Nindy dan Yesus yang tak Berubah - Cerpen Rangkaya Bada

 

Tuhan Yesus tidak berubah selamanya.
Nindy dan Tuhan Yesus yang tidak berubah kekekalan dan kasih setianya. Ist.

Nindy menatap layar ponselnya. Jempolnya berhenti. TikTok itu menyebalkan sekali. Lagu yang berseliweran: Yesus Tidak Berubah.”
Ia mendengus.
“Apa-apaan sih ini? Kok bisa trending? Basi!”

Tapi entah kenapa, justru karena benci, ia ulang-ulang. Semakin diulang, semakin ia jengkel. Sampai akhirnya ia merasa: “Kenapa aku bisa segini terganggu?”

Ia rebah di ranjang. Lampu kamar hanya tinggal pijar kuning redup. TikTok itu berputar lagi di kepalanya. Yesus tidak berubah… tidak berubah…

“Gila. Aku jadi penasaran.”

Ia tahu dirinya bukan penganut kitab itu. Tapi malam itu, ia diam-diam membuka Alkitab, suatu kitab yang bukan miliknya. Didapatnya dari tumpukan buku lama di perpustakaan sekolah. Entah kenapa buku itu bisa ada di sana.

Ia baca.
Satu ayat berhenti di matanya:
Tuhan tidak berubah dalam keadaan, kasih, dan cinta pengorbanan-Nya bagi manusia. Yesus juga tidak berubah dalam kodrat-Nya sebagai Tuhan. Sang Sabda yang turun ke dunia menjadi manusia.”

Nindy terdiam.
Dadanya serasa dipeluk sesuatu.

***

Malam Natal.

Dusun itu kecil di Kalimantan. Pohon cemara hutan dipasang lampu seadanya, kabelnya mirip usus menjuntai. Gereja tua kayu berdiri di tengah. Di situlah Nindy berdiri, jubah putih melekat di tubuhnya. Air baptis menyentuh dahinya.

Sayup-sayup, koor anak kampung menyanyi. Angin malam membawa suara jangkrik.
Nindy menangis. Air matanya deras, entah kenapa.
Orang-orang menoleh. Semua mata memandang gadis yang sebelumnya dianggap asing itu.
Damai menjalari tubuhnya.

Tapi hidup bukan drama manis yang selesai di titik.

Nindy punya pacar. Pedro Mansang, pemuda keras kepala, yang tiap sore suka menjemputnya dengan motor butut. Pedro adalah alasan Nindy dulu kuat menghadapi penyakit bawaan yang sering membuat tubuhnya mendadak lunglai.

Kini, setelah baptis, setelah hatinya diikat janji, ia punya kata lain di dalam dada.
Ia pernah berbisik kepada Tuhan malam itu:
“Kalau Engkau sembuhkan aku, aku mau serahkan hidupku. Aku mau jadi biarawati.”

Kalimat itu bagai kontrak yang menempel di lidahnya.

Tetapi bagaimana dengan Pedro?

Pedro sudah bicara:
“Ndut, jangan tinggalkan aku. Kita sudah janji mau bangun rumah di tepi sungai. Aku tanam durian, kau buka warung kopi. Ingat? Jangan tiba-tiba ikut jalan lain!”

Nindy terdiam.
Tubuhnya rapuh, batinnya bergejolak. Satu sisi ingin menyerahkan hidup total. Sisi lain ada Pedro, ada dunia nyata yang juga memeluknya.

Di antara doa dan cinta, ia tercekat.
Ia tahu: Tuhan tidak berubah. Tapi hatinya?
Hatinya justru terus berubah-ubah.

                                                                      ***

Malam itu Nindy duduk sendiri di beranda rumah kayu. Bulan bulat menempel di langit. Pedro mengetuk, lalu duduk di sebelahnya.

“Kalau Tuhan panggil kau, aku harus apa?” tanya Pedro lirih.

Nindy menoleh. Air mata lagi-lagi jatuh.
“Kalau Tuhan sembuhkan aku, aku harus pergi, Pedro. Aku janji. Tapi aku juga janji sama kau. Aku… aku hancur.”

Pedro menunduk. Tangannya gemetar.
Keheningan dusun menelan mereka.

Nindy memeluk dirinya sendiri. Ia tahu, hidup tak akan selesai dengan satu pilihan. Konflik itu bukan untuk diakhiri malam ini, tapi untuk dijalani, selangkah demi selangkah, dengan air mata dan doa.

Di kejauhan, lonceng gereja berdentang.
Yesus tidak berubah.
Tapi Nindy tahu: dirinya akan terus ditarik bolak-balik oleh janji, cinta, dan rahasia nasib yang belum terbuka.

 Jakarta, 07 September 2025

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org