Menyaring Iman Kristen di Tengah Banjir Konten Digital
Orang tua dan gen Z wajib menyaring iman Kristen di tengah banjir konten media digital. Kecerdasan media. Ist. |
Oleh Agustinus Hertanto Torunas Moncas, S.Pd.
Media sosial hari ini mirip sebuah alun-alun yang tak pernah tidur.
Di luaran sana! Saksikanlah:orang-orang berteriak, menari, menjajakan dagangan, dan melemparkan kata-kata.
Ada tawa yang riuh; ada amarah yang tajam; ada renungan yang singkat; ada pula doa yang tercecer di antara komentar.
Iman Kristen pun hadir di ruang ini. Ia muncul sebagai
potongan video khotbah, kutipan ayat yang indah, artikel panjang yang penuh
argumen, sampai renungan yang terlampau ringkas. Sebagian menyejukkan hati,
sebagian lain justru membingungkan. Seperti pasar yang berisik, ada sayur segar
dan ada yang busuk; ada madu asli, ada pula yang palsu.
Di titik ini, pertanyaan yang sederhana, namun berat,
muncul: bagaimana kita memilah? Bagaimana kita menjaga iman agar tidak hanyut
bersama arus informasi yang deras? Rasul Paulus menulis, “Ujilah segala
sesuatu dan peganglah yang baik.” (1 Tesalonika 5:21). Sebuah nasihat yang
sederhana; tapi justru semakin sukar dijalani ketika banjir informasi tak
terbendung.
Pasar yang Riuh, Iman yang Diuji
Di ruang digital, yang viral sering kali dianggap benar.
Yang ramai disukai dianggap sahih. Padahal, kebenaran tak selalu berjalan
beriringan dengan jumlah likes atau komentar. Kebenaran kadang sepi;
kadang sunyi; bahkan tak menarik bagi algoritma.
Namun iman Kristen tidak lahir dari suara terbanyak. Ia
bertumbuh dari Kitab Suci, dari tradisi gereja, dari kesaksian para Bapa Gereja
yang mengalir sepanjang sejarah. Ada kesinambungan di sana; semacam garis yang
menuntun kita agar tidak terombang-ambing.
Tanpa fondasi itu, iman bisa terjebak menjadi sekadar opini
pribadi. Dan opini, dalam dunia digital, mudah sekali hanyut, larut dalam arus
yang cepat berubah. Iman tanpa dasar hanya seperti perahu kecil di sungai
besar: terapung sebentar, lalu hilang terbawa pusaran.
Analogi lain: obat di warung. Ada yang resmi, jelas izin
edarnya, jelas dosisnya. Ada pula yang palsu; berbungkus rapi tapi berbahaya.
Tubuh bisa rusak kalau salah minum. Demikian juga iman: bisa goyah jika kita
menelan ajaran yang tampak indah, tapi keliru.
Menjawab dengan Lemah Lembut
Tapi bagaimana kita menyikapi orang lain di ruang yang penuh
perbedaan ini? Media sosial kerap menjadikan kita mudah marah; mudah
tersinggung; mudah membalas. Padahal iman tak tumbuh dari debat yang keras
kepala. Petrus menulis: “Hendaklah kamu siap sedia memberi pertanggungan
jawab... tetapi dengan lemah lembut dan hormat.” (1 Petrus 3:15).
Lemah lembut bukan berarti lemah argumen; ia adalah cara;
sebuah sikap. Jawaban yang lahir dari kasih, bukan dari amarah.
Bayangkan seorang anak kecil yang bertanya: “Kenapa permen tak boleh dimakan terlalu banyak?”
Seorang ibu bisa saja berteriak, “Karena itu
jelek!” Tapi ia bisa juga menjelaskan dengan sabar, dengan cerita, dengan
penjelasan sederhana: gula berlebihan akan membuat sakit gigi. Dalam kelembutan
itu, kebenaran tetap sampai, tanpa melukai.
Yesus sendiri sering menjawab pertanyaan dengan cara yang
penuh daya tarik: kadang perumpamaan; kadang logika tajam; kadang balik
bertanya. Rasional, ya. Tapi selalu relasional. Ia tidak hanya berbicara kepada
pikiran, tapi juga kepada hati.
Di sini kita belajar: iman Kristen tidak anti-rasional. Ia
justru berdiri di atas dasar yang masuk akal. Namun ia juga lebih dari sekadar
akal. Iman adalah relasi. Percaya kepada Allah berarti percaya pada Pribadi
yang hidup. Sebuah kepercayaan yang bukan hanya hasil argumen, melainkan
perjumpaan.
Terang di Tengah Banjir Konten
Pertanyaan kembali datang: apa yang bisa kita
lakukan di tengah derasnya arus informasi ini?
Mungkin jawabannya sederhana: menjadi saksi. Bukan dengan
kata-kata besar, bukan dengan debat panjang. Tapi dengan kehidupan yang kecil;
dengan sikap yang mencerminkan Kristus.
Yesus berkata: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya
di depan orang.” (Matius 5:16). Terang itu bisa hadir lewat sebuah kalimat
pendek yang meneduhkan di linimasa. Bisa hadir lewat cara kita menahan diri
tidak membalas hinaan. Bisa hadir lewat doa yang kita bisikkan diam-diam ketika
melihat kawan sedang terluka.
Menyaring iman di tengah banjir konten digital adalah
semacam askese baru. Sebuah latihan. Tidak ribut, tapi jernih. Tidak menolak
dunia, tapi memilah.
Kita tahu: tak semua air yang jernih bisa diminum. Begitu pula tak semua kata yang terdengar indah bisa dipercaya. Karena itu iman menuntut kita untuk waspada, tapi juga rendah hati. Untuk berani berkata “tidak” pada yang menyesatkan; tapi juga siap berkata “ya” kepada kasih yang benar.
Iman tetap bercahaya
Di era ini, iman bukan lagi soal bertahan di sebuah gereja
yang sunyi. Ia juga soal hadir di ruang-ruang digital, yang riuh dan tak henti.
Kita dipanggil untuk menyaring, memilah, memilih. Bukan karena kita lebih
pintar, melainkan karena kita belajar setia.
Dan mungkin, pada akhirnya, iman di era digital ini hanyalah
sebutir cahaya kecil. Nyaris tenggelam di antara jutaan lampu neon. Tapi justru
di situlah nilainya. Cahaya kecil bisa tetap memberi arah. Seperti lilin yang
tak padam meski angin berusaha meniup.
Menyaring iman bukan berarti menutup mata dari dunia. Ia
berarti tetap membuka mata, tapi tahu apa yang harus dilihat. Ia berarti tetap
membuka telinga, tapi tahu suara mana yang layak diikuti.
Sebab iman bukan hanya soal tahu yang benar. Ia adalah soal
berjalan bersama Yang Benar. Dan di tengah banjir konten digital, itu berarti
menjaga hati agar tetap jernih, pikiran agar tetap waras, dan kasih agar tetap
mengalir.
Sanggau, 28 September 2025