Kejutan-kejutan dari novel Il Nome della Rosa

Kejutan-kejutan dari novel Il Nome della Rosa
Ilustrasi oleh AI.

Novel Il Nome della Rosa (The Name of the Rose) pertama kali diterbitkan pada tahun 1980 oleh Umberto Eco. 

Sebuah teks yang bukan sekadar fiksi sejarah, tetapi juga meditasi tentang kekuasaan, pengetahuan, dan cara kita membaca dunia.

Kemudian novel ini diekranisasikan/ difilmkan layar lebar pada tahun 1986, disutradarai oleh Jean-Jacques Annaud dan dibintangi oleh Sean Connery serta Christian Slater.

Di sebuah biara tua di utara Italia, pada suatu musim dingin tahun 1327, seorang biarawan tua datang bersama muridnya. William dari Baskerville namanya. Seorang Fransiskan dengan mata yang tajam, pikirannya menolak tunduk pada ketakutan. Di sisinya, Adso dari Melk, seorang pemuda yang masih mengira bahwa dunia adalah seperti yang dikisahkan dalam kitab-kitab suci.

Mereka datang bukan hanya untuk menghadiri diskusi teologi, tetapi—sebagaimana zaman sering menghendakinya—untuk menyaksikan betapa ketidaktahuan adalah pedang yang lebih tajam daripada dosa. Ada kematian di biara itu. Seorang rahib ditemukan tak bernyawa. Bibirnya membiru, jari-jarinya mencengkeram udara seperti berusaha menangkap sesuatu yang tak kasatmata.

William melihatnya bukan sebagai keajaiban muram, tetapi sebagai misteri yang harus dipecahkan. Baginya, setiap peristiwa adalah tanda, dan setiap tanda adalah bagian dari teks yang lebih besar. Dunia adalah sebuah buku, dan buku, baginya, adalah pintu menuju pemahaman.

Tetapi buku juga bisa menjadi musuh.

Biara ini, sebagaimana banyak tempat suci di abad itu, memiliki perpustakaan. Tetapi bukan sekadar ruang dengan lembaran-lembaran kertas tua. Ini adalah labirin. Sebuah tempat di mana pengetahuan dikurung seperti rahasia. Di sini, kata-kata tak boleh bebas. Di sini, ada buku-buku yang tidak boleh dibaca, karena membaca adalah membuka kemungkinan, dan kemungkinan selalu mengancam mereka yang percaya pada kepastian.

William mendapati bahwa yang tersembunyi di antara rak-rak itu adalah jilid kedua dari Poetika Aristoteles, sebuah teks yang berbicara tentang tawa. Bahwa tawa bukanlah ancaman bagi Tuhan, tetapi bagi mereka yang ingin menjaga ketakutan tetap hidup. Karena mereka yang bisa tertawa tak akan mudah tunduk.

Lalu kematian berikutnya terjadi. Dan berikutnya.

Tanda-tanda yang tertinggal semakin gelap, seperti huruf-huruf yang terhapus di lembaran perkamen. William tahu bahwa ini bukan lagi sekadar misteri, melainkan sebuah pertempuran diam-diam antara pikiran dan dogma.

Tetapi sebelum jawabannya ditemukan, datanglah Inkuisisi.

Bernardo Gui, seorang inkuisitor dengan mata yang lebih tajam daripada pisau guillotine, tiba dengan angkuh. Baginya, kebenaran tidak perlu dicari. Ia sudah ada, tertulis dalam perintah Gereja. Tidak perlu logika, tidak perlu pemikiran. Yang perlu hanya keyakinan—dan hukuman bagi mereka yang bertanya terlalu banyak.

Lalu api dinyalakan. Buku-buku terbakar, menghitam sebelum sempat dibaca. Labirin pengetahuan itu menjadi abu.

Dan kita bertanya: apakah kata-kata bisa dimusnahkan? Apakah berpikir bisa dilarang? Ataukah, sebagaimana yang sering terjadi dalam sejarah, yang hancur hanya tempatnya, sementara gagasan tetap hidup dalam mereka yang berani mengingatnya?

-- Raymundus Ray

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org