Aku dan Iman Katolikku

 

Aku dan Iman Katolikku
Iman Katolik yang diwariskan orangtua dan Gereja, perlu disiram dan dipiara bagai biji sesawi. Ist.

Oleh: Theresia Amanda Tan

Sejak kecil, rumahku bukan cuma tempat pulang, tapi juga jadi sekolah pertama tentang iman.

Orangtuaku bukan tipe yang sering ngomong panjang lebar soal agama, tapi lewat sikap mereka aku belajar banyak.

Awalnya, aku sebel

Mama selalu ingetin doa malam sebelum tidur, walau kadang aku pura-pura ngantuk biar bisa skip. Papa juga jarang bicara serius, tapi aku lihat sendiri bagaimana dia bekerja jujur dan gak pernah mau ambil jalan pintas. Dari situ aku ngerti, iman itu gak cuma soal kata-kata, tapi tindakan.

Waktu kecil, tiap Minggu kami selalu ke gereja bareng. Kadang aku ngeluh, “Aduh, malas banget, masih pagi!”

Tapi mama selalu bilang, “Kalau kamu bisa bangun pagi buat sekolah atau jalan sama teman, masa buat Tuhan kamu malas?” Kata-kata itu nyelekit sih, tapi lama-lama aku sadar bener juga. Dari keluarga, aku dapat pondasi yang kuat bahwa iman itu harus dipelihara, sama kayak tanaman yang butuh air dan cahaya. Kalau gak dirawat, ya kering.

Ada satu momen yang bikin aku makin sadar pentingnya iman. Waktu itu aku gagal masuk tim basket sekolah, padahal udah latihan keras. Rasanya sakit banget.

Aku ngurung diri di kamar, nangis berhari-hari.

Mama cuma bilang, “Kalau kamu percaya, Tuhan pasti punya jalan lain.”

Awalnya aku sebel, kok kayak jawaban standar banget. Tapi beberapa bulan kemudian aku nemu passion baru di bidang paduan suara gereja. Di situlah aku merasa diterima, dan suara yang dulu aku anggap biasa ternyata bisa jadi berkat. Dari keluarga, aku belajar: iman bukan jimat ajaib, tapi kekuatan untuk tetap berdiri ketika rencana kita gak sesuai dengan rencana Tuhan.

Sekolah Katolik: Lebih dari Sekadar Pelajaran

Aku sekolah di SMA Katolik. Banyak orang bilang, sekolah Katolik itu ketat, banyak aturan, bahkan kaku. Awalnya aku juga mikir gitu. Tapi ternyata, sekolah ini justru jadi tempat di mana imanku tumbuh makin matang.

Di sekolah, kami gak cuma belajar matematika, fisika, atau bahasa. Ada pelajaran Pendidikan Agama Katolik yang kadang jadi ruang refleksi. Pernah satu kali guru agama kami bilang, “Iman itu seperti otot. Kalau gak dilatih, lama-lama lemah.” Kalimat itu nempel banget di kepalaku. Sejak itu aku coba ikut aktif di kegiatan rohani sekolah: retret, doa rosario, misa harian. Bukan karena dipaksa, tapi aku merasa ada sesuatu yang menguatkan.

Yang paling berkesan itu waktu retret kelas XI. Kami diajak untuk refleksi diri, menulis surat buat Tuhan, bahkan mengakui kelemahan-kelemahan kami. Malam itu aku nangis, bukan karena sedih, tapi karena merasa dicintai apa adanya. Rasanya kayak beban yang lama aku simpan—tentang kecewa, iri, rasa gak cukup—semua dilepas. Guru dan pembina retret gak banyak ceramah, tapi mereka memberi ruang buat kami jujur.

Sekolah Katolik juga ngajarin aku bahwa iman itu harus diwujudkan dalam tindakan sosial. Kami sering diajak bakti sosial ke panti asuhan atau kunjungan ke orang sakit. Dari situ aku sadar, iman gak boleh berhenti di dalam kelas atau kapel sekolah. Iman harus hadir dalam kepedulian ke orang lain.

Lingkungan yang Mendukung

Selain keluarga dan sekolah, aku bersyukur punya lingkungan yang mendukung. Aku tinggal di komplek yang warganya beragam: ada Katolik, Protestan, Muslim, bahkan ada yang Buddha. Awalnya aku kira perbedaan ini bakal bikin susah berteman. Ternyata malah sebaliknya, aku belajar saling menghargai.

Di lingkungan gereja, aku aktif di OMK (Orang Muda Katolik). Jujur, awalnya aku cuma ikut karena diajak teman. Tapi lama-lama aku ngerasa OMK itu rumah kedua. Kami gak cuma kumpul buat doa, tapi juga latihan drama Paskah, jalan salib, atau sekadar nongkrong sambil cerita masalah sekolah. Dari OMK aku belajar, iman juga butuh komunitas. Gak bisa sendirian. Kalau sendiri, gampang goyah.

Ada satu pengalaman di OMK yang bikin aku terharu. Waktu itu salah satu teman kami kehilangan ayahnya. Semua anggota OMK kompak datang, bantu doa, bahkan ikut ngasih dukungan ke keluarganya. Aku lihat sendiri gimana iman bisa jadi nyata lewat kehadiran. Di situlah aku sadar, iman itu bukan cuma soal hubungan pribadi dengan Tuhan, tapi juga bagaimana kita hadir untuk sesama.

Lingkunganku yang mendukung bikin aku berani untuk jujur tentang imanku. Aku gak takut diejek karena rajin ke gereja atau aktif di OMK. Malah, beberapa teman yang berbeda agama sering tanya, “Eh, misa Katolik itu kayak apa sih?” Aku seneng banget bisa cerita tanpa harus merasa terintimidasi.

Teguh dalam Iman, Pengharapan, dan Kasih

Sekarang aku udah kelas XII. Banyak orang bilang masa SMA itu masa pencarian jati diri, masa penuh godaan. Dan aku akui, itu bener banget. Godaan untuk ikut arus pergaulan, godaan untuk malas ibadah, bahkan godaan buat mikir: “Ah, nanti aja deh urusan iman, yang penting sekarang hepi.” Tapi setiap kali pikiran itu datang, aku selalu inget perjalanan imanku.

Keluarga ngajarin aku tentang ketulusan. Sekolah Katolik bikin aku sadar bahwa iman harus dilatih. Lingkungan yang mendukung memberi aku kekuatan untuk gak sendirian. Semua itu jadi alasan kenapa aku mau tetap teguh.

Teguh itu bukan berarti aku gak pernah ragu. Aku sering kok bertanya: “Kenapa Tuhan biarin aku gagal?” atau “Bener gak sih doa aku didengar?” Tapi bedanya, sekarang aku gak lari dari pertanyaan itu. Aku berani hadapin, sambil tetap percaya. Buatku, iman itu bukan tentang gak pernah jatuh, tapi tentang mau bangkit lagi dan lagi.

Kalau ditanya kenapa aku memilih tetap setia pada iman Katolik, jawabanku sederhana: karena di dalam iman ini aku menemukan diriku yang paling sejati. Aku belajar mencintai, mengampuni, melayani, dan bersyukur. Iman ini bukan beban, tapi pegangan.

Aku tau nanti setelah lulus SMA, hidup akan lebih kompleks. Tantangan akan lebih besar. Tapi aku percaya, selama aku tetap dekat dengan Tuhan, gak ada yang mustahil. 

Iman Katolik bukan sekadar warisan dari keluarga, bukan cuma aturan dari sekolah, atau rutinitas di lingkungan. Iman ini sudah jadi bagian dari diriku.

Dan aku mau terus berjalan bersama-Nya.

Penulis adalah siswi sebuah SMA Katolik di bilangan Jakarta Barat, sekolah yang diasuh para suster Katolik.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org