Paus Uskup Roma Secara Otomatis
Paus otomatis uskup Roma: fondasi yang mengikat universalitas Gereja Katolik dengan akar lokalnya di Roma. Ist. |
Oleh Navas Iman
Setiap kali seorang kardinal terpilih sebagai Paus dalam
konklaf, dunia segera mendengar seruan klasik: Habemus Papam!: Kita
(telah) punya Paus!
Sejak saat itu, tanpa prosesi tambahan yang rumit, ia
otomatis juga menjadi Uskup Roma. Tak ada syarat tahbisan baru, asalkan ia
sudah seorang uskup. Tradisi ini bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi
yang mengikat universalitas Gereja Katolik dengan akar lokalnya di Roma.
Bagi Gereja, Paus bukan hanya pemimpin global, melainkan
juga gembala sebuah keuskupan nyata: Roma, kota yang pernah menjadi pusat
kekaisaran dunia.
Dari sanalah ia memimpin, dengan warisan Petrus yang diyakini sebagai uskup pertama Roma. Menyusuri jejak historis dan teologisnya, kita menemukan lapisan-lapisan yang membentuk wajah Gereja Katolik hingga kini.
Jejak Petrus di Kota Abadi
Kitab Suci memang tak pernah menyebut Petrus secara
eksplisit sebagai “uskup Roma.” Namun, narasi Perjanjian Baru memberi petunjuk
kuat: Yesus menyerahkan kunci Kerajaan Surga kepadanya (Mat 16:18-19)¹ dan
memerintahkan agar ia menggembalakan domba-domba Kristus (Yoh 21:15-17)².
Sejak abad ke-2, tokoh Gereja awal seperti Ireneus dari Lyon
menulis bahwa Petrus dan Paulus mendirikan Gereja di Roma³.
Petrus, menurut tradisi, wafat sebagai martir di sana
sekitar tahun 64 M. Penulis Gereja abad ke-4, Eusebius dari Kaisarea, bahkan
menyebut Petrus memimpin komunitas Kristen Roma selama seperempat abad⁴.
Kota Roma sendiri memberi panggung historis yang unik. Setelah keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat, Uskup Roma tampil bukan hanya sebagai pemimpin rohani, tetapi juga tokoh sipil. Sosok seperti Paus Leo Agung (abad ke-5) dikenang karena berani menghadapi Attila si Hun. Perlahan tapi pasti, sebutan “papa” atau Paus dilekatkan khusus pada uskup Roma, menegaskan peran yang semakin istimewa.
Hukum Kanonik: Satu Kursi, Dua Dimensi
Kode Hukum Kanonik 1983 mengatur hal ini dengan lugas. Kanon
332 §1 menyebutkan: Paus Roma memperoleh kuasa penuh begitu ia menerima
pemilihan sah dan memiliki tahbisan episkopal⁵. Artinya, jika terpilih seorang
kardinal yang sudah uskup, secara otomatis ia sekaligus menjadi Uskup Roma.
Kanon 331–333 menegaskan wajah ganda jabatan ini: lokal dan universal. Sebagai Uskup Roma, ia memimpin komunitas kota tertentu. Tetapi sebagai penerus Petrus, ia juga menjadi kepala Gereja sedunia. Maka tidak mengherankan bila setelah pemilihan, Paus yang baru akan mengambil katedralnya bukan di Basilika Santo Petrus, melainkan di Basilika Lateran, “ibu dan kepala semua gereja”⁶. Dari sana, simbol persatuan itu dipelihara.
Kasus Langka: Paus yang Bukan Uskup
Sejarah mengenal sejumlah pengecualian menarik. Celestinus
V, yang terpilih pada 1294, hanyalah seorang pertapa yang belum uskup. Ia
ditahbiskan segera setelah terpilih, lalu mengundurkan diri hanya lima bulan
kemudian. Gregorius XVI pada abad ke-19 juga terpilih saat masih imam, sehingga
ia pun segera ditahbiskan. Bahkan, Leo X dari keluarga Medici, pada 1513,
sempat naik ke takhta Petrus saat masih diakon⁷.
Meski demikian, sejak abad ke-20, hampir semua kardinal yang
ikut memilih sudah ditahbiskan sebagai uskup. Praktik ini membuat peralihan ke
kursi Paus nyaris selalu otomatis tanpa drama tambahan. Namun, kisah-kisah
historis tadi menunjukkan bahwa Gereja memberi ruang fleksibilitas, sejauh
syarat episkopal segera dipenuhi.
Primasi Roma: Dari Konsili ke Konsili
Konsili Vatikan I pada 1870, lewat dokumen Pastor
Aeternus, menegaskan primasi Paus. Ia disebut “prinsip dan fondasi yang
terlihat dari kesatuan umat beriman”⁸. Bahkan, ketika berbicara ex cathedra
tentang iman dan moral, Paus diyakini tak mungkin salah (infallibilitas).
Satu abad kemudian, Konsili Vatikan II memperluas
perspektif. Lumen Gentium menekankan kolegialitas: Paus adalah kepala
Kolegium Uskup, tetapi selalu dalam kebersamaan dengan para uskup lain. Gereja
digambarkan bukan hanya piramida dengan satu puncak, melainkan juga jaringan
gembala yang saling berkomuni. Namun, primasi Roma tetap teguh, menjamin
kesatuan di tengah keragaman⁹.
Relevansi Hari Ini
Dalam praktik modern, Paus sering tak bisa mengurusi detail
pastoral Roma sehari-hari. Maka ia menunjuk vikaris jenderal untuk menjalankan
fungsi itu. Namun, Paus kerap menegaskan identitasnya sebagai Uskup Roma:
sebuah penanda bahwa universalitas Gereja selalu bertolak dari lokalitas
konkret.
Paus Fransiskus, misalnya, kerap menyinggung “umat Roma” dalam pidatonya, seakan mengingatkan dunia bahwa jabatannya tak melayang di awang-awang global, melainkan berpijak pada sebuah keuskupan nyata. Ada keindahan teologis di sana: Kristus yang universal hadir dalam rupa yang lokal.
Otomatisnya jabatan Paus sebagai Uskup Roma
Otomatisnya jabatan Paus sebagai Uskup Roma adalah simpul
yang mengikat dua dimensi Gereja: lokal dan universal, historis dan transenden,
pastoral dan teologis. Dari Basilika Lateran hingga balkon Basilika Santo
Petrus, dari Petrus hingga Fransiskus, garis itu tetap utuh.
Gereja Katolik memandangnya bukan sekadar tradisi, melainkan bagian dari jantung identitas: satu, kudus, katolik, dan apostolik. Seorang Paus mungkin memimpin dunia, tetapi ia selalu, dan pertama-tama, adalah Uskup Roma.
Catatan Kaki
- Injil
Matius 16:18-19: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku
akan mendirikan Gereja-Ku; kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga.”
- Injil
Yohanes 21:15-17: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
- Ireneus
dari Lyon, Against Heresies III,3,2 (abad ke-2).
- Eusebius,
Church History II,25 (abad ke-4).
- Kode
Hukum Kanonik (1983), Kanon 332 §1: “Jika Paus Roma yang dipilih telah
menerima tahbisan episkopal, ia ipso iure memperoleh kuasa penuh dan
tertinggi di dalam Gereja.”
- Basilika
Lateran, didedikasikan pada tahun 324 M, disebut “Omnium urbis et orbis
ecclesiarum mater et caput” (“ibu dan kepala semua gereja di kota dan
dunia”).
- National
Catholic Register, “Surprising Firsts (and Lasts) in Papal-Election
History.”
- Konsili
Vatikan I, Pastor Aeternus (1870), bab 4: “Paus Roma memiliki
primasi yurisdiksi yang sejati, tertinggi, dan penuh atas seluruh Gereja.”
- Konsili
Vatikan II, Lumen Gentium (1964), no. 22: “Kolegium para Uskup
bersama kepala mereka, Paus Roma, dan tidak pernah tanpa kepala mereka,
menjadi subjek kekuasaan penuh dan tertinggi atas Gereja semesta.”