Kelopak Mawar yang Terkoyak - Cerpen Rangkaya Bada
Kelopak Mawar yang Terkoyak - Cerpen Rangkaya Bada. Ist. |
Hujan turun rintik-rintik. Menetes dari langit kelabu
seperti air mata semesta yang tak tahan lagi. Trotoar basah, licin, berkilau.
Lampu jalan menyulutnya jadi seperti cermin pecah.
Langkah Naura menyeret. Pelan. Ragu. Seperti jantung yang berusaha meyakinkan
diri bahwa ia masih hidup, meski sebenarnya hampir putus.
Ia berjalan sendiri. Dingin menusuk. Air hujan meresap
sampai ke tulang. Seakan tubuhnya sengaja dihukum oleh cuaca. Hatinya berbisik:
biar saja! Biar hujan mengguyur sampai habis. Biar dunia tahu luka ini ada.
Biar dingin menyamarkan getir yang ia simpan rapat.
Malam kota mendadak sunyi. Suara kendaraan lenyap. Tawa
orang-orang ditelan gelap. Yang tinggal hanyalah dirinya. Hujan. Dan kenangan.
Kenangan itu tak tahu diri. Ia datang lagi. Menyelinap
seperti pencuri. Menyakitkan. Persis duri yang bersembunyi di balik kelopak
mawar. Cantik bila dilihat. Perih bila disentuh. Dan duri itu punya nama.
Rizal!
Tiga tahun lalu, Naura percaya cinta adalah rumah. Rizal
menjadi pintu. Menjadi jendela. Menjadi atap. Menjadi seluruh dinding. Ia masuk
tanpa ragu. Menaruh hati di meja ruang tamu. Menyimpan masa depan di lemari. Ia
buta. Tapi ia bahagia. Bahagia yang membius.
Namun rumah itu palsu. Retak. Rapuh. Rizal berpaling. Cinta
itu runtuh! Ambruk. Tanpa peringatan. Janji-janji meletus seperti kaca jatuh di
lantai marmer. Pecah. Berhamburan. Menikam balik.
Naura jatuh. Tidak sekadar tersandung. Tapi hancur!
Malam-malamnya berubah jadi penjara air mata. Tubuhnya gemetar. Jiwa meraung.
Pernah ia bertanya: “Apa gunanya hidup kalau hanya sakit begini?”
Tapi waktu. Oh waktu. Biadab tapi penyelamat. Ia memaksa
Naura berdiri. Menyusun tulang-tulang yang remuk. Mengajari langkah baru. Luka
tetap ada, tapi ia belajar berjalan di atasnya.
Dan malam ini. Takdir yang gila itu bermain.
Naura masuk ke sebuah kafe kecil. Lampu kuning temaram.
Aroma kopi menyusup. Musik lembut bergelombang. Ia hanya ingin berteduh. Tapi
matanya terhenti. Membeku.
Di sudut ruangan. Di balik kaca berembun. Seorang lelaki
duduk. Wajah itu! Wajah yang dulu jadi mimpi, kini jadi racun. Rambutnya
beruban. Ada garis letih di matanya. Tapi tatapan itu… tatapan itu tetap sama.
Rizal!
Napas Naura tercekat. Ia ingin lari. Tapi kakinya membeku.
Jantungnya menendang keras, memukul-mukul rusuk. Tubuhnya kaku. Bibirnya pecah
hening.
“Hai, Rizal.”
Rizal terperanjat. Matanya membesar. Senyum getir pecah di
bibirnya. Senyum yang bukan lagi sombong. Tapi menyesal. “Hai, Naura. Lama kita
tidak bertemu.”
“Ya.” Suaranya tipis. “Sudah lama.”
Mereka duduk berhadapan. Diam. Hanya hujan yang bicara. Dua
jiwa yang dulu pernah jadi satu. Kini dipertemukan lagi.
Tatapan Rizal tajam. Suaranya berat. “Aku menyesal, Naura.
Aku menyesal meninggalkanmu. Aku menyesal melukaimu.”
Kata-kata itu menusuk. Naura ingin marah! Ingin melempar
cangkir! Ingin berteriak! Ingin menagih semua luka! Tapi hatinya mendadak
dingin. Apa gunanya? Waktu sudah terlalu jauh. Luka sudah terlalu dalam. Yang
tersisa hanya ruang asing bercampur lega aneh.
“Aku tidak menunggu penyesalanmu, Rizal.” Suaranya tenang.
Tapi matanya bergetar. “Aku sudah berjalan jauh. Aku sudah menemukan diriku
sendiri.”
Rizal menunduk. Bahunya jatuh. Matanya basah. “Tapi aku
harus katakan. Kalau tidak, aku tidak bisa tidur tenang.”
Naura tersenyum samar. Ingatan menyerbu. Malam-malam hancur.
Malam melihat foto Rizal dengan perempuan lain. Malam tubuhnya gemetar, muntah,
menolak kenyataan. Malam ia menatap pisau dapur, hampir menyerah. Semua luka
itu seperti kelopak mawar terkoyak. Indah bagi orang luar. Berdarah bagi
pemiliknya.
Namun koyakan itu melahirkan dirinya yang baru.
“Aku bangkit, Rizal.” Nadanya tajam. “Aku belajar hidup
tidak berhenti hanya karena kau menghancurkanku. Aku menemukan kebahagiaan
lain. Aku menemukan kekuatanku.”
Rizal terdiam. Tatapannya basah. “Aku bangga padamu. Kau
lebih kuat. Lebih bijak dari dulu.”
Naura tersenyum. Kali ini tulus. Dendamnya sudah mati. Luka
masih ada. Tapi kini ia hanyalah tanda. Tanda yang membuatnya lebih indah.
Percakapan mengalir. Tentang salah. Tentang jatuh. Tentang
bagaimana manusia bisa hancur, lalu tumbuh kembali.
Waktu berlari. Mereka berdiri. Siap berpisah. Rizal
mengulurkan tangan. “Maafkan aku, Naura. Atas semua luka yang kubuat.”
Naura menatap lama. Lalu menggenggam tangan itu. Senyumnya
lembut. Suaranya jernih. “Aku sudah memaafkanmu, Rizal. Semua orang bisa salah.
Yang penting kita tumbuh dari kesalahan itu.”
Senyum mereka bertemu. Bukan senyum kekasih. Bukan senyum
musuh. Tapi senyum manusia. Dua manusia yang sama-sama belajar dari luka.
Naura melangkah keluar. Hujan masih deras. Jalanan basah
berkilau. Angin membawa aroma tanah basah. Dunia seakan memberi isyarat: buku
lama sudah waktunya ditutup.
Naura merasakan damai. Ia tahu. Kelopak mawar hatinya pernah
terkoyak. Tapi dari koyakan itu, ia lahir kembali. Lebih indah. Lebih hidup.
Dan di setiap langkahnya, satu keyakinan menyala: di balik luka, selalu ada
bahagia yang menunggu.
Jakarta, Januari 2025