Sacrilege dalam Gereja Katolik
Sacrilege dalam Gereja Katolik: masih berlaku hari ini bagi siapa pun pelakunya. Ist. |
Oleh Br. Cosmas Damianus Baptista
Sacrilege adalah istilah kerap terdengar dalam wacana keagamaan, terutama dalam Gereja Katolik. Namun, di balik kata yang singkat itu, tersimpan akar bahasa yang panjang dan mendalam.
Asal usul kata Sacrilege
Etimologi Sacrilege dari sacrilegium dalam Latin Abad Pertengahan, gabungan dari dua unsur: sacrum, yang berarti “hal suci” atau “benda yang dipersembahkan kepada Tuhan,” dan legere, yang berarti “mengambil,” “memungut,” atau bahkan “mencuri.”
Secara harfiah, sacrilegium berarti “mencuri hal suci” atau “merampok kuil.” Pada masa Romawi kuno, makna ini bukan sekadar kiasan. Ia menunjuk pada pencurian nyata atas benda-benda liturgis dari kuil, sebuah tindak pidana serius karena dianggap merendahkan para dewa.
Dari akar itu, makna kemudian berkembang. Sacer dalam Latin Kuno berarti sesuatu yang dipisahkan untuk dewa, sementara legere berakar dari bahasa Indo-Eropa kuno leg- yang berarti “mengumpulkan” atau “memilih.” Melalui bahasa Prancis Lama (sacrilege), istilah ini masuk ke dalam bahasa Inggris sekitar abad ke-13. Pada abad ke-14, cakupannya meluas: bukan lagi sekadar pencurian barang suci, melainkan juga tindakan atau perkataan yang menodai kesakralan.
Dalam tradisi Katolik, makna ini dipertahankan dan bahkan diperdalam. Katekismus Gereja Katolik (KGK) mendefinisikan sacrilege sebagai “penodaan atau perlakuan tidak layak terhadap sakramen, tindakan liturgi, orang, benda, atau tempat yang dikuduskan bagi Tuhan.”
Joseph Ratzinger, kemudian Paus Benediktus XVI, berulang kali menekankan pentingnya menjaga kekudusan liturgi. Scott Hahn, dalam refleksinya tentang Ekaristi, bahkan menyebut sacrilege sebagai “pencurian” dari hadirat Kristus sendiri.
Etimologi ini, jika ditarik garis lurus, mengingatkan kita bahwa sejak zaman kuno hingga Gereja modern, pesannya sama: jangan ambil, jangan nodai, apa yang sudah menjadi milik Allah.
Sacrilege dalam Gereja Katolik
Konsep sacrilege sudah terpantul jauh sebelum lahirnya Gereja. Dalam Perjanjian Lama, Raja Belsyazar diceritakan memakai bejana suci dari Bait Allah Yerusalem untuk pesta pora (Daniel 5). Itu bukan sekadar kelalaian; itu adalah bentuk sacrilege yang berbuah murka Tuhan.
Kisah lain muncul dalam 2 Makabe 4:7–17, ketika Antiokhus Epifanes menodai Bait Suci; peristiwa ini kemudian dirujuk Yesus dalam Markus 13:14 sebagai “pembinasaan keji.”
Dalam Perjanjian Baru, Rasul Paulus memberi peringatan keras: “Barangsiapa makan roti atau minum cawan Tuhan dengan cara yang tidak layak, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan” (1 Korintus 11:27–29). Bagi Paulus, Ekaristi yang diperlakukan sembarangan adalah inti dari sacrilege.
Gereja awal mengembangkan pemahaman ini. Santo Tomas Aquinas, dalam Summa Theologiae, mengklasifikasikan sacrilege sebagai dosa terhadap kebajikan religiositas. Ia membedakan antara sacrilege personal (terhadap orang suci), lokal (terhadap tempat kudus), dan real (terhadap benda atau sakramen). Dari sinilah fondasi hukum kanonik terbentuk.
Kode Hukum Kanonik (KHK) 1983 menegaskan kembali: siapa saja yang membuang hosti kudus atau memperlakukannya secara tidak layak dapat dikenai ekskomunikasi otomatis. Hukuman ini menunjukkan betapa seriusnya Gereja memandang pelanggaran terhadap sakramen.
Bagi Ratzinger, sacrilege berakar pada pengkhianatan terhadap perjanjian. Hahn, dari pengalaman konversinya, melihatnya sebagai skandal iman; tindakan yang menodai inti penyembahan. Sejarah Gereja, dari zaman para martir hingga masa Reformasi Tudor di Inggris, menunjukkan satu benang merah: sacrilege adalah serangan terhadap yang paling kudus.
Mengapa Sacrilege?
Mengapa Gereja Katolik menempatkan sacrilege sebagai dosa berat? Jawabannya sederhana sekaligus dalam: karena Tuhan itu Maha Kudus. Yesaya 6:3 menegaskan, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam; seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya.”
Sacrilege berarti menodai kekudusan ini. Ia melanggar Perintah Pertama dan, dengan demikian, mengoyak hubungan antara manusia dan Allah. Katekismus (2120) menegaskan: “Sacrilege adalah dosa berat, terutama ketika dilakukan terhadap Ekaristi.”
Ratzinger, dalam Introduction to Christianity, menekankan liturgi sebagai perjumpaan dengan Yang Kudus. Melakukan sacrilege berarti menukar prioritas Tuhan dengan ego manusia. Scott Hahn, dari sisi pastoral, mengingatkan bahwa menerima Komuni dalam keadaan dosa berat sama dengan mengulangi pengkhianatan Yudas.
KHK Kanon 915 dengan tegas melarang Komuni bagi mereka yang terus-menerus berada dalam dosa berat yang nyata, demi mencegah sacrilege dan skandal.
Aquinas menambahkan: sacrilege merusak virtue of religion, yakni dasar kehidupan rohani. Maka tidak heran, Gereja memperlakukannya sebagai luka serius pada tubuh Kristus dan komunitas-Nya.
Sacrilege Kini dan Penerapannya
Zaman berubah, tapi ancaman sacrilege tetap nyata. Bentuknya mungkin tidak selalu sama, namun esensinya tak berkurang.
Hari ini, kasus sacrilege bisa berupa penodaan Ekaristi dalam ritual profan, vandalisme di gereja, atau penyalahgunaan liturgi. Scott Hahn menyebut “black mass” modern sebagai contoh sacrilege yang paling menyedihkan. Benediktus XVI menegaskan bahwa liturgi kontemporer harus dijaga dari bentuk penodaan, entah melalui musik yang tak pantas atau sikap yang sembrono.
Kanon 1382 KHK mengatur konsekuensi praktis: membuang hosti yang sudah dikonsekrasi adalah sacrilege yang membawa ekskomunikasi otomatis. Kasus ini pernah muncul ketika gereja diserang, hosti dirampas, atau imam dilukai dalam pelayanan.
Di ranah publik, isu sacrilege sering muncul dalam debat tentang politisi yang menerima Komuni meski terang-terangan mendukung kebijakan yang bertentangan dengan ajaran Gereja, misalnya soal aborsi. Gereja menegaskan bahwa Komuni dalam kondisi itu bisa menjadi sacrilege yang mencederai sakramen sekaligus iman umat.
Meski dunia semakin sekuler, pesan Gereja tetap sama: kekudusan harus dijaga.
Ratzinger menutup argumennya dengan kalimat yang tajam: “Hanya yang benar itu pastoral.” Menghindari sacrilege berarti menjaga kebenaran itu tetap hidup di tengah umat.
Tanjungkarang, 27 September 2025
Daftar Pustaka
- Catholic
Encyclopedia. (1912). “Sacrilege.” New Advent. https://www.newadvent.org/cathen/13321a.htm
- St.
Thomas Aquinas. Summa Theologiae, Secunda Secundae Partis, Q.
99. New Advent. https://www.newadvent.org/summa/3099.htm
- United
States Conference of Catholic Bishops (USCCB). “Leviticus 5.” https://bible.usccb.org/bible/leviticus/5
- United
States Conference of Catholic Bishops (USCCB). “Baruch 2.” https://bible.usccb.org/bible/baruch/2
- United
States Conference of Catholic Bishops (USCCB). “2 Maccabees 13.” https://bible.usccb.org/bible/2maccabees/13
- Podles,
Leon J. (2008). Sacrilege: Sexual Abuse in the Catholic Church. Dalam Theological
Lessons of the Abuse Crisis. USCCB. https://www.usccb.org/resources/Prokes_Theology.pd
- Cardinal
Raymond Leo Burke. (2021). “Statement on Reception of Holy Communion.” New
Advent. http://feeds.newadvent.org/~r/bestoftheweb/~3/RkDTriXqm08/statement-reception-of-holy-communion