Katolik Teguh, Para Martir Saksi Iman
| Stefanus contoh iman orang Kristen yang teguh tidak tergoyahkan. |
Oleh Dr. RD Laurentius Prasetyo
Dalam tradisi Gereja Katolik, nama Stefanus selalu disebut
dengan penuh hormat. Ia dikenal sebagai diakon pertama yang berani bersaksi
tentang Kristus di hadapan Sanhedrin. Kisahnya dicatat dalam Kisah Para
Rasul 6–7.
Stefanus bukan hanya seorang pengajar yang fasih, melainkan
seorang pelayan yang penuh Roh Kudus. Keberaniannya menegur pemimpin agama
Yahudi kala itu menyalakan amarah besar. Ia dituduh menghujat hukum Taurat,
lalu diseret keluar kota dan dirajam dengan batu.
Stefanus, Martir Pertama dan Api yang Menyala
Dalam sejarah iman, Stefanus dikenang sebagai martir pertama. Darahnya menjadi benih bagi Gereja, sebagaimana kelak ditulis Tertulianus: "Sanguis martyrum, semen christianorum" yaitu darah para martir adalah benih bagi orang Kristen.
Kesaksian Stefanus meneguhkan bahwa
iman bukan sekadar teori atau dogma, melainkan pilihan hidup yang rela
dipertaruhkan sampai akhir.
Kematian Stefanus menggema hingga kini. Doanya yang memohon
agar para algojonya diampuni, “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada
mereka” (Kis. 7:60), menjadi teladan kasih yang melampaui kebencian. Semangat
inilah yang mengalir dalam deretan para martir sesudahnya, dari Roma kuno
hingga tanah Nusantara.
Roma Kuno dan Jejak Darah Para Martir
Setelah Stefanus, ratusan bahkan ribuan orang Kristen awal
menghadapi penganiayaan. Kaisar Nero, pada pertengahan abad pertama, terkenal
karena kekejamannya. Api besar yang melanda Roma dijadikan alasan untuk menuduh
umat Kristen. Banyak dari mereka yang dibakar hidup-hidup sebagai “lampu jalan”
di taman istana, atau dilemparkan ke arena untuk diterkam binatang buas.
Di antara yang paling terkenal adalah Rasul Petrus dan Rasul
Paulus. Petrus disalibkan terbalik di Bukit Vatikan, Paulus dihukum pancung di
Roma. Keduanya menutup hidup dengan kesaksian teguh tentang Kristus.
Seiring berjalannya waktu, daftar panjang martir terus
bertambah. Di Kartago, Afrika Utara, Perpetua dan Felisitas menjadi contoh iman
yang tak tergoyahkan. Perpetua adalah seorang bangsawan muda, sementara
Felisitas seorang budak yang sedang hamil. Keduanya memilih bertahan dalam iman
meski harus menghadapi binatang buas di arena gladiator. Kisah mereka menjadi
inspirasi bagi banyak orang bahwa iman melampaui status sosial.
Martir lain yang dikenang Gereja adalah Agnes, gadis belia
yang memilih mempertahankan imannya ketimbang tunduk pada tekanan menikah
dengan seorang bangsawan kafir. Ia dihukum mati pada usia 12 tahun.
Semua kisah ini memperlihatkan pola yang sama: iman yang
teguh, keberanian menghadapi maut, dan cinta yang melampaui ketakutan. Para
martir menjadi saksi bahwa Injil bukan sekadar ajaran, melainkan kehidupan yang
diperjuangkan dengan segenap jiwa.
Saksi Iman di Tanah Asia dan Nusantara
Seiring penyebaran Injil ke Asia, benih iman juga ditanam
dengan darah martir. Di Jepang, abad ke-16 dan 17, penganiayaan terhadap orang
Kristen mencapai puncaknya. Lima puluh enam martir di Nagasaki, termasuk Paul
Miki dan kawan-kawannya; disalibkan sambil menyanyikan pujian. Kesaksian mereka
menyalakan api iman yang bertahan dalam gereja bawah tanah Jepang selama
berabad-abad.
Di Korea, Andrew Kim Taegon, imam pertama bangsa Korea,
dipenggal pada 1846. Umat awam juga tak terhitung jumlahnya yang rela mati demi
Kristus. Gereja Korea kini mengenang lebih dari 10.000 martir, meski yang
dikanonisasi resmi berjumlah 103.
Nusantara pun menyimpan jejak saksi iman yang berharga. Satu
kisah yang lebih otentik datang dari perjalanan Pastor Antonio Ventimiglia,
imam misionaris Ordo Theatin asal Goa, India. Ia tiba di Banjarmasin pada 2
Februari 1688, lalu kembali menetap pada 18 Januari 1689. Dengan pendekatan
budaya yang hangat dan penguasaan bahasa Dayak Ngaju, ia berhasil menyentuh
hati ribuan orang. Catatan sejarah menyebut, dalam waktu singkat ia membaptis
sekitar 3.000 orang Dayak di pedalaman sepanjang Sungai Kapuas, termasuk di
Manusup.
Namun karya besar itu tidak berlangsung lama. Dalam situasi
politik dan sosial yang kompleks di Kalimantan kala itu, kehadiran misi Katolik
menimbulkan ketegangan. Pastor Ventimiglia akhirnya wafat secara tragis sekitar
tahun 1691–1692. Meski nyawanya terputus, benih iman yang ia taburkan tetap
hidup, bahkan meninggalkan jejak budaya: tanda salib yang diperkenalkannya
masih dipelihara masyarakat Dayak dalam simbol-simbol adat mereka.
Kisah Pastor Ventimiglia menjadi bukti bahwa saksi iman
tidak selalu meninggalkan catatan gemerlap, melainkan jejak yang tenang,
tertanam dalam ingatan kolektif umat dan budaya setempat.
Tak ketinggalan, di Indonesia modern, sejumlah imam dan
suster yang bekerja di daerah konflik, seperti Poso dan Papua, menghadapi
ancaman nyata. Mereka mungkin tidak selalu gugur sebagai martir, tetapi
keberanian mereka tetap sejiwa dengan kesaksian para martir Gereja.
Martir: Cermin Iman Katolik Sepanjang Zaman
Apakah arti martir bagi umat Katolik masa kini? Dalam dunia
yang relatif lebih bebas, martir tidak selalu berarti mati demi iman. Martir
adalah kesaksian—kadang melalui penderitaan, kadang melalui kesetiaan
sehari-hari.
Paus Fransiskus menyebut bahwa di abad modern ini ada martir
darah dan martir putih. Martir darah adalah mereka yang
sungguh-sungguh menyerahkan nyawa, seperti umat di Timur Tengah yang terbunuh
oleh terorisme. Martir putih adalah mereka yang menanggung kesulitan,
pengucilan, bahkan cemooh karena memilih hidup sesuai Injil.
Di tengah godaan materialisme, relativisme, dan arus
sekularisasi, umat Katolik dipanggil menjadi saksi. Teguh dalam iman, meski
tidak selalu berhadapan dengan pedang atau api. Kesaksian sederhana yakni kejujuran
di tempat kerja, kesetiaan dalam keluarga, belarasa pada kaum miskin; menjadi
martir sehari-hari.
Namun, mengingat sejarah para martir sejak Stefanus hingga
Nusantara, umat Katolik diingatkan bahwa iman sejati selalu menuntut
keberanian. Martir bukan kisah masa lalu belaka, melainkan cermin yang
memantulkan panggilan setiap orang beriman: setia sampai akhir.
Kisah para martir adalah kisah tentang iman yang teguh. Dari
Stefanus yang pertama dirajam, para martir Roma yang menghadapi singa, hingga
saksi iman di Asia dan Nusantara, semuanya berbicara dalam bahasa yang sama:
kasih yang tidak menyerah pada maut.
Seperti benih yang jatuh ke tanah, darah para martir menumbuhkan Gereja. Iman Katolik hari ini berdiri di atas kesaksian mereka.
Maka, setiap kali umat merayakan Ekaristi, doa untuk para martir senantiasa
hadir: agar umat kini pun dikuatkan menjadi saksi iman di zamannya sendiri.