Salib
Bagi yang belum percaya, salib akan menariknya kepada Yesus. Bagi yang percaya Yesus, salib lambang keselamatan. Ist. |
Oleh Teguh Imanqu
Bagi yang percaya Yesus, salib lambang keselamatan. Sebaliknya, yang belum percaya, salib akan menariknya kepada Yesus.
Pada
awalnya orang Kristen sendiri enggan menjadikan salib sebagai lambang. Simbol
pertama justru ikan (ichthys) atau monogram Kristus. Namun seiring waktu,
pemahaman iman berkembang, dan lambang yang semula dihindari justru diterima
sebagai tanda yang paling dalam maknanya.
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang terus berputar, salib
berdiri tegak sebagai penanda diam yang menyimpan ribuan tahun kisah. Dahulu ia
hanyalah kayu kasar, alat penyiksaan paling mengerikan dari Romawi. Namun,
dalam perjalanan sejarah, salib berubah menjadi jembatan antara langit dan
bumi, antara air mata dan sukacita.
Bagi umat Kristen, salib adalah inti dari kisah penebusan:
seorang Juruselamat yang rela menanggung penderitaan demi manusia. Tetapi
kisahnya tidak berhenti di sana. Salib meresap ke dalam budaya, seni, bahkan
politik. Ia meninggalkan jejak yang rumit: kadang membangkitkan kekaguman,
kadang juga memicu kontroversi.
Esai ini mengajak kita menelusuri salib dari empat sisi:
asal-usul kelamnya, makna teologis yang dalam, jejak budayanya yang luas, dan
relevansinya di tanah Indonesia yang penuh keragaman. Mari kita lihat bagaimana
sebuah alat hukuman Romawi bisa menjelma simbol universal tentang harapan.
Dari Alat Siksa menjadi Lambang Keselamatan
Bayangkan Yerusalem di tahun 32 Masehi. Senja berdebu, orang
berteriak, dan di Bukit Golgota tiga kayu salib berdiri. Bagi Romawi,
penyaliban bukan hal asing. Sejak abad ke-6 SM, salib dipakai untuk menghukum
budak, pemberontak, dan penjahat rendahan. Prosesnya kejam: orang dicambuk
hingga sekarat, lalu dipaksa memikul balok berat, sebelum akhirnya dipaku atau
diikat di kayu tinggi. Kematian datang pelan, melalui sesak napas atau patah
tulang yang dipaksa.
Dalam logika kekaisaran, salib adalah teror. Pesannya jelas:
jangan coba-coba melawan Caesar. Tetapi penyaliban Yesus membalik arti itu. Di
mata Romawi, Ia hanyalah pengacau politik. Namun, bagi para pengikut-Nya, salib
justru menjadi puncak rencana ilahi: Yesus yang tak berdosa rela mati, bukan
kalah, melainkan menang atas maut.
Menariknya, pada awalnya orang Kristen sendiri enggan
menjadikan salib sebagai lambang. Simbol pertama justru ikan (ichthys)
atau monogram Kristus. Salib masih dianggap terlalu memalukan. Barulah pada
abad ke-4, setelah Kaisar Konstantin mengaku melihat tanda salib di langit
sebelum bertempur, lambang ini naik derajat. Ia bukan lagi alat eksekusi,
melainkan tanda kemenangan iman.
Sejak itu, salib berubah rupa dan makna. Dari mosaik
Bizantium, hingga salib Latin yang kini kita kenal, semuanya mengingatkan pada
satu paradoks: dari alat kekerasan lahirlah tanda pengharapan.
Kasih yang Menang lewat Penderitaan
Kalau sejarah salib bercerita tentang perubahan dari luar,
teologi berbicara tentang makna terdalamnya. Paulus menulis, “Salib adalah
kekuatan Allah” (1 Kor 1:18). Bagi banyak orang Yahudi saat itu, salib adalah
batu sandungan; bagi orang Yunani, kebodohan. Tapi justru di situlah
misterinya: Tuhan memilih jalan paling rendah, mati seperti budak, untuk
mengangkat manusia.
Dalam iman Kristen, salib punya tiga lapisan makna. Pertama,
penebusan: Yesus menanggung dosa manusia, sekali untuk selamanya. Kedua,
kemenangan: kebangkitan mengalahkan maut, membuat salib bukan akhir melainkan
awal baru. Ketiga, partisipasi: setiap orang percaya diajak “memikul salib,”
artinya berani merangkul penderitaan dengan iman.
Teolog modern memberi tafsiran beragam. Jürgen Moltmann,
misalnya, menekankan bahwa Allah di salib ikut menderita bersama manusia, bukan
sekadar menghukum. Di Indonesia, refleksi tentang salib sering dipakai untuk
memberi makna pada penderitaan sehari-hari, dari pandemi hingga kemiskinan,
bahwa penderitaan bukanlah akhir, melainkan ruang untuk bertemu dengan kasih
Allah.
Maka setiap kali tanda salib dibuat, dari dahi, dada, bahu
kanan, lalu bahu kiri, itu bukan sekadar gerakan. Itu adalah pernyataan iman:
kasih lebih kuat daripada keputusasaan.
Salib dalam Budaya dan Seni
Sejak Konstantin, salib menembus batas gereja dan meresap ke
budaya dunia. Ia menghiasi mosaik, lukisan, hingga arsitektur. Dari Hagia
Sophia di Bizantium, Pieta karya Michelangelo, sampai katedral gotik di
Eropa, semuanya menempatkan salib di pusat.
Kadang, salib hadir dalam sisi kelam: Perang Salib di abad
pertengahan, atau pembakaran salib oleh Ku Klux Klan di Amerika. Tetapi ia juga
jadi inspirasi agung: dalam musik Bach, dalam lukisan Salvador Dalí, dalam
perjuangan Martin Luther King Jr. yang melihat salib sebagai panggilan
keadilan.
Bahkan di budaya non-Kristen, bentuk salib sering muncul.
Ankh Mesir melambangkan kehidupan, swastika kuno melambangkan keberuntungan,
dan di Amerika Latin salib bercampur dengan tradisi lokal dalam perayaan
kematian.
Salib, singkatnya, adalah arketipe universal. Ia bisa jadi
tanda doa, bisa pula jadi medan kontroversi. Justru di situlah daya tariknya:
satu bentuk sederhana bisa memuat berjuta makna.
Salib di Indonesia: Dari Ritual ke Harapan Bersama
Di tanah air, salib hadir sejak misionaris Portugis abad
ke-16. Namun ia tidak sekadar simbol asing, melainkan berbaur dengan budaya
lokal. Di Toraja, misalnya, salib raksasa di Bukit Singki bukan hanya penanda
iman, tetapi juga jembatan antara adat leluhur dan iman baru.
Tradisi Jumat Agung di Larantuka memperlihatkan ini dengan
kuat: ribuan orang mengusung replika salib dalam prosesi hening, seolah
berjalan bersama Kristus. Di Manado, salib tampil dalam perayaan adat yang
mempersatukan. Di Papua, salib pernah menjadi simbol pendidikan dan pelayanan
kesehatan lewat para misionaris.
Seni Indonesia pun menyerapnya. Affandi melukis Yesus di
salib dengan gaya ekspresionis Jawa, seakan penderitaan Kristus menyatu dengan
penderitaan rakyat kecil. Lagu rohani modern menyuarakan salib sebagai
kemenangan di tengah tantangan zaman.
Tentu, ada juga sisi gelap. Dalam konflik agama, salib
kadang menjadi sasaran kekerasan. Tetapi pengalaman itu justru memperlihatkan
bahwa simbol ini tidak bisa dipisahkan dari dinamika bangsa.
Di era digital sekarang, salib bahkan hadir di media sosial:
dari hashtag doa, kesaksian korban bencana, hingga gerakan peduli lingkungan.
Generasi muda melihatnya bukan hanya tanda agama, melainkan simbol solidaritas
dan kepedulian.
Salib di Indonesia akhirnya menjadi cermin kebhinekaan. Ia
mengingatkan kita bahwa penderitaan bisa melahirkan harapan, dan perbedaan bisa
disatukan oleh kasih.
Sejarah salib adalah kisah paradoks. Dari alat siksa berubah
menjadi tanda kasih. Dari simbol malu menjadi ikon harapan. Dari cerita lokal
di Yerusalem, ia menjalar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan menemukan
makna baru dalam tiap konteks.
Mungkin, itu sebabnya salib tetap bertahan: ia bukan hanya simbol iman, tapi juga simbol manusia yang mencari arti dalam penderitaan. Dalam kayu kasar itu, ada pesan yang sederhana namun abadi: bahwa harapan bisa lahir di tengah luka.