KWI dan Uskup Kita

KWI dan Uskup Kita ada 37 bilangannya

Uskup-uskup di Indonesia tergabung dalam KWI. Sumber: https://www.kawali.org/profil-kwi/

Oleh Rangkaya Bada

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) adalah perhimpunan para uskup dari seluruh keuskupan di Indonesia. KWI berfungsi sebagai wadah kebersamaan, koordinasi, dan kerja sama dalam pelayanan pastoral Gereja Katolik.

KWI tidak berkedudukan di atas para uskup, karena setiap uskup tetap memiliki otoritas penuh di keuskupannya masing-masing. KWI tidak mempunyai cabang di daerah; anggotanya hanyalah para uskup yang masih menjabat secara aktif. Saat ini jumlah anggota KWI ada 35  (2 baru saja emeritus), sesuai dengan jumlah keuskupan di Indonesia, yaitu 37, karena satu keuskupan hanya memiliki satu uskup.

Istilah keuskupan dalam Gereja Katolik menunjuk pada wilayah Gereja yang dipimpin oleh seorang uskup. Dalam bahasa Latin disebut dioecesis. Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983, keuskupan adalah bagian dari Umat Allah yang dipercayakan kepada seorang uskup bersama para imamnya. 

Di dalam keuskupan, umat beriman bersatu dengan gembalanya dan melalui pewartaan Injil serta perayaan Ekaristi, keuskupan menjadi Gereja partikular, tempat Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik, dan apostolik sungguh hadir dan berkarya. 

Uskup sebagai gembala mengembani tugas mengajar, menguduskan, dan memimpin umat, sementara imam, biarawan-biarawati, dan kaum awam turut ambil bagian dalam karya pastoralnya. Karena itu, keuskupan bukan sekadar wilayah administratif, tetapi perwujudan konkret Gereja di tengah masyarakat.

Sejarah pembentukan wadah para uskup di Indonesia panjang. Pada abad ke-19, Gereja Katolik di Nusantara berada di bawah seorang Prefek atau Vikaris Apostolik yang berkedudukan di Batavia. Seiring waktu, beberapa daerah dipisahkan: Maluku-Irian Jaya pada 1902, Kalimantan pada 1905, Sumatra pada 1911, Nusa Tenggara pada 1913/1914, dan Sulawesi pada 1919. Walau demikian, pemerintah kolonial Belanda baru mengakui keberadaan banyak otoritas gereja itu pada 1913.

Dalam situasi itulah muncul kesadaran untuk membangun kesatuan sikap, terutama mengenai kebebasan misi dan pendidikan Katolik. Pertemuan bersejarah pertama terjadi di Jakarta pada 13 Mei 1924 saat pentahbisan Mgr. A. Van Velsen sebagai Vikaris Apostolik Jakarta, yang dihadiri para pemimpin gereja dari berbagai daerah. Dua hari kemudian, 15–16 Mei 1924, berlangsung sidang pertama para uskup se-Nusantara di Pastoran Katedral Jakarta. Sidang-sidang berikutnya berlangsung rutin hingga 1939, sebelum terhenti karena Perang Dunia II.

Awalnya Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI)

Sesudah Indonesia merdeka, jumlah umat Katolik bertambah pesat. Pada 1954 para uskup di Jawa bertemu di Lawang dan menyusun rancangan dasar konferensi baru. Sidang nasional pun terlaksana di Surabaya pada 25 Oktober–2 November 1955, dihadiri 22 uskup dari 25 yang ada. Forum ini menetapkan nama Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI), dan membentuk Dewan Waligereja Indonesia Pusat (DEWAP) untuk mengurus tugas harian. Dalam sidang di Girisonta pada Mei 1960, para uskup menulis surat kepada Paus Yohanes XXIII, memohon agar hierarki Gereja di Indonesia diresmikan. Melalui dekrit Quod Christus Adorandus tertanggal 3 Januari 1961, Paus Yohanes XXIII meresmikan berdirinya hirarki Gereja Katolik di Indonesia.

MAWI terus berbenah dengan membentuk panitia atau komisi yang menangani bidang sosial, pendidikan, komunikasi, liturgi, dan hubungan antaragama. Tahun 1970 menjadi titik penting ketika DEWAP diganti dengan Presidium MAWI, statuta baru disusun, dan lembaga penelitian sosial didirikan. 

Para uskup juga menerbitkan pedoman pastoral nasional sebagai jawaban atas tantangan masyarakat Indonesia yang sedang membangun. Tahun 1987, nama MAWI diganti menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), menyesuaikan dengan istilah resmi Gereja Katolik sedunia. Statuta baru KWI kemudian disesuaikan dengan Kitab Hukum Kanonik 1983 serta UU RI No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan pada 24 April 1992 disahkan oleh Vatikan.

Kitab Hukum Kanonik sendiri memberikan dasar penting mengenai keuskupan. Kanon 369 menegaskan bahwa keuskupan adalah Gereja partikular yang dipercayakan kepada seorang uskup untuk digembalakan bersama para imamnya, sehingga umat yang dipersatukan dengan gembalanya sungguh menjadi bagian dari Gereja Kristus. 

Kanon 372 menyebutkan bahwa, sebagai aturan umum, keuskupan harus memiliki batas wilayah tertentu yang mencakup seluruh umat di wilayah itu. Kanon 373 menambahkan bahwa hanya Paus yang berwenang mendirikan, membubarkan, atau mengubah keuskupan secara sah. Sementara Kanon 375 menegaskan bahwa uskup, berkat tahbisannya, adalah pengajar iman, imam agung dalam liturgi, dan gembala umat.

Dengan demikian, keuskupan adalah wajah nyata Gereja Katolik yang hadir di tengah masyarakat. KWI, sebagai wadah para uskup di Indonesia, menjadi sarana penting untuk memperkokoh persatuan, menata karya pastoral, dan menyuarakan suara profetis Gereja bagi kehidupan bangsa. 

Dari sejarah panjang, struktur hukum kanonik, hingga dinamika pastoralnya, keuskupan senantiasa menjadi tempat umat Katolik bertumbuh dalam iman, pengharapan, dan kasih di bawah bimbingan gembalanya, sang Uskup. 

Definisi Keuskupan dalam Kitab Hukum Kanonik

➡️ Kanon 369

“Keuskupan adalah bagian dari Umat Allah yang dipercayakan kepada seorang Uskup untuk digembalakan dengan kerja sama para imamnya, sehingga dengan bersatu dengan gembalanya dan melalui Injil serta Ekaristi, dibentuklah Gereja partikular; dalam Gereja partikular inilah sungguh hadir dan berkarya Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.”

Keuskupan bukan sekadar wilayah administratif, tetapi Gereja partikular yang nyata. Kristus hadir dan bekerja di situ, dipimpin oleh seorang Uskup, dibantu imam dan para pelayan lainnya.

Tentang Batas dan Penetapan

➡️ Kanon 372 §1

“Sebagai aturan umum, keuskupan harus memiliki wilayah tertentu sehingga mencakup semua umat beriman yang tinggal di wilayah itu.”

➡️ Kanon 373

“Hanya otoritas tertinggi, yaitu Paus, yang berwenang mendirikan, membubarkan, atau mengubah keuskupan secara sah.”

👉 Jadi, hanya Paus yang bisa mendirikan atau mengubah keuskupan.

Uskup sebagai Gembala

➡️ Kanon 375 §1

“Para uskup, berdasarkan tahbisan sakramental, menjadi guru iman, imam agung dalam liturgi, serta gembala yang memimpin Gereja.”

Keuskupan hidup karena Uskup hadir sebagai gembala, mengajar, menguduskan, dan memimpin umatnya.

Keuskupan di Indonesia 37 terbagi dalam regio

Keuskupan di Indonesia yang tergabung dalam KWI, yang berjumlah 37, dibagi menurut regio sebagai berikut.

🔹 Regio Sumatra

  1. Keuskupan Agung Medan
  2. Keuskupan Padang
  3. Keuskupan Sibolga
  4. Keuskupan Agung Palembang
  5. Keuskupan Pangkalpinang
  6. Keuskupan Tanjungkarang
    Total: 6

🔹 Regio Jawa

  1. Keuskupan Agung Jakarta
  2. Keuskupan Bandung
  3. Keuskupan Bogor
  4. Keuskupan Agung Semarang
  5. Keuskupan Malang
  6. Keuskupan Purwokerto
  7. Keuskupan Surabaya
    Total: 7

🔹 Regio Nusa Tenggara

  1. Keuskupan Agung Ende
  2. Keuskupan Denpasar
  3. Keuskupan Larantuka
  4. Keuskupan Maumere
  5. Keuskupan Ruteng
  6. Keuskupan Agung Kupang
  7. Keuskupan Atambua
  8. Keuskupan Weetebula
    Total: 8

🔹 Regio Kalimantan

  1. Keuskupan Agung Pontianak
  2. Keuskupan Ketapang
  3. Keuskupan Sanggau
  4. Keuskupan Sintang
  5. Keuskupan Agung Samarinda
  6. Keuskupan Banjarmasin
  7. Keuskupan Palangka Raya
  8. Keuskupan Tanjung Selor
    Total: 8

🔹 Regio MAM (Makassar, Amboina, Manado)

  1. Keuskupan Agung Makassar
  2. Keuskupan Amboina
  3. Keuskupan Manado
    Total: 3

🔹 Regio Papua

  1. Keuskupan Agung Merauke
  2. Keuskupan Agats
  3. Keuskupan Jayapura
  4. Keuskupan Manokwari–Sorong
  5. Keuskupan Timika
    Total: 5

Sumber yang diracik menjadi menu konten ini:

https://www.kawali.org/

Kitab Hukum Kanonik

wawancara dengan beberapa uskup


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org