindingnya biasa saja. Tapi di sanalah Yang Tak Terbatas
memilih jadi terbatas. Kalau Allah memilih bentuk lain, mungkin kita tak akan
pernah mengerti kasih-Nya.
Inkarnasi bukan merendahkan martabat manusia. Justru
mengangkatnya. Pilihan Allah ini bukan kebetulan, tapi rencana abadi yang
sempurna.
Allah yang Dekat dan Nyata
Allah dalam iman Kristen bukan ide abstrak. Ia hadir, bisa
dirasakan.
Saya pernah sakit parah dan hanya bisa berdoa lirih: “Tuhan, tolong.”
Anehnya, ada kekuatan baru yang membuat saya sembuh. Bukan hanya
secara fisik, tapi juga batin.
Yesus bukan hanya berbicara, tapi juga menyentuh. Ia
menangis di makam Lazarus, makan bersama sahabat, menyembuhkan orang sakit.
Yohanes Krisostomus berkata: Allah menjadi manusia agar manusia bisa menjadi
serupa Allah.
Saya mengingat momen banjir di Jakarta. Gereja membuka pintu
bagi para korban. Itu contoh sederhana bagaimana Allah hadir lewat tangan
manusia. Bukan teori, melainkan kasih yang nyata.
Saat pandemi, saya sendiri merasakannya. Terisolasi, tapi
Alkitab yang saya baca memberi ketenangan. Thomas, salah satu murid Yesus,
menyentuh luka-Nya setelah kebangkitan. Itu tanda: Allah sungguh hadir, bukan
ilusi.
Allah kita adalah Tuhan yang dekat, berbelarasa, dan turut merasakan apa yang kita rasakan. Allah kita bukan Tuhan yang jauh. Tuhan yang mengawang-awang. Tuhan yang kita pernah mendengar seruan, permohonan, dan permintaan manusia.
Sebaliknya, Tuhan kita adalah Tuhan yanh berbelarasa, mendampingi, dan menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia. Ingat perkawinan Kana. Ingat Lazarus. Ingat peristiwa Tuhan Yesus meredakan badai di perahu yang ditumpangi para murid.
Karena itu, Rasul Agung Paulus menulis demikian dalam Ibrani 4:15.
"Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa."
Yesus sebagai Imam Agung tidak jauh dari manusia, melainkan hadir, ikut merasakan penderitaan, kelemahan, dan pergumulan kita.
Kristus, Sang Penunjuk Jalan ke Surga
Yesus bukan hanya datang, tapi juga kembali. Yohanes 3:13
menulis: “Tidak ada yang naik ke surga selain Dia yang turun dari surga.”
Paskah pertama setelah ayah saya meninggal menjadi momen
istimewa. Salib dan kebangkitan Yesus memberi saya harapan: kematian bukan
akhir. Ia menyiapkan jalan.
Scott Hahn menyebut inkarnasi dan kenaikan sebagai dua sisi
yang tak terpisah. Ia turun untuk mengangkat kita naik. Itulah makna kata
Yesus: “Akulah jalan.”
Bagi dunia yang sibuk dan materialistis, surga terdengar
seperti dongeng. Tapi iman mengajarkan: surga itu nyata, karena Yesus sudah
membuka jalannya.
Inkarnasi bukan teori dingin. Ia adalah kisah kasih yang
terasa hangat: Allah Mahakuasa yang rela merendahkan diri, memilih jadi
manusia, hadir nyata, dan mengantar kita pulang.
Saat kita lemah, bingung, atau takut, kita bisa kembali ke inti ini: Allah tidak jauh. Ia dekat, karena pernah berjalan di bumi bersama kita.