Maria sebagai Theotokos dan Bait Roh Kudus dalam Pandangan Katolik

 

Maria bunda penebus manusia, Yesus Kristus.
Maria, bunda Tuhan Yesus Kristus atau Theotokos dan bait Roh Kudus. Ist.
 Oleh Sr. Felicia Tesalonika

Dalam sejarah iman Kristen, salah satu pernyataan paling berani sekaligus paling mendasar adalah ketika Konsili Efesus pada tahun 431 menyatakan Maria sebagai Theotokos, yang berarti "Bunda Allah".

Istilah Theotokos ini bukan sekadar penghormatan sentimental, melainkan pengakuan iman bahwa Yesus Kristus sungguh Allah dan sungguh manusia. Dengan menyebut Maria sebagai Theotokos, Gereja tidak bermaksud menuhankan Maria, tetapi menegaskan kebenaran inkarnasi: bahwa Anak yang dikandung Maria adalah Sabda yang menjadi manusia (Yohanes 1:14).

Banyak yang keliru memahami sebutan ini. Ada yang mengira gelar itu menjadikan Maria lebih tinggi dari Allah sendiri. Padahal maknanya jelas: jika Yesus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia, maka perempuan yang mengandung dan melahirkan-Nya layak disebut Bunda Allah.

Lukas 1:43 menjadi dasar penting: ketika Elisabet berseru, "Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?" Sebutan "ibu Tuhanku" di bibir Elisabet adalah cermin iman mula-mula: Maria sungguh mengandung Sang Mesias yang adalah Allah.

Bapa Gereja St. Athanasius menegaskan, “Ia yang lahir dari Maria adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Ia bukan makhluk ciptaan, melainkan Sang Pencipta yang lahir dalam waktu.” Dengan demikian, gelar Theotokos menjaga integritas iman Kristiani akan Yesus: bukan setengah Allah atau setengah manusia, melainkan sepenuhnya keduanya.

Pernyataan ini menjadi tonggak teologis. Dari sanalah seluruh devosi kepada Maria mendapatkan fondasi. Maria bukan sekadar ibu biologis Yesus, melainkan pintu gerbang inkarnasi: tubuh Yesus yang ilahi sekaligus manusiawi dibentuk dalam rahimnya. Dalam perspektif Katolik, hal ini menegaskan bahwa Maria adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah keselamatan. Melalui dia, Allah masuk ke dalam sejarah manusia.

Maria sebagai Bait Roh Kudus

Jika dalam Perjanjian Lama bait Allah adalah tempat kehadiran kemuliaan Tuhan—tabut perjanjian yang disimpan dalam ruang mahakudus—maka dalam diri Maria, tradisi iman Katolik melihat penggenapan baru. Maria disebut sebagai Bait Roh Kudus. Dalam Lukas 1:35, malaikat berkata, "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau." Frasa ini sejajar dengan bayangan kemuliaan Allah (shekinah) yang menaungi Kemah Suci di padang gurun (Keluaran 40:34-35). Dengan demikian, rahim Maria menjadi tabut perjanjian baru, tempat tinggal Sang Sabda yang menjelma.

St. Ambrosius dari Milan menulis bahwa Maria adalah "tabut perjanjian sejati," sebab dalam dirinya tersimpan bukan lagi loh batu hukum Taurat, tetapi Sang Firman yang hidup. Tubuhnya menjadi ruang kudus di mana Allah berdiam secara misterius. Gereja Katolik memandang hal ini bukan sekadar metafora puitis, melainkan realitas iman: Roh Kuduslah yang menguduskan Maria sejak awal, menjadikannya perawan yang tetap murni dan sekaligus ibu yang penuh.

St. Efrem dari Siria bahkan menyanyikan pujian: “Rahim-Mu lebih luas daripada langit, sebab Engkau mengandung Dia yang langit pun tidak dapat menampung.” Ungkapan ini menunjukkan betapa rahim Maria dipandang sebagai tempat kosmik, ruang yang mengatasi keterbatasan duniawi.

Sebutan Maria sebagai Bait Roh Kudus memiliki implikasi yang dalam. Pertama, hal ini mengingatkan umat Katolik bahwa Allah memilih berdiam bukan di bangunan megah, tetapi dalam tubuh manusia yang lemah dan sederhana. Kedua, hal ini membuka pemahaman baru tentang tubuh manusia: bukan sekadar wadah biologis, melainkan ruang yang bisa dipenuhi Roh Kudus. Seperti kata Rasul Paulus, "Tubuhmu adalah bait Roh Kudus" (1 Korintus 6:19). Dalam diri Maria, pernyataan ini mencapai puncaknya.

Implikasi Teologis dan Pastoral

Menyebut Maria sebagai Theotokos sekaligus Bait Roh Kudus bukanlah sekadar permainan teologi. Sebutan ini memiliki implikasi nyata bagi kehidupan iman umat. Dalam tradisi Katolik, Maria menjadi teladan keterbukaan pada karya Allah. Ketika ia berkata, "Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Lukas 1:38), Maria menunjukkan sikap pasrah yang mendalam. Ia membiarkan Roh Kudus bekerja tanpa syarat dalam dirinya.

St. Agustinus mengingatkan, “Maria lebih mulia karena ia terlebih dahulu mengandung Kristus dalam hatinya melalui iman, daripada mengandung-Nya dalam rahimnya secara jasmani.” Dengan kata lain, iman dan ketaatan Maria menjadi teladan paling kuat bagi Gereja. Ia bukan hanya ibu secara biologis, tetapi ibu secara rohani, yang mengajarkan umat bagaimana menerima Sabda.

Dari perspektif pastoral, umat Katolik dipanggil untuk meneladani disposisi hati Maria: terbuka, taat, dan penuh iman. Dalam dunia modern yang penuh kebisingan dan kecurigaan, Maria mengajarkan bahwa membuka diri pada Allah bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Gereja juga menegaskan bahwa peran Maria bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan realitas yang terus hidup. Maria tetap menjadi ibu rohani umat beriman. Seperti Yesus berpesan di salib kepada Yohanes, "Inilah ibumu" (Yohanes 19:27), demikianlah Maria menjadi ibu Gereja sepanjang zaman.

Implikasi teologis lainnya ialah pemahaman tentang martabat perempuan. Dengan Maria sebagai Theotokos, Gereja mengakui bahwa Allah mengandalkan seorang perempuan untuk melaksanakan karya penebusan. Hal ini memberi tempat terhormat bagi perempuan dalam rencana keselamatan, sekaligus tantangan bagi masyarakat yang seringkali masih merendahkan martabat perempuan.

Relevansi dalam Konteks Hidup Beriman Kini

Di tengah dunia yang sering memuja rasionalitas dan menomorsatukan efisiensi, gelar Maria sebagai Theotokos dan Bait Roh Kudus terasa seperti sebuah undangan untuk kembali pada misteri. Kehadiran Maria menjadi pengingat bahwa iman bukan hanya soal konsep, tetapi juga soal tubuh, keheningan, dan kesediaan menerima yang tak terduga.

Dalam kehidupan umat Katolik Indonesia, devosi kepada Maria sangat hidup: ziarah ke gua Maria, doa rosario, hingga perayaan bulan Maria setiap Mei dan Oktober. Semua itu bukan sekadar ritual, melainkan ekspresi iman bahwa Maria sungguh dekat dengan kehidupan sehari-hari. Gelar Theotokos memberi dasar teologis yang kokoh bagi devosi itu. Sedangkan sebutan Bait Roh Kudus mengingatkan umat bahwa Maria bukan hanya figur masa lalu, melainkan teladan kehadiran Roh dalam kehidupan.

Di tengah krisis lingkungan, misalnya, Maria bisa dilihat sebagai ikon ekologis: tubuhnya yang menjadi bait Allah mengingatkan bahwa bumi pun adalah bait ciptaan yang harus dijaga.

Di tengah krisis kemanusiaan, Maria menghadirkan wajah belarasa: ibu yang mendampingi, mendengarkan, dan meneguhkan. Dan di tengah krisis iman, Maria menjadi saksi bahwa Allah tetap setia, sekalipun jalan hidup penuh misteri.

Theotokos, ibu yang melahirkan dan berbelarasa sampai di kaki salib

Menyebut Maria sebagai Theotokos berarti menegaskan iman kepada Kristus yang sungguh Allah. Menyebutnya sebagai Bait Roh Kudus berarti mengakui peran Roh yang menjadikan rahim manusia sebagai tempat bersemayam Sang Firman. Dalam keduanya, umat Katolik menemukan gambaran utuh tentang karya Allah yang turun ke bumi melalui manusia sederhana dari Nazaret.

Dengan demikian, teologi Maria bukan hanya wacana dogmatis, melainkan undangan untuk menghidupi iman secara lebih mendalam: menerima Allah dalam tubuh, hati, dan kehidupan. Sama seperti Maria, setiap orang beriman dipanggil untuk menjadi bait Roh Kudus yang hidup, saksi akan kehadiran Allah di tengah dunia yang terus mencari tanda-tanda harapan.

Sumber Alkitab:

  • Lukas 1:35, 1:38, 1:43
  • Yohanes 1:14, 19:27
  • Keluaran 40:34-35
  • 1 Korintus 6:19

Sumber Bapa Gereja:

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org