Yesus Tuhan Orang Hidup dan Orang Mati
Yesus berkuasa atau Tuhan atas orang hidup dan orang mati dan Ia mengalami serta mengalahkan kematian itu sendiri. Ist. |
Oleh Brenda Prasasti Anastasia Pujilestari
Ada sebuah kalimat yang menggetarkan dari Rasul Paulus: Kristus
telah mati dan hidup kembali, untuk inilah Ia menjadi Tuhan baik atas orang
mati maupun orang hidup (Roma 14:9).
Ungkapan itu sederhana, tetapi bobotnya berat. Paulus
menulisnya di tengah perdebatan jemaat Roma tentang makanan, hari raya, dan
perbedaan cara hidup. Ia menutup perdebatan itu dengan dasar yang lebih besar:
Yesus, yang mati dan bangkit, kini memiliki otoritas atas segalanya. Bukan
hanya mereka yang masih bernapas, tetapi juga mereka yang sudah terbaring di
tanah.
Kita terbiasa mengaitkan Yesus dengan kehidupan. Injil
menceritakan penyembuhan orang sakit, pemberian makan bagi yang lapar, bahkan
kebangkitan Lazarus. Tetapi Paulus berbicara lebih jauh. Ia menyebut Yesus
sebagai Tuhan atas hidup dan mati. Ada kontinuitas. Tidak ada wilayah yang
tidak dikuasai Kristus: baik dunia yang penuh cahaya maupun lembah gelap.
Konteks ini penting. Roma abad pertama adalah kota besar
dengan aneka latar budaya, termasuk Yahudi dan non-Yahudi. Jemaat bertumbuh di
tengah tarik-menarik kebiasaan lama dan iman baru. Paulus tidak sekadar
menertibkan aturan makan atau kalender ibadah. Ia mengingatkan bahwa dasar
hidup orang Kristen bukanlah adat atau ritual, melainkan Yesus yang mati dan
bangkit. Kebangkitan itu menegaskan: Kristus tidak hanya Tuhan orang hidup,
melainkan juga orang mati.
Allah Orang Hidup, Bukan Orang Mati
Kita beralih ke sebuah percakapan dramatis. Dalam Injil
Matius, Markus, dan Lukas, Yesus berhadapan dengan kelompok Saduki. Mereka
tidak percaya kebangkitan. Dengan cerdik, mereka melontarkan kasus hipotetis:
seorang perempuan menikah dengan tujuh saudara, satu demi satu, sesuai hukum
levirat. Siapa yang akan menjadi suaminya di kebangkitan?
Yesus menjawab dengan ketegasan sekaligus kelembutan. Ia
mengutip kitab Taurat, bagian yang dihormati Saduki. Aku Allah Abraham,
Allah Ishak, Allah Yakub. Lalu Ia menambahkan: Allah bukanlah Allah
orang mati, melainkan Allah orang hidup.
Kata-kata itu memotong diskusi. Abraham, Ishak, Yakub,
secara jasmani sudah mati. Tetapi di hadapan Allah, mereka hidup. Relasi dengan
Allah tidak berhenti di liang kubur. Allah adalah Allah orang hidup.
Sekilas, ucapan ini berbicara tentang Bapa. Namun
implikasinya mengarah pada Yesus sendiri. Jika Allah Bapa adalah Allah orang
hidup, maka Anak yang diutus, yang kelak mati dan bangkit, adalah wujud paling
nyata dari janji itu. Ia hadir sebagai jaminan bahwa kematian bukan akhir. Dan
orang yang hidup dalam relasi dengan-Nya, akan tetap hidup sekalipun jasadnya
membusuk.
Kristus yang Menghakimi Hidup dan Mati
Surat 2 Timotius memberi gambaran lain. Paulus, menjelang
akhir hidupnya, menulis kepada anak rohaninya: Aku menasihatimu di hadapan
Allah dan Kristus Yesus, yang akan menghakimi orang hidup dan orang mati.
Nada kalimat ini serius, bahkan khidmat. Paulus seakan berdiri di ruang sidang
surgawi, di mana Hakim Agung duduk di kursi-Nya.
Kristus bukan sekadar Guru yang bijak. Ia adalah Hakim yang
akan menilai sejarah. Penghakiman itu menyentuh semua: yang masih hidup pada
saat kedatangan-Nya, maupun yang sudah mati sejak lama. Tidak seorang pun di
luar jangkauan.
Bayangkan sejenak. Dunia yang penuh ketidakadilan, di mana
orang lemah sering terinjak, dan suara korban hilang di balik sorak pemenang.
Paulus menegaskan, semua akan diadili. Mereka yang sudah mati sekalipun, tidak
akan luput dari mata Kristus. Inilah sumber penghiburan sekaligus peringatan.
Ketika kita membaca kalimat itu, ada getaran ganda. Ada rasa
takut, sebab hidup kita telanjang di hadapan Dia yang adil. Tetapi ada juga
rasa lega, karena tidak ada ketidakadilan yang akan dibiarkan selamanya. Hakim
hidup dan mati akan menegakkan keadilan-Nya.
Aku Memegang Kunci Maut
Kitab Wahyu memberi lapisan terakhir pada gambaran ini.
Yohanes, dalam penglihatannya di Patmos, melihat Kristus yang mulia. Suara itu
berkata: Jangan takut. Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Hidup. Aku
telah mati, namun lihat, Aku hidup untuk selama-lamanya. Dan Aku memegang kunci
maut dan kerajaan maut.
Kata-kata ini puitis, sekaligus penuh simbol. “Kunci”
melambangkan otoritas. Yang memegang kunci dapat membuka atau menutup pintu.
Jika Kristus memegang kunci maut, itu berarti Ia berdaulat atas wilayah yang
paling menakutkan bagi manusia: kematian.
Pengalaman manusia terhadap kematian adalah kehilangan. Kita
tidak punya kuasa melawannya. Tetapi Yesus berkata: Ia telah mati, lalu hidup.
Pengalaman itu memberinya hak untuk memegang kunci. Ia tahu gelapnya kubur,
tetapi Ia juga tahu cahaya kebangkitan. Itulah yang membuat-Nya layak disebut
Tuhan orang mati dan orang hidup.
Simbol ini menghibur gereja perdana yang dikejar-kejar
kekuasaan Romawi. Mereka yang diseret ke arena dan mati sebagai martir, percaya
bahwa Kristus memegang kunci maut. Mereka mati bukan ke dalam kehampaan,
melainkan ke dalam tangan Dia yang sudah melewati kematian dan keluar sebagai
pemenang.
Untuk Kita
Apa artinya semua ini bagi kita sekarang? Pertama, kesadaran
bahwa hidup kita tidak netral. Paulus menulis di Roma: janganlah kita
menghakimi saudara, sebab semua akan berdiri di hadapan takhta Kristus. Hidup
kita sekarang, pilihan, sikap, perbuatan, akan diuji oleh Dia yang menguasai
hidup dan mati.
Kedua, kematian bukanlah kata terakhir. Dalam Injil, Yesus
menegaskan bahwa Allah adalah Allah orang hidup. Dalam Wahyu, Kristus berkata
Ia memegang kunci maut. Ini berarti orang yang percaya tidak ditelan kegelapan
kubur. Ada kehidupan yang berlanjut, ada janji kebangkitan.
Ketiga, iman kepada Kristus memberi kebebasan dari
ketakutan. Banyak orang menjalani hidup dengan bayangan kematian. Tetapi jika
Kristus adalah Tuhan atas hidup dan mati, kita dapat berjalan lebih ringan.
Bukan berarti kematian tidak menyakitkan, tetapi ia tidak lagi absolut. Ia
telah ditaklukkan.
Keempat, berita ini mengundang kita melihat sesama dengan
perspektif baru. Jika Kristus berdaulat atas semua, baik yang hidup maupun yang
mati, maka kita tidak punya hak untuk merendahkan atau menyingkirkan siapa pun.
Semua orang ada dalam jangkauan kasih dan penghakiman-Nya. Itu sebabnya Paulus,
di tengah perdebatan jemaat, menekankan: jangan memandang rendah, jangan
menghakimi.
Akhirnya, ini adalah panggilan untuk percaya. Percaya bahwa
Yesus, yang pernah mati, kini hidup. Percaya bahwa kuasa-Nya tidak dibatasi
oleh usia, penyakit, atau liang kubur. Percaya bahwa Ia adalah Tuhan, bukan
hanya atas orang yang bernapas hari ini, tetapi juga atas mereka yang sudah
lebih dulu mendahului kita.
Tuhan kita itu
Kalimat Paulus di Roma 14:9 adalah inti: Yesus Kristus mati
dan bangkit untuk menjadi Tuhan orang hidup dan orang mati. Dari situ, kita
melihat gema di seluruh Perjanjian Baru. Yesus yang menegaskan bahwa Allah
adalah Allah orang hidup. Yesus yang akan menghakimi orang hidup dan mati.
Yesus yang memegang kunci maut.
Narasi besar ini mengikat satu benang merah. Kristus
berdaulat penuh. Tidak ada ruang hidup yang di luar jangkauan-Nya. Tidak ada
liang kubur yang bisa menahan kuasa-Nya. Ia adalah Tuhan, dari yang masih
bernapas maupun yang sudah terbaring. Dan di situlah kita menaruh pengharapan.
Penulis seorang awam Katolik, warga paroki St. Theresia, di Keuskupan Agung Jakarta.