Ketahanan IMAN Katolik Menghadapi Tantangan Zaman ke Zaman

Iman Katolik kuat pondasinya, tahan ujian, melewati zaman, dan mutlak kebenarannya.
Iman Katolik kuat pondasinya, tahan ujian, melewati zaman, dan mutlak kebenarannya.Ist.

Oleh Sr. Felicia Tesalonika

Iman Katolik sering digambarkan sebagai sebuah fondasi yang kokoh: batu karang yang tak tergoyahkan oleh waktu. 

Keyakinan Katolik ini berakar pada iman bahwa Gereja Katolik didirikan langsung oleh Yesus Kristus. Ia bukan sekadar lembaga buatan manusia, melainkan kelanjutan dari misi ilahi yang diemban Sang Putra Allah.

Matius 16:18 menjadi ayat kunci: 

“Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya.”
Kata-kata Yesus kepada Petrus ini bukan sekadar metafora, melainkan janji yang menegaskan bahwa Gereja akan bertahan melewati sejarah. Dari sinilah lahir keyakinan bahwa Gereja berdiri atas dasar janji ilahi, bukan sekadar tradisi manusiawi.

Pengetahuan sejati dari ajaran para rasul dan organisasi kuno Gereja

Rasul Paulus, dalam Efesus 2:20, memperkuat gambaran ini: Gereja “dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.” Ajaran ini menegaskan sifat apostolik Gereja. 

Katekismus Gereja Katolik (KGK 748–750) bahkan menyebut Gereja sebagai “rencana Allah yang terungkap dalam Kristus,” lahir bukan dari ide manusia, melainkan dari peristiwa Pentakosta, saat Roh Kudus turun atas para rasul (Kisah Para Rasul 2:1–4).

Sejarah memperlihatkan kesinambungan itu. 

Ignatius dari Antiokhia (sekitar 107 M) adalah yang pertama menyebut Gereja dengan istilah “Katolik,” menandai sifat universalnya. Irenaeus dari Lyon (sekitar 180 M) menulis bahwa “pengetahuan sejati adalah ajaran para rasul dan organisasi kuno Gereja di seluruh dunia, sesuai dengan suksesi para uskup.” Dari kesaksian ini jelas bahwa iman Katolik bukanlah ciptaan belakangan, melainkan warisan yang mengalir langsung dari Kristus.

Fondasi inilah yang membuat Gereja bertahan menghadapi arus zaman. Dihantam penganiayaan Romawi, diuji skisma, diguncang reformasi, Gereja tetap berdiri. Janji Yesus dalam Matius 28:20 terngiang: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

Peran Tradisi Suci dalam Menjaga Kemurnian Iman

Tradisi Suci, atau Sacred Tradition, adalah pilar kedua yang menopang iman Katolik. Ia bukan sekadar kebiasaan yang diwariskan turun-temurun, melainkan ajaran apostolik yang disampaikan baik secara lisan maupun tertulis. Paulus sendiri mengingatkan jemaat Tesalonika: “Peganglah teguh tradisi yang telah kamu pelajari dari kami, baik secara lisan maupun tertulis” (2 Tes. 2:15).

KGK (75–83) menyebut Tradisi sebagai “deposit iman,” kumpulan kebenaran yang diserahkan para rasul kepada Gereja. Ini mencakup liturgi, doa, hingga penafsiran Kitab Suci yang dijaga sejak abad pertama. Tertullian, seorang Bapa Gereja awal (sekitar 200 M), menegaskan bahwa Gereja-Gereja menerima tradisi iman langsung dari para rasul. Dengan kata lain, Tradisi menjadi benteng dari ajaran menyimpang, seperti Gnostisisme pada zamannya.

Sejarah pun membuktikan daya tahannya. Konsili Nicea (325 M) menggunakan Tradisi apostolik untuk merumuskan Kredo Nicea, sekaligus menolak Arianisme. Cyprianus dari Kartago menegaskan, “dia yang tidak ditahbiskan dalam Gereja tidak dapat memegang Gereja dengan cara apa pun,” menekankan pentingnya suksesi apostolik.

Hingga hari ini, Tradisi tetap relevan. Konsili Vatikan II, lewat Dei Verbum (1965), menegaskan bahwa Kitab Suci dan Tradisi adalah satu kesatuan yang dijaga untuk mencegah penafsiran sewenang-wenang. Tanpa Tradisi, iman mudah larut dalam relativisme modern. Dengan Tradisi, Gereja tetap utuh, misalnya dalam pengajaran tentang Ekaristi yang sejak awal diwariskan para rasul (1 Kor. 11:23–26).

Tradisi bukanlah benda mati. Ia hidup, berkembang, dan dibimbing Roh Kudus. Yesus sendiri menjanjikan dalam Yohanes 16:13 bahwa Roh Kebenaran akan memimpin umat “ke dalam seluruh kebenaran.” Karena itu, Tradisi menjadi penjaga iman sekaligus pemandu di tengah zaman.

Magisterium sebagai Penjaga Ajaran Apostolik

Jika fondasi adalah Kristus dan pilar utamanya adalah Tradisi, maka Magisterium adalah otoritas yang menjaga agar bangunan itu tetap kokoh. Magisterium, yakni Paus dan para uskup dalam kesatuan dengannya, adalah pelayan Firman Allah. KGK (85–87) menegaskan bahwa Magisterium diberi kuasa untuk menafsirkan Kitab Suci dan Tradisi dengan otoritas dari Kristus sendiri.

Dasarnya jelas. Matius 16:19 menyebut Yesus memberikan “kunci Kerajaan Surga” kepada Petrus, simbol otoritas untuk mengikat dan melepaskan. Paulus dalam 2 Timotius 2:2 juga menulis agar ajaran diteruskan “kepada orang-orang yang dapat dipercayai.” Dengan kata lain, ada kesinambungan pengajaran yang tidak boleh putus.

Konsili Vatikan II, lewat Dei Verbum (1965), menegaskan bahwa Kitab Suci dan Tradisi adalah satu kesatuan yang dijaga untuk mencegah penafsiran sewenang-wenang. Tanpa Tradisi, iman mudah larut dalam relativisme modern. Dengan Tradisi, Gereja tetap utuh, misalnya dalam pengajaran tentang Ekaristi yang sejak awal diwariskan para rasul (1 Kor. 11:23–26).

Sepanjang sejarah, Magisterium menjaga kemurnian iman melalui konsili-konsili besar. Konsili Efesus (431 M) menegaskan Maria sebagai Theotokos. Konsili Trente (1545–1563) merespons Reformasi dengan meneguhkan kanon Kitab Suci dan sakramen. Lumen Gentium (Vatikan II, 1964) bahkan menyebut bahwa Magisterium, dengan bantuan Roh Kudus, “tidak dapat salah dalam hal iman.”

Di abad ke-21, Magisterium tidak berhenti berperan. Paus Fransiskus lewat ensiklik Laudato Si’ (2015) menerapkan iman pada isu ekologi. Hal ini menegaskan bahwa Magisterium bukan lembaga kaku, melainkan dinamis, relevan, dan setia pada Kristus.

Tanpa Magisterium, iman mudah terpecah. Fakta sejarah Reformasi menjadi bukti. Namun dengan Magisterium, Gereja tetap satu, kudus, katolik, dan apostolik (Efesus 4:5).

Bukti Sejarah Ketahanan Gereja Katolik

Sejarah adalah saksi. Dari penganiayaan kaisar Nero, perpecahan internal, hingga badai sekularisme modern, Gereja tetap berdiri. Kisah Para Rasul 5:39 pernah mencatat perkataan Gamaliel: “Jika dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkannya.” Benar saja, Gereja terbukti tak bisa dipadamkan.

Suksesi apostolik menjadi bukti awal. Eusebius, dalam Church History (sekitar 325 M), mencatat garis uskup Roma sejak Petrus. Augustine di abad ke-4 menegaskan otoritas itu sebagai warisan apostolik.

Abad Pertengahan, meski dilanda Skisma Barat, Gereja bangkit lewat Konsili Konstanz. Reformasi memang mengguncang, tetapi Konsili Trente memperkuat doktrin. Misionaris seperti Fransiskus Xaverius membawa iman ke Asia.

Abad ke-20 menghadirkan tantangan baru: totalitarianisme. Paus Pius XII bersuara melawan Nazisme, sementara Yohanes Paulus II berperan besar dalam jatuhnya komunisme di Eropa Timur. Kini, dengan 1,3 miliar umat di seluruh dunia, Gereja benar-benar mewujudkan kata-kata Yesus dalam Matius 24:14: Injil diberitakan kepada segala bangsa. 

Iman yang Tak Tergoyahkan

Kita telah melihat satu benang merah. Iman Katolik kokoh bukan karena kekuatan manusia, melainkan karena didirikan oleh Kristus, dijaga oleh Tradisi, dan diteruskan oleh Magisterium. 1 Timotius 3:15 menyebut Gereja sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran.”

Di dunia yang terus berubah, iman Katolik menjadi jangkar yang memberi stabilitas. Ia bukan sekadar peninggalan sejarah, tetapi warisan hidup yang mengundang setiap orang untuk masuk ke dalam persatuan. Doa Yesus dalam Yohanes 17:21 tentang kesatuan umat terus menggema.

Iman ini bukan milik masa lalu. Ia adalah cahaya bagi masa depan. Dan karena akarnya ilahi, cahaya itu akan terus bersinar, melewati segala zaman. 

Daftar Pustaka

  1. The Holy See. (n.d.). Catechism of the Catholic Church. Vatican.va. Diakses dari https://www.vatican.va/archive/ENG0015/_INDEX.HTM
  2. Ignatius of Antioch. (n.d.). Epistle to the Smyrnaeans. New Advent. Diakses dari https://www.newadvent.org/fathers/0109.htm
  3. Irenaeus of Lyons. (n.d.). Against Heresies. New Advent. Diakses dari https://www.newadvent.org/fathers/0103.htm
  4. Tertullian. (n.d.). The Prescription Against Heretics. New Advent. Diakses dari https://www.newadvent.org/fathers/0311.htm
  5. Cyprian of Carthage. (n.d.). Epistles. New Advent. Diakses dari https://www.newadvent.org/fathers/0506.htm
  6. Second Vatican Council. (1965). Dei Verbum: Dogmatic Constitution on Divine Revelation. Vatican.va. Diakses dari https://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_const_19651118_dei-verbum_en.html
  7. Second Vatican Council. (1964). Lumen Gentium: Dogmatic Constitution on the Church. Vatican.va. Diakses dari https://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_const_19641121_lumen-gentium_en.html
  8. Pope Francis. (2015). Laudato Si': On Care for Our Common Home. Vatican.va. Diakses dari https://www.vatican.va/content/francesco/en/encyclicals/documents/papa-francesco_20150524_enciclica-laudato-si.html
  9. Eusebius. (n.d.). Church History. New Advent. Diakses dari https://www.newadvent.org/fathers/2501.htm
  10. Augustine of Hippo. (n.d.). Letter 53. New Advent. Diakses dari https://www.newadvent.org/fathers/1102053.htm
  11. Bible Gateway. (n.d.). Matthew 16:18 (NIV). Biblegateway.com. Diakses dari https://www.biblegateway.com/passage/?search=Matthew%2016%3A18&version=NIV
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org