Gereja Katolik yang Satu dan Kokoh sebagai Institusi Rohani

Gereja Katolik yang Kokoh sebagai Institusi Rohani
Gereja Katolik hidup dengan keyakinan bahwa ia berdiri di atas janji Kristus: kokoh dan satu sepanjang zaman. Ist.

Oleh Teguh Imanqu

Sejak awal kelahirannya, Gereja Katolik hidup dengan keyakinan bahwa ia berdiri di atas janji Kristus: “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18).

Janji ini bukan sekadar pernyataan puitis, melainkan fondasi rohani yang menopang perjalanan Gereja sepanjang abad.

Di bawah bayang-bayang kekaisaran Romawi, ketika penganiayaan berlangsung kejam dan ribuan martir berjatuhan, Gereja tidak sirna. Sebaliknya, darah para martir justru menjadi benih iman baru.

Dalam sejarah kemudian, Gereja menghadapi beragam badai: runtuhnya peradaban Romawi, munculnya kerajaan-kerajaan barbar, hingga pergeseran besar akibat modernitas. Namun, janji Kristus yang menjaga Gereja tetap utuh.

Tantangan dari luar, baik berupa kekerasan, ideologi, maupun tekanan budaya, tidak pernah berhasil merobohkannya. Kekokohan itu bukan karena kekuatan duniawi, melainkan karena Gereja adalah institusi rohani yang berakar pada Kristus.

Institusi Rohani yang Tahan Uji

Kekuatan Gereja bukanlah soal jumlah pengikut, kekuasaan politik, atau harta duniawi. Justru, daya tahan Gereja tampak saat ia kehilangan semua itu namun tetap bertahan.

Scott Hahn menyebut Gereja sebagai “keluarga Allah” yang disatukan oleh janji kasih Allah, bukan oleh kontrak manusia. Inilah yang membuatnya tahan terhadap perpecahan besar sekalipun. 

Joseph Ratzinger menambahkan bahwa Gereja selalu membawa sifat paradoks: ia kudus karena bersatu dengan Kristus, namun rapuh karena dihuni manusia yang lemah. Namun kerentanan manusiawi ini tidak menghancurkan Gereja sepenuhnya, sebab Roh Kudus tetap menjadi penuntun yang menjaga agar Gereja tidak pernah runtuh.

Bukti historis bertebaran. Skisma Timur–Barat pada tahun 1054 memisahkan Roma dan Konstantinopel, namun Gereja Katolik tetap berdiri dengan pusat di Roma. Skisma Barat pada abad ke-14, ketika terdapat lebih dari satu klaim kepausan, memang melukai kepercayaan umat, tetapi akhirnya diatasi melalui Konsili Konstans.

Reformasi abad ke-16 melahirkan berbagai denominasi Kristen, tetapi di dalam krisis itu pula Gereja menemukan kembali pijakan rohaninya lewat Konsili Trente, yang menegaskan kembali ajaran iman, memperbarui liturgi, dan membangun disiplin rohani bagi para imam. Semua ini memperlihatkan bahwa setiap kali retakan terjadi, Gereja justru menemukan kekuatan untuk memperbarui diri.Gereja yang Berziarah dalam Sejarah
Tradisi Katolik menggambarkan dirinya sebagai ecclesia peregrinans, Gereja yang sedang berziarah. Kata ini mengandung makna bahwa Gereja belum sampai pada kepenuhannya, melainkan terus berjalan melewati jalan sejarah manusia yang penuh gelombang. Dalam peziarahan ini, Gereja memikul luka, tetapi juga mengalami pembaruan.

Konsili Vatikan II menjadi contoh nyata dari semangat peziarahan itu. Alih-alih terjebak dalam nostalgia masa lalu atau menolak perubahan dunia modern, konsili ini membuka diri terhadap dialog dengan zaman, tanpa kehilangan identitas iman. 

Liturgi diperbarui agar lebih dekat dengan umat, ajaran tentang kebebasan beragama ditegaskan, dan hubungan dengan saudara-saudara seiman dari tradisi lain dipererat. Semua ini adalah bukti bahwa Gereja tidak statis, melainkan bergerak dalam sejarah, selalu mencari cara untuk tetap setia pada Kristus sambil hadir dalam dunia yang berubah.

Ratzinger, yang kelak menjadi Paus Benediktus XVI, mengingatkan bahwa kesetiaan pada iman tidak berarti menutup diri dari perubahan, melainkan berjalan dengan hati-hati agar pembaruan tidak menghapus akar iman. Itulah ciri khas Gereja yang berziarah: ia berubah tanpa kehilangan arah, ia terluka tanpa kehilangan harapan.

Ilustrasi dari Kehidupan Nyata

Kekokohan Gereja sebagai institusi rohani tidak hanya tampak dalam catatan sejarah besar, tetapi juga dalam kisah-kisah kecil kehidupan umat. Bayangkan sebuah paroki di pedalaman yang sederhana. 

Gereja di sana mungkin hanya berupa bangunan kayu, dengan umat yang tidak banyak dan imam yang datang hanya sebulan sekali. Namun, setiap Minggu, umat berkumpul, mendaraskan doa Rosario, membaca Kitab Suci, dan bernyanyi bersama. Tidak ada kemegahan, tidak ada dukungan politik, namun di dalam kesederhanaan itu Gereja hidup.

Kisah seperti ini berulang di banyak tempat di dunia: di komunitas Katolik Tiongkok yang beribadah diam-diam, di Afrika yang masih berjuang dengan konflik, atau di Amerika Latin di tengah ketidakadilan sosial. Gereja tetap ada karena bukan kekuatan duniawi yang menjaganya, melainkan Roh Kudus yang terus menyala di hati umat. Inilah wajah Gereja yang berziarah: sederhana, rapuh, namun tak tergoyahkan.

Seruan untuk Menghidupi Kesatuan

Ungkapan bahwa Gereja hanya dapat terguncang dari dalam lebih tepat dipahami sebagai seruan iman. Ia mengingatkan bahwa kesatuan Gereja bukanlah sesuatu yang sudah selesai, melainkan harus terus dipelihara. Pecah dari dalam berarti bahwa ancaman terbesar datang dari sikap umat sendiri: relativisme iman, kurangnya kesetiaan, atau konflik internal yang tak terselesaikan.

Namun, janji Kristus tetap meneguhkan: Gereja tidak akan ditinggalkan. Sejarah membuktikan bahwa setiap kali krisis datang, selalu ada panggilan untuk kembali kepada sumber iman. 

Konsili Trente dan Konsili Vatikan II menjadi tonggak bahwa Gereja mampu memperbarui diri tanpa kehilangan identitasnya. Dengan demikian, kekokohan Gereja tidak berarti tanpa luka, melainkan kekuatan untuk selalu bangkit dari luka.

Gereja yang Kokoh dalam Peziarahan

Pada akhirnya, Gereja Katolik kokoh bukan karena ia sempurna, melainkan karena ia disertai Kristus yang setia. Sebagai ecclesia peregrinans, Gereja akan terus berjalan melewati zaman, menghadapi tantangan, dan merasakan luka. Namun ia juga akan selalu menemukan pembaruan, karena Roh Kudus bekerja di dalamnya.

Ungkapan bahwa Gereja hanya dapat pecah dari dalam sejatinya adalah panggilan bagi umat untuk menjaga kesetiaan. Gereja tidak roboh oleh ancaman luar, melainkan terguncang jika umat sendiri lalai menjaga kasih. 

Maka kekokohan Gereja tidak hanya terlihat dalam basilika megah atau dokumen resmi, melainkan dalam kesetiaan sederhana umat yang berkumpul, berdoa, dan melayani. Itulah kekuatan sejati Gereja: kokoh sebagai institusi rohani yang berjalan dalam sejarah, menuju kepenuhan di dalam Kristus.

Daftar Pustaka

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org