Salam Pembuka Misa Katolik: Pendasarannya dari 2 Korintus 13:13
Salam Misa Katolik berdasar 2 Korintus 13:13. Ist. |
Kita masuk rumah kerabat. Apa yang kita lakukan? Diam? Berlalu? Cuma bilang, “Halo, apa kabar?” lalu kabur?
Tidak! Kerabat menatap, tersenyum, menyiapkan air minum. Tangan terbuka, mata berbinar. Kita merasa diterima.
Begitu juga dalam Misa. Imam angkat tangan. Suaranya jatuh. Katanya menyapa umat sekalian yang ikut perayaan Ekaristi di situ, sesudah tanda salib:
“Kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah Bapa, dan persekutuan Roh Kudus bersamamu.”
Itu bukan basa-basi. Itu bukan salam selamat
pagi yang bisa dilupakan. Itu dentuman! Itu gemuruh dari abad pertama!
Bayangkan. Dua ribu tahun lalu, jemaat Korintus mendengar
kata yang sama. Paulus menulisnya dengan tinta, darah, air mata. Dan sekarang,
kata itu keluar dari mulut imam, mengalir ke telinga kita. Mengikat kita dengan
sejarah. Salam itu bukan ucapan manis. Itu pintu. Pintu yang kalau dibuka, kita
masuk ke rumah Allah sendiri.
Getarannya? Seperti guntur yang menyelinap ke hati. Kecil,
tapi menghancurkan dinding kesepian. Lembut, tapi mampu mengangkat jiwa yang
jatuh. Sekali terdengar, kita tak lagi sendirian. Kita berdiri bersama jemaat
perdana. Bersama Paulus. Bersama Kristus sendiri. Dan itu… menggetarkan.
Tiga Wajah, Satu Kasih
Salam ini terbagi dalam tiga bagian. Masing-masing punya
makna.
Pertama, kasih karunia Yesus Kristus. Kata “kasih
karunia” berarti anugerah yang cuma-cuma. Kita diingatkan bahwa keselamatan itu
bukan hasil usaha kita, melainkan hadiah dari Kristus yang rela wafat demi
manusia.
Kedua, cinta kasih Allah Bapa. Dialah sumber
kehidupan, yang mencintai tanpa syarat, seperti seorang ayah yang tidak pernah
lelah menunggu anaknya pulang, betapapun nakalnya.
Ketiga, persekutuan Roh Kudus. Roh Kudus yang bekerja
diam-diam, menyatukan jemaat, membuat hati yang tadinya jauh jadi dekat, yang
tadinya retak jadi utuh kembali. Pernahkah kita merasakan, saat doa bersama
keluarga atau komunitas, suasana menjadi damai dan hangat? Itu buah persekutuan
Roh Kudus.
Ketiga bagian ini bukan berdiri sendiri-sendiri, melainkan
mengalir dari satu sumber kasih yang sama: Allah Tritunggal.
Sapaan yang menghidupkan sekaligus menghangatkan
Salam liturgi ini bukan hanya ritus pembuka. Ia adalah doa.
Imam mendoakan kita semua agar sungguh merasakan kasih Kristus, cinta Bapa, dan
persekutuan Roh Kudus dalam hidup sehari-hari.
Contoh kecil: ketika seorang ibu yang lelah tetap memasakkan
nasi untuk anak-anaknya; ketika seorang mahasiswa masih mau menyisihkan waktu
menengok temannya yang sakit; atau ketika seorang karyawan tetap jujur meski
ada peluang curang—itulah wujud nyata salam yang kita dengar di awal Misa.
Kasih karunia, cinta, dan persekutuan itu mengalir ke dalam tindakan
sehari-hari.
Dan saat umat menjawab, “Dan bersama rohmu,” itu
bukan sekadar balasan sopan. Itu doa balik: agar imam pun dipenuhi Roh Kudus,
sehingga ia bisa memimpin perayaan Ekaristi dengan hati yang menyala. Di sana
terasa ada timbal balik: imam mendoakan umat, umat mendoakan imam.
Salam yang sederhana, tetapi kalau direnungkan, ia sanggup
menghidupkan dan menyatukan.
Salam damai itu kita bawa pulang ke
rumah. Jadi pegangan di luar gereja juga. Sebab ditutup dengan berkat dan pengutusan oleh imam.
Katolik sungguh kaya!
Kaya akan iman, pengharapan, dan cinta kasih.
28 September 2025