Anathema Sit!

 

Anathema Sit!
Suasana Konsili Trente sidang ke-23 yang diadakan pada tanggal 4 Desember 1563., saat palu godam "Anathema sit!  "dijatuhkan. Sumber gambar:https:https://lonelypilgrim.com

Oleh Sr. Felicia Tesalonika 

Anathema sit! Terkutuklah dia.

Ungkapan dalam Latin itu menggema di ruang sidang Konsili Nicea tahun 325 Masehi, menembus dinding batu yang menyimpan riuh perdebatan para uskup. Bukan sekadar luapan emosi, melainkan pernyataan resmi yang lahir dari pergulatan batin para pemimpin Gereja.

Para pemimpin Gereja tiba membawa kegelisahan sekaligus tanggung jawab: merumuskan arah dasar iman Kristen. Kata-kata yang diucapkan bukan mainan retorika, melainkan ketegasan untuk meneguhkan siapa Yesus sesungguhnya di tengah perdebatan sengit tentang keilahian-Nya.

Melindungi kesatuan Gereja dari ajaran yang bisa menyesatkan

Di balik bunyi yang terdengar keras, tersimpan tujuan yang jauh lebih besar: melindungi kesatuan Gereja dari ajaran yang bisa menyesatkan.

Anathema sit bukan ditujukan sebagai ancaman pribadi, melainkan pagar rohani, penanda batas yang menjaga umat tetap utuh. Tanpa garis pemisah itu, fondasi iman bisa retak dan jemaat tercerai-berai. Karena itu, keputusan Konsili Nicea tidak sekadar soal doktrin, melainkan soal keberlangsungan Gereja. Frasa sederhana itu memikul bobot sejarah, menentukan jalan panjang Kekristenan hingga berabad-abad sesudahnya.

Di era ketika Kekaisaran Romawi baru saja memeluk Kristen di bawah Kaisar Konstantinus, gereja menghadapi ancaman internal. Arianisme, ajaran yang menyangkal Yesus setara dengan Bapa, menyebar seperti api di rumput kering.

Para pemimpin gereja, berkumpul di Nicea, tidak punya pilihan. Mereka harus bertindak tegas. "Anathema sit" menjadi formula resmi pertama dalam dokumen gereja, menyatakan bahwa siapa pun yang memegang pandangan Arius akan dipisahkan dari komunitas umat. Bukan untuk menghancurkan, tapi untuk menyembuhkan. Seperti dokter yang memotong bagian tubuh yang terinfeksi agar seluruhnya selamat.

Asal muasal istilah ini lebih tua lagi. Jauh sebelum Nicea, akarnya tertanam dalam tanah Perjanjian Lama. Dalam bahasa Ibrani, "herem" berarti sesuatu yang didedikasikan sepenuhnya kepada Tuhan, sering kali melalui penghancuran total. Kota Yerikho, misalnya, dinyatakan sebagai herem: segala isinya harus dimusnahkan, tak boleh disentuh. Itu bukan kekejaman semata. Itu adalah bentuk pengabdian mutlak, pemisahan dari yang profan. Kemudian, di Perjanjian Baru, Rasul Paulus mengadaptasinya.

"Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia." (Galatia 1:8–9, LAI TB)

Dalam teks Yunani aslinya digunakan kata ἀνάθεμα ἔστω (anathema estō), yang diterjemahkan sebagai terkutuklah dia atau biarlah dia kena kutuk.

Sementara ungkapan “terkutuklah aku” muncul dalam bentuk serupa di Roma 9:3, ketika Paulus menuliskan:

"Bahkan aku sendiri rela terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku menurut daging." (Roma 9:3, LAI TB)

Dalam suratnya kepada jemaat Galatia, Paulus menyebut "anathema". Di sini, maknanya bergeser. Bukan lagi penghancuran fisik, melainkan pengucilan rohani. Paulus ingin melindungi kemurnian ajaran Yesus Kristus, mendorong yang tersesat untuk kembali.

"Anathema sit", Penggunaan Awal

Riset tentang istilah ini, jika kita telusuri, dimulai sejak abad pertama Masehi melalui teks-teks apostolik. Namun, penggunaan sistematisnya baru mekar di abad ke-4. Konsili Elvira di Spanyol, sekitar tahun 300-306, menjadi saksi awal. Di sana, "anathema sit" digunakan untuk mengutuk praktik-praktik seperti Manikeisme, yang memadukan elemen Kristen dengan dualisme Persia. Mengapa demikian? Karena gereja sedang membangun identitasnya. Di tengah kekaisaran yang rapuh, bidat bisa meruntuhkan segalanya. Otoritas gereja, yang diwakili oleh uskup-uskup dan kemudian paus, melihat ini sebagai tugas suci: menjaga warisan para rasul.

Lalu datang Cyril dari Aleksandria. Pada 431 M, di Konsili Efesus, ia menyusun 12 anatema terhadap Nestorius, yang memisahkan sifat ilahi dan manusiawi Yesus. Debat itu sengit. Nestorius, uskup Konstantinopel, dianggap membahayakan misteri Inkarnasi. "Anathema sit" bergaung lagi, memisahkan yang dianggap salah dari Tubuh Kristus. Alasan di baliknya jelas: medicinal, seperti obat pahit. Gereja tidak ingin menghakimi nasib abadi, itu hak Tuhan semata. Tapi mereka harus melindungi kawanan dari serigala berbulu domba. Seperti dalam 1 Korintus 5, Paulus menyerahkan orang berdosa kepada Iblis untuk kebinasaan tubuh, agar rohnya selamat.

Abad pertengahan menyaksikan puncaknya. Upacara anathema menjadi dramatis. Lilin-lilin dinyalakan, lalu dilempar ke tanah sambil diucapkan formula itu. Simbol pemisahan dari cahaya Kristus. Di balik ritual itu, ada niat pastoral. Otoritas gereja, seperti Paus Gregorius VII dalam konflik dengan Kaisar Heinrich IV, menggunakan anathema untuk menegakkan disiplin. Tapi bukan tanpa kontroversi. Schism Besar 1054, misalnya. Anathema saling dilempar antara Roma dan Konstantinopel karena perselisihan seperti klausa Filioque dalam Kredo. Hasilnya? Pemisahan yang bertahan berabad-abad, antara Katolik Barat dan Ortodoks Timur.

Mengapa Otoritas Gereja Bertindak Tegas?

Masuk era Reformasi. Konsili Trente, 1545-1563, menjadi panggung besar. Di hadapan badai Martin Luther, gereja Katolik mengeluarkan kanon-kanon dengan "anathema sit".

Ajaran seperti sola fide, justifikasi hanya oleh iman, dikutuk. Mengapa? Karena hal itu dianggap menyimpang dari tradisi apostolik, mengabaikan peran sakramen dan otoritas gereja.

Kanon IX. “Jika ada yang berkata bahwa oleh iman saja orang fasik dibenarkan—seakan-akan tidak diperlukan apa pun lagi untuk bekerja sama dalam memperoleh rahmat pembenaran, dan tidak perlu ada persiapan serta disposisi oleh kehendak bebasnya sendiri—biarlah ia anathema.” (Konsili Trente, Sesi VI [1547], Dekrit tentang Pembenaran

Banyak orang memahami “anathema” di sini sebagai kutukan mutlak; bahkan hukuman kebinasaan kekal. Akibatnya, muncul kesan bahwa Gereja Katolik mengutuk orang Protestan ke neraka. Secara wajar, hal ini menimbulkan keberatan, sebab Allah menghendaki semua orang diselamatkan (1 Timotius 2:4). Namun, sebenarnya bukan itu maksud konsili.

Seiring perjalanan sejarah, sejak penggunaan Paulus dalam Perjanjian Baru, “anathema” mengalami pergeseran makna. Dalam bahasa Latin, terutama di konsili-konsili Gereja, anathema sit (“biarlah ia anathema”) dipakai sebagai formula hukum: deklarasi resmi ekskomunikasi. Artinya, seseorang yang menganut ajaran sesat dikeluarkan dari persekutuan Gereja; tidak lebih, tidak kurang.

Konsili Trente bukan sekadar pertahanan. Konsili Trente adalah reformasi internal: meningkatkan pendidikan klerus, membersihkan korupsi. Tapi dampaknya luas. Luther diekskomunikasi 1521, memicu perpecahan besar. Denominasi Protestan lahir, perang agama meletus, seperti Perang Tiga Puluh Tahun yang menelan jutaan nyawa.

Dampak "anathema sit" seperti gelombang yang tak berhenti. Secara rohani, ia memisahkan dari sakramen, mendorong pertobatan. Banyak yang kembali, seperti dalam kasus Paulus yang memaafkan setelah koreksi. Sosialnya, di masyarakat Kristen lama, itu berarti isolasi: kehilangan hak sipil, bahkan perlindungan hukum. Politiknya? Lihat saja Ikonoklasme abad ke-8, di mana anathema memengaruhi kekaisaran Bizantium. Tapi ada sisi positif. Ia mempertahankan ortodoksi, membentuk identitas gereja. Tanpa itu, Kristen mungkin tercerai-berai lebih awal.

Anathema sit hari ini

Hari ini, setelah Vatikan II 1962-1965, "anathema sit" tak lagi digunakan. Kode Hukum Kanonik 1983 menggantinya dengan ekskomunikasi laten, otomatis untuk bidat. Schism 1054 pun dicabut 1965, membuka dialog ekumenis. Tapi warisannya tetap: pengingat bahwa iman butuh penjagaan, tapi dengan belas kasih. Kesalahpahaman pun banyak. Banyak Protestan melihatnya sebagai kutukan ke neraka. Padahal, gereja tegas: itu medicinal, bukan akhirat.

Dalam era digital ini, di mana informasi mengalir deras, memahami "anathema sit" seperti membuka lembaran sejarah yang kusut. Ia bukan relik masa lalu. Ia adalah cermin bagi kita: bagaimana menjaga kebenaran tanpa kehilangan kemanusiaan. Gereja belajar dari itu. Kita juga seharusnya.

 

Daftar Pustaka

Verifikasi informasi di atas bersumber dari dokumen gereja historis, ensiklopedia, dan studi akademik. Penulis telah menelusuri melalui pencarian web dan analisis teks untuk memastikan akurasi, menghindari bias subjektif dari sumber media.

1. "Anathema." Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Anathema

2. "Anathema." Catholic Answers Magazine. https://www.catholic.com/magazine/print-edition/anathema

3. "Anathema." Catholic Encyclopedia. New Advent. https://www.newadvent.org/cathen/01455e.htm

4. "Council of Trent." Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Council_of_Trent

5. "“Let him be Anathema”: Not what many Protestants think it means." Lonely Pilgrim. https://lonelypilgrim.com/2013/06/03/let-him-be-anathema-not-what-many-protestants-think-it-means/

6. Akin, Jimmy. "Anathema Sit." Jimmy Akin. https://jimmyakin.com/2005/10/anathema_sit.html

7. "Dictionary: ANATHEMA." Catholic Culture. https://www.catholicculture.org/culture/library/dictionary/index.cfm?id=31797

8. "The Meaning of Anathema: A Response to Catholic Answers." James Attebury. https://jamesattebury.wordpress.com/2025/07/30/the-meaning-of-anathema-a-response-to-catholic-answers/

9. https://lonelypilgrim.com/2013/06/03/let-him-be-anathema-not-what-many-protestants-think-it-means/

10. https://www.veritatemincaritate.com/wp/tag/anatema-sit/


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org