Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium: Trisula Kekokohan Gereja Katolik Sepanjang Lebih 2 Milenia
Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium adalah satu kesatuan kekokohan Gereja Katolik.
Oleh Raymundus Rai Swastika
Gereja Katolik, yang telah bertahan lebih dari dua ribu
tahun, memiliki fondasi yang kokoh. Kekokohan fondasi itu dapat dibaratkan sebagai trisula, yakni: Kitab
Suci, Tradisi, dan Magisterium.
Ketiga fondasi Gereja sekaligus pilar ini saling menopang dan melengkapi. Sedemikian rupa, sehingga
iman umat Katolik tidak hanya lestari, tetapi juga relevan bagi setiap
generasi, terutama generasi muda, yang hidup di era digital ini.
Trisula ini bukan sekadar konsep teologis. Lebih dari itu, Trisula Gereja Katolik adalah panduan
hidup, sumber inspirasi, dan kerangka moral yang membimbing manusia untuk hidup
dalam kasih Allah.
Kitab Suci, Sabda yang Hidup
Kitab Suci adalah jantung iman Katolik. Ia terdiri dari 73
kitab, terbagi menjadi Protokanonika dan Deuterokanonika. Kitab Suci bukan
hanya sejarah atau dokumen kuno; ia adalah sumber kehidupan spiritual, “menu”
yang dapat dinikmati setiap hari, memberi gizi rohani bagi umat dari segala
usia.
Bayangkan seorang pemuda bernama Andika Pranata, mahasiswa
di Jakarta, yang setiap pagi menyempatkan diri membaca satu ayat Kitab Suci
sebelum memulai kuliah. Awalnya, Andi mengaku sulit memahami bahasa kuno dan
konteks sejarah. Namun, ketika ia mencoba mengaitkan cerita Yusuf yang dijual
oleh saudara-saudaranya dengan pengalamannya menghadapi persaingan di kampus,
ia mulai merasakan relevansi yang nyata. Ia belajar bahwa kesabaran,
pengampunan, dan integritas bukan hanya nilai masa lalu, tetapi pedoman hidup
yang berlaku sekarang.
Kitab Suci juga mengajarkan kreativitas spiritual. Maria,
seorang aktivis sosial di Surabaya, menggunakan kisah Daud dan Goliat sebagai
inspirasi ketika memimpin kelompok relawan anak jalanan. Ia menafsirkan kisah
itu sebagai simbol keberanian menghadapi tantangan yang tampak mustahil. Dengan
demikian, Kitab Suci menjadi teman hidup yang menuntun hati, pikiran, dan
tindakan.
Di era digital, pendekatan edukatif dan interaktif terhadap
Kitab Suci semakin relevan. Aplikasi Alkitab dengan fitur renungan harian,
podcast rohani, atau video refleksi membantu generasi muda mengakses Kitab Suci
dengan cara yang mereka kenal dan sukai. Seperti Rina, mahasiswi yang tinggal
di Bali, yang menemukan kenyamanan membaca renungan digital setiap pagi sebelum
membuka laptop untuk kuliah online. Dengan ini, iman bukan hanya diwariskan,
tetapi dialami secara nyata setiap hari.
Tradisi, Warisan yang Hidup
Selain Kitab Suci, Gereja Katolik memiliki Tradisi, yaitu
segala warisan iman yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tradisi bukan
sekadar ritual atau kebiasaan; ia adalah rekaman hidup iman umat sepanjang
sejarah, yang membentuk identitas Katolik. Tanpa tradisi, iman akan kehilangan
konteks dan kedalaman; ia menjadi kata-kata kosong yang sulit dirasakan
maknanya.
Lalu ada Budiwan, seorang pemuda di Yogyakarta, yang setiap Tiap
Minggu pagi, ia tak pernah alpa ikut misa bersama keluarganya. Baginya, misa
bukan hanya rutinitas, tetapi momen refleksi dan komunitas. Tradisi ini
mengajarkan kesabaran, disiplin, dan rasa syukur. Di tengah kesibukan kuliah
dan pekerjaan paruh waktu, Budi menemukan bahwa tradisi memberinya jangkar
dalam kehidupan yang cepat dan penuh tekanan.
Tradisi juga menghubungkan generasi. Margareta, siswi sebuah
perguruan tinggi Katolik di Pontianak, meneliti devosi Santo Yosef di
lingkungan keluarganya. Ia menyadari bahwa ibunya, neneknya, bahkan kakeknya
sudah melakukan doa yang sama setiap malam. Dengan menghargai tradisi,
Margareta merasakan koneksi nyata dengan akar imannya dan menyadari bahwa ia
adalah bagian dari alur sejarah yang lebih besar.
Tradisi juga menyeimbangkan modernitas dan iman. Di tengah arus media sosial dan budaya instan, tradisi menjadi jangkar. Seperti Yanto, seorang influencer Katolik di Jakarta, yang membagikan konten doa harian dan kisah inspiratif dari devosi tradisional. Ia membuktikan bahwa tradisi tidak ketinggalan zaman, tetapi dapat hidup berdampingan dengan kreativitas digital.
Dengan cara ini, generasi muda belajar menghargai nilai-nilai abadi sambil
tetap relevan di era modern.
Magisterium, Penjaga Kebenaran dan Panduan Etis
Pilar ketiga adalah Magisterium, yaitu otoritas pengajaran
resmi Gereja Katolik. Melalui Magisterium, umat menerima doktrin dan ajaran
moral yang sistematis, sehingga iman dapat diterapkan secara benar dan
konsisten. Magisterium bukan sekadar aturan; ia adalah bimbingan yang menolong umat
memahami kehendak Allah dalam kehidupan nyata.
Generasi muda sering kali menghadapi kebingungan moral.
Dunia modern sarat dengan ideologi, tekanan sosial, dan tren yang berubah
cepat. Di sinilah Magisterium hadir sebagai penuntun yang memberikan kepastian.
Misalnya, Nina, seorang pekerja sosial di Semarang, menghadapi dilema ketika
membantu anak-anak yang terlibat peredaran narkoba. Dengan pedoman Magisterium
tentang martabat manusia dan etika sosial, ia mampu membuat keputusan yang
selaras dengan iman, sekaligus efektif dalam tindakan nyata.
Magisterium juga bersifat pedagogis, bukan diktatorial. Ia
menuntun, membimbing, dan mendampingi umat agar mampu menginternalisasi ajaran.
Seperti Andika, mahasiswa hukum di Jakarta, yang mengikuti kelas etika Katolik.
Ia belajar bagaimana prinsip keadilan dan kasih dapat diterapkan dalam
kehidupan kampus dan profesinya nanti sebagai pengacara. Magisterium
mengajarkan bahwa iman bukan hanya pengetahuan, tetapi hidup yang nyata dan
etis.
Selain itu, Magisterium bersifat inklusif dan adaptif. Ia
menyesuaikan cara penyampaian ajaran dengan konteks zaman, tanpa mengubah inti
kebenaran iman. Contohnya, komunitas Katolik di Bandung menggunakan platform
digital untuk diskusi teologi, webinar, dan renungan online. Generasi muda bisa
belajar tentang ajaran resmi Gereja tanpa kehilangan fleksibilitas dan
kreativitas mereka. Dengan demikian, Magisterium membebaskan, bukan membatasi,
umat untuk hidup beriman secara cerdas dan bertanggung jawab.
Kesatuan Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium
Ketiga pilar, Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium, tidak
berdiri sendiri. Mereka saling berkaitan dan membentuk kesatuan yang kokoh,
seperti trisula yang menancap kuat dalam sejarah Gereja. Kitab Suci memberi
dasar iman; Tradisi menghidupkan iman dalam pengalaman komunitas; Magisterium
menuntun iman agar tetap benar dan relevan.
Sejarah Gereja membuktikan bahwa ketiganya mampu menghadapi
berbagai tantangan: dari penganiayaan, konflik internal, hingga era
sekularisasi dan modernitas. Kekokohan Gereja bukan karena kekuatan manusia
semata, tetapi karena fondasi yang saling melengkapi ini. Generasi muda yang
memahami trisula ini dapat menyadari bahwa iman mereka tidak terputus dari
sejarah, tetapi merupakan bagian dari perjalanan umat manusia yang lebih luas.
Lebih dari itu, trisula ini mengajarkan hidup yang utuh.
Kitab Suci menuntun hati dan pikiran; Tradisi menuntun langkah dan perilaku;
Magisterium menuntun keputusan dan tindakan etis. Ketiganya menjadikan iman
Katolik bukan sekadar keyakinan, tetapi cara hidup yang membentuk karakter,
moral, dan spiritualitas.
Ambil contoh Dimas, seorang mahasiswa seni di Jogja, yang
membuat mural bertema “Kehidupan Katolik di Era Modern”. Ia menggabungkan
ayat-ayat Kitab Suci, simbol tradisi, dan pesan etis dari ajaran resmi Gereja.
Mural itu tidak hanya menjadi karya seni, tetapi juga sarana edukasi bagi
teman-temannya, memperlihatkan bahwa iman dapat hidup, kreatif, dan berdampak
nyata.
Akhirnya, trisula ini bersifat humanis. Trisula Gereja Katolik mengajak generasi muda untuk tidak hanya menjadi pembaca teks atau pelaku ritual, tetapi menjadi pelaku iman yang kreatif, kritis, dan penuh kasih. Generani muda Gereja belajar dari Kitab Suci, menghargai Tradisi, dan meneladani Magisterium, sehingga iman menjadi nyata, relevan, dan berdampak pada masyarakat di sekitar mereka.
Dengan trisula ini,
Gereja Katolik tetap bertahan, relevan, dan memberi inspirasi lebih dari dua
milenia. Gereja Katolik menjadi cahaya yang menuntun umat dari satu generasi ke generasi
berikutnya.