Tetes Embun yang Perlahan Turun di Katedral - Cerpen Rangkaya Bada

 

Cerpen Rangkaya Bada
Cinta dua remaja yang kemudian jadi pastor dan suster, tertambat cinta Tuhan untuk pengabdian. Ist.

Di meja makan rumah besar itu, selalu ada dua suara.

Satu mengalir deras seperti gemericik gelas kristal: angka-angka, bunga deposito, rencana tanah yang baru dibeli.

Satu lagi terdengar lirih dari ruang kerja di ujung koridor: denting rosario, bisikan doa, dan salib kayu yang sederhana.

Bram kecil duduk di antara keduanya. Sendok di tangan kanannya berhenti di udara, telinga kirinya condong pada riuh kalkulator, telinga kanannya condong pada ayat Mazmur.

Kadang ia merasa seperti celengan tanah liat, dipukul-pukul dari dua sisi.
Dan setiap retakan kecil di tubuhnya, justru menyalakan satu tanya: kelak siapa yang akan memecahkannya? Tuhan, atau ibunya?

***

Hari itu Katedral Jakarta sesak.

Bangku-bangku kayu dipenuhi wajah muda yang masih bau seragam. Laki-laki dari sekolah Bram berderet rapi, putih abu-abu seperti dinding yang terlalu kokoh. Dari sisi lain, gadis-gadis Santa Ursula duduk berkelompok, wajahnya teduh, mata mereka sesekali berkilat seperti lilin yang baru dinyalakan.

Bram berusaha menunduk, tapi matanya terseret oleh satu pandangan. Singkat, hanya sekelebat. Namun cukup untuk membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Seperti lonceng misa yang berdentang terlalu cepat.

Ia mencoba mengalihkan pandangan ke altar. Asap dupa naik perlahan, seolah membawa rahasia ke langit-langit gereja. Kata-kata imam menggema, In nomine Patris et Filii et Spiritus Sancti...”
Namun di sela gema doa, wajah gadis itu tetap melekat, seakan ikut termaktub dalam kitab suci.

Rosario di sakunya bergetar. Bram meraihnya diam-diam, menggenggam erat. Jemarinya berdoa, sementara matanya mengkhianati.
Cinta pertama menyelinap, justru di rumah doa.

Dan sejak misa itu, setiap Jumat siang Bram pulang lebih lambat. Ia singgah ke Gua Maria, mendaraskan doa pelan-pelan. Satu Ave Maria untuk Tuhan, satu kerinduan untuk gadis itu. Dua api yang membakar dada, tak tahu mana yang akan padam lebih dulu.

***

SMA Katolik di pusat Jakarta. Hanya laki-laki. Sunyi, seperti biara yang kehilangan doa.
Namun di Katedral, pada Misa pembukaan tahun ajaran, Bram menangkap wajah lain.
Seorang gadis Santa Ursula. Sekejap saja. Tatap mata. Senyum tipis. Dunia retak.

Jumat siang selalu punya rahasia. Entah mengapa sejak misa bersama di katedral yang agung itu.
Bram menepi ke Gua Maria.
Rosario di tangannya bergerak pelan.
Satu Ave Maria untuk Tuhan. Satu detak jantung untuk gadis itu.
Tubuhnya bergejolak, jiwanya merintih.
Doa berubah jadi pertempuran.

Suatu malam, Bram berkata lirih pada ayahnya:
“Saya ingin masuk seminari.”

Ayahnya diam. Anggukan kecil.
Tapi ibunya meledak.
“Kamu bukan dilahirkan untuk hidup miskin, berlumur keringat umat kampung. Kamu harus jadi bankir. Harus!”

Kata harus itu menjerat Bram seperti borgol.
Ia menyerah. Demi ibunya.
Kuliah perbankan. Lulus cepat.
Naik pangkat: kepala seksi, kepala cabang.
Gaji, mobil, nama harum.
Namun setiap kali pulang, di ruang tamu hatinya selalu ada kursi kosong.

***

Suatu malam, tatapan Bram menembus ibunya.
Tatapan seorang anak yang hampir patah.
“Bu, kalau saya tetap di bank, saya akan mati pelan-pelan. Biarlah aku miskin, biarlah aku hilang jabatan. Tapi kalau aku tidak jadi imam, aku kehilangan diriku.”

Ibunya terdiam. Wajahnya retak. Air mata jatuh, menodai meja makan yang dulu selalu penuh hidangan.
“Kalau itu jalanmu... pergilah. Tapi jangan pernah kembali untuk menyesal.”

***

Bram masuk Seminari dengan langkah ragu yang disembunyikan di balik senyum. 

Di asrama yang sunyi, di antara lonceng doa dan aroma kayu tua, ia mulai belajar arti kata “menyerahkan diri.” Orientasi bukan sekadar mengenalkan aturan, tapi ujian batin: mampukah ia tidur dalam kesederhanaan, makan dengan apa adanya, dan tetap bersyukur ketika semua yang ia inginkan dipangkas oleh disiplin?

Hari-hari itu mengajarinya bahwa panggilan bukanlah mimpi indah, melainkan jalan penuh batu kecil yang menusuk kaki. Namun setiap luka kecil itu justru menguatkannya. Ia merasa, semakin ia kalah dari kenyamanan, semakin ia menang atas dirinya sendiri.

Lalu tibalah saat ia menapakkan kaki di Girsonta untuk masa novisiat. Udara pagi di sana menusuk kulit, dingin tapi jernih. Di keheningan itu, Bram belajar menata detak jantungnya sendiri. Ia belajar diam. Ia belajar menunggu. Ia belajar bahwa Tuhan tidak selalu menjawab dengan suara, tapi sering hanya dengan hening yang panjang.

Di novisiat, ia menulis puisi-puisi pendek yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Bukan puisi cinta kepada gadis, melainkan kepada waktu, kepada sunyi, kepada daun yang jatuh tanpa suara. Semua itu diam-diam menjadi kitab kedua baginya, kitab yang mengajarinya memahami kehidupan lewat simbol-simbol kecil.

Setelah itu, ia melangkah ke perkuliahan filsafat. Di sana, logika beradu dengan iman. Setiap hari ia harus menjawab pertanyaan yang tak pernah selesai: apakah Tuhan bisa dibuktikan? Apakah kebebasan manusia hanyalah ilusi? Bram terkadang pusing, tapi ia juga merasa otaknya dibakar menjadi bara. Bara yang membuatnya semakin yakin bahwa iman justru menjadi terang ketika diuji oleh akal.

Kemudian ia naik ke tingkat berikutnya: teologi. Di kelas-kelasnya, kata “cinta” dan “pengorbanan” tidak lagi sekadar istilah, melainkan jantung dari semua diskusi. Ia belajar menafsirkan Kitab Suci bukan hanya sebagai teks, melainkan sebagai napas. Ia belajar bahwa Yesus tidak hanya hadir di altar, tapi juga di wajah petani, nelayan, anak kecil yang lapar.

Dasar otaknya memang pemberian dari atas. Ia menyerap semua pelajaran dengan cepat, bukan untuk kebanggaan, melainkan karena hatinya haus. Setiap ujian ia jalani dengan kesungguhan, dan ia lulus tepat waktu dengan pujian. Namun di balik itu, ia tahu bahwa nilai hanyalah angka. Yang penting bukan gelar, melainkan kesediaan untuk mencintai sampai habis.

Tahun-tahun panjang itu menjelma seperti musim yang silih berganti. Dari musim semangat remaja, ke musim pencarian diri, lalu ke musim kedewasaan yang menuntut pengorbanan. Semua musim itu membentuk Bram menjadi lebih dari sekadar seorang sarjana: ia menjadi pribadi yang ditempa oleh doa, kerja, dan air mata.

Dan tibalah yang dinanti-nanti: tahbisan imam. Hari itu langit terasa lebih terang dari biasanya. Bram melangkah ke altar dengan napas tertahan. Ia sadar, seluruh perjalanan hidupnya, dari seminari hingga ruang kuliah, hanyalah prolog. Sekarang bab utama dimulai.

Ketika tangan uskup menyentuh kepalanya, ia merasa bumi seakan diam sejenak. Suara ibu, wajah para formator, keringat sahabat-sahabat seperjuangan, semua hadir dalam ingatan. Ia tidak lagi Bram yang dulu. Ia kini Pastor Bram, seorang lelaki biasa yang diberi tugas luar biasa: menjadi jembatan antara manusia dan langit.

Momen itu membuatnya gemetar, bukan karena takut, tetapi karena kagum. Seluruh dirinya, dari rambut sampai telapak kaki, kini menjadi milik Tuhan. Ia tahu, perjalanan masih panjang. Namun satu hal pasti: cintanya kini telah menemukan rumahnya.

Bram duduk di kursi barisan depan, jubah putihnya menyala di bawah cahaya lilin yang bergetar. Di sekelilingnya, dunia seperti berhenti bernafas. Hari ini, bukan lagi sekadar hari Minggu. Hari ini, waktu yang tak akan kembali: ia ditahbiskan.

Ketika namanya dipanggil, Bram melangkah. Setiap langkah seakan menembus lapisan mimpi yang selama ini menggodanya. Semarang, tanah perutusannya nanti, sudah menunggu di balik bayangan, tapi sekarang ia hanya ingin mendengar gema suci yang memenuhi dinding katedral.

Saat tangan uskup menyentuh kepalanya, dunia runtuh dalam keheningan. Hanya doa yang menggema. Bram bukan lagi sekadar Bram. Ia kini Pastor Bram. Ia tidak tahu apakah tubuhnya ringan atau terlalu berat, karena semua terasa melayang di antara bumi dan langit.

Usai upacara, ibunya memeluknya. Tangis pecah. Tangis bahagia yang tak mengenal bahasa. “Tak pernah mama sebahagia ini, Nak!” ucapnya, dan kalimat itu mengalir seperti doa yang lebih kudus dari kitab manapun.

Bram hanya tersenyum, tapi di dalam dirinya ada sebuah gempa. Betapa cinta seorang ibu sanggup melampaui logika, bahkan melampaui kebanggaan. Di mata ibunya, ia lebih berharga daripada bongkahan emas di atas Monas. Emas hanya berkilau, tapi doa seorang imam membuat jiwa bergetar.

Postur Bram tegak, wajahnya teduh, tangannya putih bersih waktu mengangkat piala. Orang-orang di bangku umat memandanginya dengan takzim. Ada yang berdoa dengan mata terpejam, ada pula yang meneteskan air mata tanpa sadar.

Tetapi Bram tahu, imamat bukan sekadar pakaian dan upacara. Ini adalah janji panjang. Janji yang mengikatnya, bukan dengan rantai, melainkan dengan cinta yang menuntut seluruh hidupnya. Ia tersenyum getir: cinta itu sekaligus indah dan menakutkan.

Malam itu, sebelum tidur, Bram teringat masa remajanya. Pernah ia jatuh cinta. Pernah ia menulis puisi untuk seorang gadis yang kini sudah menjadi istri orang. Tetapi ia menghapus semua itu dengan doa panjang. Ia sadar, cinta manusia tidak pernah hilang, hanya dialihkan.

Dan kini, cintanya bukan lagi untuk seorang gadis, melainkan untuk umat, untuk kota Semarang yang belum dikenalnya. Ia seperti seorang peziarah yang dipanggil untuk mencintai tanpa syarat, mencintai tanpa memiliki, mencintai tanpa meminta balas.

Di kamar kecilnya, Bram menatap salib di dinding. Ia berbisik pada Tuhan: “Apakah aku siap?” Pertanyaan itu seperti bayangan yang tak pernah pergi. Namun ia tahu, Tuhan tak menuntut jawaban pasti, hanya kesediaan untuk melangkah.

Esok hari, ketika kereta menuju Semarang mulai bergerak, Bram menatap jendela. Di luar, sawah berlari mundur, langit berubah-ubah warnanya. Ia merasa seperti setetes embun yang jatuh dari langit, kecil tapi murni. Dan mungkin, justru karena kecil itulah, ia bisa menyentuh bumi dengan cinta yang tak terukur.

***

Hari pertama, selepas misa sore, Bram melihat wajah yang pernah ia simpan dalam rosarionya.

Mata itu. Senyum itu.
Tapi kini tertutup kerudung putih. Seorang suster.

“Kamu?”
“Kamu?”

Agnes. Bram. 

Tawa mereka pecah, getir.
“Kenapa kamu jadi pastor?”
“Kenapa kamu jadi suster?”

Malam itu, Bram tak bisa tidur.
Ia tahu, cinta itu tidak pernah padam. Hanya berganti wajah.
Dulu cinta ingin menggenggam. Kini cinta ingin menyerahkan.
Dulu cinta ingin memiliki. Kini cinta ingin mengabdi.

Namun ia bertanya dalam hatinya: bisakah manusia sungguh ikhlas?
Ia menggigil.
Suara ibunya terngiang lagi: “Kamu harus jadi bankir!”

Dan ia sadar. Ya, ia tetap bankir.
Hanya saja tabungannya bukan uang.
Ia menabung luka. Menabung rindu. Menabung doa.
Menabung sampai penuh, lalu menyerahkannya untuk umat, untuk Tuhan.

***

Malam gelap.

Gulita membekap cahaya. Tapi ada api memantik menyalakan jiwanya.

Ruang doa kecil. Salib di hadapannya diam.
Bram berbisik:
“Tuhan, aku sudah memilih-Mu. Tapi izinkan aku tetap merindukannya. Sebab tanpa rindu, imanku hanyalah kas kosong yang digedor-gedor waktu.”

Salib tak menjawab.
Namun dalam diam itu, Bram merasa: tabungannya akhirnya lunas.

 Jakarta ketika subuh jatuh, 27 September 2025

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org