Gregor Mendel: Dari Kebun Biara ke Peta Genom
Gregor Mendel satu dari sekian banyak imuwan Gereja. Ist. |
Oleh Sr. Felicia Tesalonika
Nama Johann Gregor Mendel (1822–1884) selalu muncul di buku
biologi modern sebagai “Bapak Genetika.”
Namun di luar dunia sains, ia adalah seorang biarawan
Katolik dari Ordo Augustinian yang menjabat abbas biara Santo Thomas di Brno,
Moravia. Mendel kerap keliru disebut “uskup,” padahal sebenarnya seorang kepala
biara; pemimpin komunitas religius yang memadukan doa, disiplin rohani, dan
kehidupan intelektual.
Mendel lahir dari keluarga petani sederhana di Silesia (kini
Republik Ceko). Ia tumbuh di tengah keterbatasan ekonomi, tetapi biara membuka
jalan: menyediakan ruang belajar, perpustakaan, sekaligus jejaring sosial yang
memungkinkan akses ke universitas. Memasuki biara bukan hanya langkah iman,
tetapi juga pilihan realistis bagi seorang anak petani yang haus ilmu.
Di Biara Santo Thomas, Mendel menemukan sesuatu yang tak
biasa: sebuah komunitas religius yang sekaligus menjadi pusat pengetahuan.
Perpustakaannya kaya dengan buku matematika, botani, hingga karya Newton dan
Darwin yang kala itu ramai diperbincangkan.
Mendel melanjutkan studi ke Universitas Olomouc lalu Wina.
Di sana ia belajar dari Christian Doppler (penemu Efek Doppler) dan Franz Unger
(ahli botani), yang mengenalkannya pada metode kuantitatif dalam biologi.
Namun jalannya tak selalu mulus. Ia gagal ujian sertifikasi
guru, bahkan jatuh sakit akibat kecemasan. Tetapi kegagalan itu justru
mengembalikannya ke biara, tempat ia menemukan kebebasan menanam, menghitung,
dan merenung.
Pada 1868, ketika terpilih menjadi abbas, tanggung jawab
administratif membuat risetnya meredup. Ironisnya, dunia justru mengenalnya
jauh lebih lama setelah ia wafat, bukan sebagai abbas, melainkan sebagai bapak
genetika.
Kacang Polong yang Mengubah Dunia
Mari membayangkan halaman biara Brno pertengahan abad ke-19:
sebidang kebun sederhana, tanpa mikroskop canggih, hanya barisan kacang polong
hijau. Dari tanah sunyi inilah lahir teori yang mengubah biologi.
Sejak 1856 hingga 1863, Mendel menanam sekitar 28.000
tanaman kacang polong (Pisum sativum). Ia memilih tanaman ini karena
praktis: mudah tumbuh, siklus hidup singkat, dan memiliki ciri fisik yang jelas:
biji bulat atau keriput, bunga ungu atau putih, batang tinggi atau pendek.
Tidak seperti naturalis lain yang cenderung mendeskripsikan, Mendel
bereksperimen seperti matematikawan. Ia memusatkan perhatian pada satu sifat
dalam setiap persilangan, menghitung jumlah keturunan, lalu menyusun tabel.
Hasilnya mencengangkan. Ia menemukan bahwa sifat dominan
selalu muncul di generasi pertama, sementara sifat resesif muncul kembali di
generasi kedua dengan pola 3:1. Pada persilangan dua sifat sekaligus, polanya
menjadi 9:3:3:1.
Dari kebun sederhana itu, ia melihat bahwa pewarisan sifat
mengikuti aturan pasti, bukan sekadar kebetulan.
Makalahnya berjudul Versuche über Pflanzen-Hybriden
(“Eksperimen tentang Hibridisasi Tanaman”) dipresentasikan pada 1865. Namun
gaungnya sepi. Teori warisan campuran (blending inheritance) masih kuat,
sementara Darwin sendiri belum tahu mekanisme variasi yang menopang evolusi.
Selama 35 tahun, karya Mendel hanya dikutip tiga kali. Dunia baru sadar setelah
ia tiada.
Dari Hukum Mendel ke DNA
Eksperimen kacang polong itu melahirkan tiga hukum
fundamental. Pertama, hukum dominansi: sifat dominan menutupi sifat
resesif. Kedua, hukum segregasi: alel berpisah saat pembentukan gamet,
sehingga tiap keturunan hanya menerima satu dari tiap pasangan. Ketiga, hukum
asortmen independen: alel untuk sifat berbeda diwariskan secara bebas,
memungkinkan kombinasi baru.
Mendel menyebut unit pewarisan itu “faktor.” Ia tak tahu
bahwa faktor itu kelak bernama gen. Baru pada 1909 Wilhelm Johannsen
memperkenalkan istilah “gen.” Seiring waktu, biologi molekuler mengoreksi:
tidak semua sifat tunduk pada dominansi sederhana. Ada kodominansi, dominansi
tak sempurna, epistasis, hingga pewarisan poligenik. Namun prinsip dasar Mendel
tetap menjadi fondasi genetika.
Seabad lebih kemudian, prinsip itu terbukti dalam penemuan
golongan darah ABO oleh Karl Landsteiner. Sistem golongan darah sepenuhnya
mengikuti hukum Mendel: A dan B bersifat kodominan, O resesif. Contoh
sederhana: dua orangtua bergolongan darah AB tak mungkin punya anak bergolongan
darah O. Logika pewarisan ini masih dipakai dalam tes paternitas hingga
forensik DNA.
Setelah Friedrich Miescher menemukan DNA pada 1869, butuh
hampir satu abad untuk memahami perannya. Puncaknya pada 1953, ketika James
Watson dan Francis Crick, dengan data kunci Rosalind Franklin, merumuskan model
heliks ganda DNA. Sejak itu genetika molekuler berkembang pesat: dari terapi
gen, pemetaan genom manusia, hingga teknologi CRISPR yang memungkinkan
penyuntingan DNA.
Namun jika ditarik mundur, semua bermula dari kebun biara
Brno. Benih kacang polong yang ditanam Mendel menjadi akar bagi revolusi
biologi modern.
Ironi dan Warisan Seorang Abbas
Sejarah sains penuh ironi. Mendel, seorang biarawan yang
setia pada doa dan disiplin religius, justru dikenang bukan karena perannya
sebagai abbas, melainkan karena percobaan kebun yang lama diabaikan. Selama
hidup, ia dikenal lebih banyak sebagai pemimpin biara ketimbang ilmuwan. Tetapi
setelah kematiannya pada 1884, eksperimen kacang polong itu menjadi tonggak
integrasi genetika dengan teori evolusi Darwin—lahirlah Sintesis Modern biologi
abad ke-20.
Hari ini, hukum Mendel masuk ke ruang kelas, laboratorium
forensik, rumah sakit, bahkan ruang sidang pengadilan. Dari soal warisan warna
mata hingga penentuan garis keturunan kriminal, semua berutang pada prinsip
pewarisan Mendel.
Bayangkan seandainya Mendel bisa melihat ke abad ke-21:
terapi gen untuk penyakit langka, peta genom manusia, teknologi CRISPR yang
bisa “menulis ulang” DNA. Dari kacang polong sederhana, manusia kini bicara
tentang desain bayi, etika bioteknologi, hingga kemungkinan menghapus penyakit
genetik.
Namun di balik semua itu, kisah Mendel memberi pelajaran
lain: ilmu tidak selalu lahir di laboratorium megah, melainkan bisa tumbuh dari
kebun kecil, dari ketekunan seorang biarawan yang menanam, menghitung, dan
percaya pada keteraturan alam. Bahwa di balik setiap helai daun, ada hukum yang
bisa dipahami. Bahwa dari keheningan biara, lahir peta genetika umat manusia.
Referensi
https://3seaseurope.com/gregor-mendel-monk-laws-of-genetics/
Revealing The Algorithm of Life: Golongan Darah sebagai Denah Awal. (2025)