Quo Nomine Vis Vocari?
| Pertanyaan kepada paus terpilih: Quo Nomine Vis Vocari? |
Ada satu pertanyaan dalam tradisi Gereja Katolik yang selalu membuat hati saya bergetar: “Quo nomine vis vocari?” atau “Dengan nama apa engkau ingin dipanggil?”
Pertanyaan sederhana ini diajukan kepada seorang kardinal yang baru saja dipilih menjadi Paus.
Sepintas terlihat hanya formalitas, namun
sesungguhnya di baliknya ada makna mendalam: lahirnya seorang gembala baru bagi
Gereja universal, sekaligus “kematian” identitas lamanya.
Tradisi mengganti nama paus sudah dimulai sejak abad ke-6.
Ketika Mercurius, seorang imam yang terpilih menjadi Paus pada tahun 533 M,
merasa tidak pantas membawa nama yang berasal dari dewa Romawi, ia memilih nama
Yohanes II.
Sejak saat itu, hampir semua paus mengikuti jejak tersebut.
Nama baru bukan hanya identitas baru, melainkan tanda perutusan, doa, bahkan
visi rohani yang hendak dijalani.
Dari Dokumen ke Sejarah
Meskipun praktiknya berakar jauh ke belakang, rumusan
pertanyaan “Quo nomine vis vocari?” baru secara resmi dikodifikasi dalam
dokumen-dokumen Vatikan pada abad ke-20.
Paus Pius XII menuliskannya dalam Vacantis Apostolicae
Sedis (1945). Paus Paulus VI memperbaruinya lewat Romano Pontifici
Eligendo (1975). Lalu Paus Yohanes Paulus II menetapkannya kembali dalam Universi
Dominici Gregis (1996), yang hingga kini menjadi dasar hukum prosedur
konklaf.
Sejak itu, setiap pemilihan paus selalu mengikuti tata cara
yang sama: setelah seorang kardinal terpilih menerima pemilihannya, dekan
kolegium bertanya, “Quo nomine vis vocari?” Nama yang dipilih kemudian
dicatat resmi oleh notaris liturgi, menjadi “akta kelahiran” seorang paus baru.
Pengalaman Menyaksikan Paus Leo XIV
Saya merasakan sakralnya momen itu ketika menyaksikan
terpilihnya Paus Leo XIV. Malam itu saya manteng di depan layar TV bersama
keluarga di Jakarta, namun serasa berada di tengah kerumunan ribuan orang di
Lapangan Santo Petrus.
Udara Jakarta tentu berbeda dengan Roma, tetapi antusiasme
di layar menjembatani jarak itu. Ketika balkon Basilika tiba-tiba terbuka dan
protodiakon mengumumkan “Habemus Papam!”, seketika suasana rumah kami
hening.
Beberapa menit sebelumnya, di ruang konklaf, Kardinal Robert Francis Prevost, yang baru saja terpilih
dengan suara bulat, menerima pemilihannya. Lalu dekan kolegium bertanya
kepadanya,
“Quo nomine vis vocari?”
Dengan suara bergetar tetapi penuh keyakinan, ia menjawab,
“Leo XIV.” Nama itu kemudian dicatat resmi oleh notaris liturgi.
Dari saat itu, Robert Francis Prevost bukan lagi dipanggil dengan nama lamanya: ia kini adalah Paus Leo XIV.
Begitu nama “Leo XIV” diumumkan, dada saya bergetar. Ia membentuk
seulas senyum. Lama. Tampak terharu sekali.
Di layar televisi, orang-orang di Roma bersorak, ada yang
menangis, ada yang berdoa. Di ruang keluarga kami, ada tepuk tangan kecil,
senyum haru, dan perasaan takjub. Nama “Leo” mengingatkan pada Paus Leo Agung,
seorang pembela iman di abad ke-5, sementara angka XIV menyambung rantai
sejarah panjang Gereja.
Malam itu, meski hanya lewat layar kaca, saya merasa seolah
ikut berjalan di jalan-jalan Roma yang penuh lampu dan doa. Dan saya sadar,
setiap kali pertanyaan “Quo nomine vis vocari?” diucapkan, yang lahir
bukan hanya seorang Paus, melainkan juga harapan baru bagi umat beriman di
seluruh dunia.
Tradisi Katolik yang agung seperti tanda dari langit
Tradisi Katolik memang kental, tidak hanya agung tetapi juga
sakral. Setiap detail dalam ritus pemilihan paus terasa seperti untaian simbol
yang menghubungkan bumi dengan langit.
Pertanyaan sederhana “Quo nomine vis vocari?” yang
diucapkan di ruang konklaf, misalnya, bukan hanya soal administratif. Itu
adalah tanda peralihan, sebuah kelahiran rohani yang membuat seorang kardinal
berubah menjadi Bapa Suci.
Saya merasakannya
seakan-akan itu adalah pertanda dari langit, sebuah momen ketika Gereja
universal mendapatkan gembala baru yang dipilih dalam cahaya Roh Kudus.
Momen ini semakin terasa hidup saat nama baru diumumkan ke
publik melalui seruan “Habemus Papam!”.
Dari layar televisi yang saya tatap malam itu bersama
keluarga di Jakarta, suasana agung itu seakan menembus jarak dan sampai juga ke
ruang keluarga kami. Balkon Basilika Santo Petrus yang terbuka, lonceng yang
berdentang, dan sorak ribuan orang di Roma semuanya terasa begitu dekat, meski
saya hanya duduk di sofa rumah.
Walau jauh dari Roma, getaran iman yang memancar dari
tradisi Gereja membuat hati saya yakin bahwa ada sesuatu yang lebih besar
daripada sekadar pemilihan seorang pemimpin.
Rasanya seolah langit sendiri ikut menandai peristiwa itu. Seolah
memberi tanda bahwa Gereja sedang memasuki bab baru, bersama gembala barunya.
Penulis: Rangkaya Bada