Keserakahan dan Kesombongan adalah Akar Perang dan Kekacauan Menurut Paus Fransiskus
| Paus Fransuskus memberi teladan kesederhanaan. SumberL https://www.youtube.com/watch?v=-Bje7RCsLEo |
Dalam dunia yang semakin dilanda konflik dan kerusakan lingkungan, pesan-pesan moral dari pemimpin spiritual seperti Paus Fransiskus menjadi semakin relevan. Kunjungan apostoliknya ke Indonesia pada September 2024 lalu tidak hanya memperkuat hubungan antaragama, tapi juga menyoroti isu-isu mendasar seperti keserakahan dan kesombongan yang sering menjadi pemicu perang serta degradasi alam.
Paus, yang dikenal dengan gaya hidup sederhananya,
mengingatkan umat manusia untuk kembali pada nilai-nilai dasar: kerendahan hati
dan tanggung jawab terhadap sesama serta bumi. Artikel ini mengeksplorasi tema
tersebut melalui lensa ajaran Paus, dengan fokus pada konteks Indonesia yang
kaya sumber daya alam tapi rentan terhadap eksploitasi.
Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3-6 September
2024 menjadi momen bersejarah bagi negeri ini. Ini adalah kunjungan pertama
seorang Paus ke Tanah Air setelah Paus Yohanes Paulus II pada 1989. Paus tiba
di Jakarta dengan pesawat Garuda Indonesia, disambut Presiden Joko Widodo dan
ribuan umat Katolik yang antusias. Agenda kunjungannya mencakup pertemuan
dengan pemimpin agama, pidato di Istana Negara, dan misa akbar di Stadion
Gelora Bung Karno yang dihadiri sekitar 80.000 orang.
Dalam pidatonya di Istana Merdeka pada 4 September, Paus
menekankan kekayaan alam Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang harus dijaga,
bukan dieksploitasi untuk kepentingan pribadi. Beliau memperingatkan agar
kekayaan itu tidak menjadi sumber kesombongan atau angkuh, karena hal tersebut
bisa menjauhkan manusia dari kasih ilahi.
"Kekayaan alam Indonesia yang melimpah merupakan
berkat, tapi jangan sampai membuat orang sombong," ujar Paus, seperti
dikutip dari berbagai sumber. Pesan ini relevan mengingat Indonesia sering
menghadapi konflik atas sumber daya, seperti di Papua atau Kalimantan.
Selama kunjungan, Paus juga bertemu dengan pemimpin Muslim,
Hindu, Buddha, dan Kristen lainnya di Masjid Istiqlal. Di sana, beliau
menandatangani deklarasi bersama tentang persaudaraan manusia, mengutip
ensikliknya Fratelli Tutti yang menyerukan dialog antaragama untuk
mengatasi konflik global. Kunjungan ini tidak lepas dari konteks geopolitik
Asia-Pasifik, di mana Paus juga mengunjungi Papua Nugini, Timor Leste, dan
Singapura dalam tur 11 hari. Bagi Indonesia, yang memiliki populasi Katolik
sekitar 8 juta jiwa, kunjungan ini memperkuat semangat toleransi di tengah
tantangan seperti radikalisme dan ketimpangan sosial.
Ajaran Paus tentang Keserakahan dan Kesombongan
Paus Fransiskus telah lama mengkritik keserakahan dan
kesombongan sebagai akar dari banyak masalah dunia, termasuk perang. Dalam
ensiklik *Laudato Si'* tahun 2015, beliau menyebut keserakahan sebagai penyebab
utama degradasi lingkungan dan konflik atas sumber daya. "Keserakahan
tanpa batas mendorong manusia untuk mengeksploitasi bumi, yang pada akhirnya
memicu perang," tulis Paus dalam dokumen itu. Pesan ini sering diulang
dalam khotbahnya, seperti pada Misa Malam Natal 2018, di mana beliau mengutuk
keserakahan yang membuat manusia lupa akan sesama.
Dalam konteks kunjungan ke Indonesia, Paus menghubungkan
tema ini dengan kekayaan alam negeri ini. Beliau memperingatkan bahwa
kesombongan atas sumber daya bisa menimbulkan konflik internal maupun
internasional. Misalnya, di Papua, di mana pertambangan sering memicu gesekan
antara perusahaan asing dan masyarakat adat.
Paus juga menyinggung perang di Ukraina dan Palestina
sebagai contoh kesombongan penjajah yang didorong keserakahan.
"Kesombongan penjajah menghancurkan perdamaian," katanya dalam pidato
November 2024.
Ajaran Paus rooted dalam teologi Katolik, tapi juga
universal. Beliau sering mengutip Alkitab, seperti dalam Surat Yakobus yang
mengecam keserakahan sebagai sumber pertengkaran. Di Indonesia, pesan ini
resonan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya keadilan sosial. Namun,
realitasnya, korupsi di sektor pertambangan mencapai triliunan rupiah,
menunjukkan betapa keserakahan merajalela. Paus menyerukan konversi ekologis,
di mana manusia harus bertobat dari sikap egois untuk mencegah perang atas air,
minyak, atau mineral.
Pada 2025, pesan Paus ini masih bergema, seperti dalam
peringatan Paskah di mana beliau menyerukan budaya damai untuk mengatasi
keserakahan. Di Indonesia, ini bisa menjadi panggilan bagi pemerintah untuk
mereformasi kebijakan sumber daya alam, agar tidak jatuh ke tangan segelintir
orang kaya.
Ugahari dalam Budaya Jawa dan Ajaran Paus
Konsep ugahari, yang berasal dari budaya Jawa, menjadi
jembatan menarik antara ajaran Paus Fransiskus dan nilai lokal Indonesia.
Ugahari bukan sekadar kesederhanaan, tapi sikap spiritual yang menekankan
keseimbangan, moderasi, dan pelepasan dari keterikatan material. Dalam bahasa
Jawa, "sak madyo" berarti cukup atau seimbang, yang selaras dengan
simplicity yang diajarkan Paus.
Selama kunjungan ke Indonesia, Paus menunjukkan ugahari
melalui tindakan nyata: menggunakan mobil sederhana dan menolak kemewahan. Ini
bukan gimmick, tapi bagian dari teologi kesederhanaan yang beliau anut sejak
menjadi Uskup Agung Buenos Aires. Dalam *Fratelli Tutti*, Paus menekankan bahwa
simplicity membantu membangun persaudaraan global, melawan konsumsi berlebih
yang didorong keserakahan.
Budaya Jawa melihat ugahari sebagai jalan mendekatkan diri
pada Tuhan dan sesama. Sebuah penelitian menunjukkan sinergi antara pemikiran
Paus dalam *Laudato Si'* dengan nilai Jawa, di mana semua makhluk adalah
saudara. Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta, pernah mengenang
kesederhanaan Paus sebagai teladan bagi umat. Di Indonesia, ugahari bisa
menjadi antidot terhadap budaya mewah para elite, seperti yang dikritik Paus.
Praktik ini juga relevan di era digital, di mana konsumsi
material sering memicu kesombongan. Paus Fransiskus, meski wafat pada 2025,
meninggalkan warisan ini melalui ensikliknya, yang mendorong hidup sederhana
untuk mencegah konflik. Bagi masyarakat Jawa, ugahari mengajarkan "ora
ngoyo" atau tidak memaksakan diri, yang bisa diterapkan dalam pengelolaan
sumber daya.
Dampak Keserakahan pada Lingkungan di Indonesia
Keserakahan tidak hanya memicu perang, tapi juga merusak
bumi, seperti terlihat dalam penambangan dan deforestasi di Indonesia. Negara
ini menyumbang 58,2 persen deforestasi tropis akibat pertambangan, dengan
hilangnya hutan seluas ribuan kilometer persegi antara 2000-2019. Di Sulawesi
dan Maluku, tambang nikel untuk baterai kendaraan listrik menyebabkan
deforestasi massal, mengancam keanekaragaman hayati.
Dampaknya luas: perubahan iklim, banjir, dan kepunahan
spesies. Deforestasi mengganggu siklus air, menyebabkan erosi dan polusi. Di
Kalimantan, penambangan batubara ilegal merusak ekosistem sungai, memengaruhi
kesehatan masyarakat adat. Paus Fransiskus dalam *Laudato Si'* mengkritik ini
sebagai keserakahan yang menghancurkan "rumah bersama" kita.
Pemerintah Indonesia telah berupaya melalui moratorium
deforestasi, tapi keserakahan pemodal sering mengalahkan regulasi. Dampak
sosialnya termasuk konflik dengan masyarakat lokal, yang kadang berujung
kekerasan. Untuk mencegahnya, diperlukan konversi ekologis seperti yang
diserukan Paus: prioritas keadilan atas keuntungan.
Pesan Paus Fransiskus mengajak kita refleksi: keserakahan
dan kesombongan bukan hanya dosa pribadi, tapi ancaman kolektif. Di Indonesia,
menerapkan ugahari dan simplicity bisa menjadi langkah awal menuju perdamaian
dan kelestarian bumi.
Penulis: Rangkaya Bada