Credo Katolik: Pemersatu Gereja dan Fondasi Iman Sepanjang Zaman
.
Credo Katolik bertahan sepanjang zaman: mengokohkan, sekaligus menyatukan. |
Oleh Br. Cosmas Damianus Baptista
Credo Katolik bukan sekadar susunan kata, melainkan pengakuan iman yang telah menjaga kesatuan Gereja sejak abad-abad pertama. Dalam syahadat ini, umat Katolik di seluruh dunia menemukan fondasi iman yang sama, meski berbeda bahasa, budaya, dan tradisi lokal.
Dari Konsili Nicea hingga misa harian. Credo terus menjadi jembatan yang merangkul umat beriman lintas zaman dan tempat.
Apa Itu Credo?
Setiap orang beriman pasti pernah bertanya dalam hati: apa
yang sebenarnya saya imani? Dalam tradisi Katolik, jawaban yang paling
singkat, padat, sekaligus resmi untuk pertanyaan itu ada dalam Credo.
Kata ini berasal dari bahasa Latin credo yang berarti “aku percaya”.
Maka ketika umat Katolik mengucapkannya dalam Misa, bukan sekadar membacakan
teks kuno, melainkan menyatakan keyakinan pribadi sekaligus bergabung dengan
suara Gereja sedunia.
Credo menjadi seperti fondasi rumah iman. Ia merangkum
keyakinan dasar: tentang Allah, tentang Yesus Kristus, tentang Roh Kudus,
tentang Gereja, tentang pengampunan dosa, kebangkitan badan, dan hidup kekal.
Bagi Gereja Katolik, Credo tidak hanya berfungsi sebagai teks liturgis, tetapi
juga sebagai rumusan iman resmi yang menyatukan umat lintas bahasa,
budaya, dan zaman.
Fungsi Credo setidaknya ada tiga. Pertama, sebagai
ringkasan iman. Dalam kalimat-kalimat singkat, umat Katolik mendapatkan
gambaran besar tentang misteri iman yang mereka hayati. Kedua, sebagai alat
katekese, Credo dipakai dalam pengajaran, khususnya untuk calon baptis,
agar mereka memahami inti iman sebelum menerima sakramen. Ketiga, sebagai
pengikat kesatuan, Credo memastikan bahwa umat Katolik dari Roma hingga
Jakarta, dari Amerika Latin hingga Afrika, mendaraskan iman yang sama.
Saat Credo diucapkan, kita tidak hanya menyatakan iman
pribadi, melainkan juga menyatukan suara dengan seluruh Gereja. Itulah sebabnya
Credo disebut juga sebagai “simbol iman”: tanda yang menyatukan kita semua.
Sejarah Perjalanan Credo
Sejarah Credo adalah sejarah perjuangan Gereja
mempertahankan iman. Pada abad-abad pertama, umat Kristen tidak punya teks baku
seperti yang kita kenal sekarang. Mereka hanya punya formula singkat yang
diucapkan saat baptisan: “Aku percaya akan Allah Bapa, Putra, dan Roh
Kudus.” Seiring waktu, formula ini berkembang.
Salah satu bentuk tertua adalah Credo Para Rasul (Apostles’
Creed). Tradisi menyebut bahwa isinya berasal dari para rasul sendiri,
meskipun para ahli sejarah menyatakan bahwa teks ini baru terbentuk penuh
sekitar abad ketiga. Namun intinya tetap sama: sebuah ringkasan iman yang
sederhana namun padat.
Situasi berubah ketika Gereja menghadapi ajaran sesat. Pada
abad ke-4, muncullah Arianisme yang menyangkal keilahian Yesus.
Baca Arianisme Menolak Keilahian Yesus: Bid'ah yang tak Pernah Menggoyahkan Iman Kristen
Ajaran Arianisme ini mengganggu iman Gereja, sehingga para
uskup berkumpul dalam Konsili Nicea tahun 325. Di sana, mereka
menegaskan: Yesus Kristus adalah sehakikat dengan Bapa, bukan ciptaan.
Rumusan iman ini kemudian dilengkapi dalam Konsili Konstantinopel tahun 381,
terutama mengenai Roh Kudus. Dari sinilah lahir Credo Nikea-Konstantinopel
yang panjang, detail, dan dipakai sampai sekarang dalam Misa.
Sejarah Credo adalah sejarah perjuangan iman melawan reduksi
atau penyimpangan. Credo membentengi Gereja, sekaligus menegaskan identitasnya
di tengah dunia. Tidak heran bila setiap kata dalam Credo dipilih dengan
hati-hati, seringkali melalui perdebatan teologis yang sengit.
Di Indonesia sendiri, Credo diterjemahkan ke dalam bahasa
setempat agar umat dapat memahami dan mengucapkannya dengan sepenuh hati. Namun
meski berbeda bahasa, isi dan makna Credo tetap sama: satu iman, satu Gereja.
Isi dan Struktur Credo
Secara umum, ada dua Credo utama yang dipakai dalam Gereja
Katolik: Credo Para Rasul dan Credo Nikea-Konstantinopel.
Credo Para Rasul
Credo ini lebih singkat. Ia terbagi dalam tiga bagian:
- Allah
Bapa, Sang Pencipta.
- Yesus
Kristus, Putra Allah yang wafat dan bangkit.
- Roh
Kudus, Gereja, dan harapan akan kebangkitan serta kehidupan kekal.
Inilah Credo yang sering dipakai dalam doa pribadi, Rosario,
maupun upacara baptis. Ringkas, padat, namun menyeluruh.
Credo Nikea-Konstantinopel
Credo ini lebih panjang dan detail. Ia menegaskan:
- Allah
adalah Pencipta segalanya, yang kelihatan maupun tak kelihatan.
- Yesus
Kristus adalah Allah sejati dari Allah sejati, sehakikat dengan Bapa, yang
demi keselamatan manusia turun ke dunia, wafat, bangkit, naik ke surga,
dan akan datang kembali mengadili.
- Roh
Kudus adalah Tuhan yang menghidupkan, yang bersama Bapa dan Putra disembah
dan dimuliakan.
- Gereja
adalah satu, kudus, katolik, dan apostolik.
- Ada
satu baptisan untuk pengampunan dosa, serta harapan kebangkitan dan
kehidupan kekal.
Credo Nikea-Konstantinopel (Nicene-Constantinopolitan
Creed)
Teks lengkapnya dalam Bahasa Indonesia:
Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan;
dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal. Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa; segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Ia turun dari surga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita. Ia dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh perawan Maria, dan menjadi manusia. Ia pun disalibkan untuk kita, waktu Pontius Pilatus; Ia menderita sampai wafat dan dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci. Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa. Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati; kerajaan-Nya tak akan berakhir.
Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia berasal dari Bapa dan Putra, yang serta Bapa dan Putra, disembah dan dimuliakan; Ia bersabda dengan perantaraan para nabi.
Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. aku mengakui satu pembaptisan akan penghapusan dosa. aku menantikan kebangkitan orang mati dan hidup di akhirat.
Amin.
Perbandingan Credo Para Rasul dan Credo Nikea-Konstantinopel
Perbedaan kedua Credo ini mencerminkan situasi sejarahnya. Credo Para Rasul lahir dari kebutuhan sederhana: meneguhkan iman baptisan. Sedangkan Credo Nikea lahir dari pergulatan teologis melawan ajaran sesat. Namun keduanya mengarah pada hal yang sama: pernyataan iman yang teguh akan Allah Tritunggal dan karya keselamatan-Nya.
Aspek | Credo Para Rasul | Credo Nikea-Konstantinopel |
---|---|---|
Panjang | Lebih pendek dan padat | Lebih panjang & rinci |
Fokus Kristologi | Mengandung semua elemen pokok (kelahiran, penderitaan, kebangkitan, kenaikan, penghakiman) | Menambahkan elemen teologis seperti “Allah dari Allah”, “Terang dari Terang”, sehakikat dengan Bapa (homoousios), dan aspek penciptaan oleh Dia semua yang kelihatan dan yang tak kelihatan |
Kegunaan | Baptisan, doa-doa pribadi, liturgi tertentu | Liturgi utama Misa, dalam situasi Gereja mengungkapkan doktrin-doktrin yang penting dan menghadapi tantangan teologis |
Makna Teologis Credo
Credo bukanlah sekadar kumpulan kata, melainkan lautan
makna. Setiap kalimat mengandung kedalaman teologis yang luar biasa. Mari kita
soroti beberapa pokok penting.
a. Allah Tritunggal
Credo dimulai dengan pengakuan akan Allah Bapa, dilanjutkan dengan Putra, dan
ditutup dengan Roh Kudus. Inilah jantung iman Kristen: satu Allah dalam tiga
pribadi. Misteri Tritunggal menegaskan bahwa Allah adalah kasih, relasi, dan
persekutuan.
b. Yesus Kristus, Putra Allah
Dalam Credo Nikea, Yesus ditegaskan sebagai Allah dari Allah, Terang dari
Terang, Allah benar dari Allah benar. Ungkapan ini muncul sebagai jawaban
terhadap Arianisme. Gereja menegaskan: Yesus bukan ciptaan, melainkan Allah
sejati. Melalui inkarnasi, salib, dan kebangkitan-Nya, manusia memperoleh
keselamatan.
c. Roh Kudus, Tuhan yang menghidupkan
Credo menyebut Roh Kudus sebagai Tuhan yang berbicara lewat para nabi. Artinya,
Roh Kudus selalu aktif dalam sejarah, menginspirasi Kitab Suci, memimpin
Gereja, dan menghidupkan umat. Tanpa Roh Kudus, Gereja hanyalah organisasi;
dengan Roh Kudus, Gereja menjadi Tubuh Kristus yang hidup.
d. Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik
Empat sifat Gereja ini (notae ecclesiae) adalah ciri khas Katolik. “Satu”
menandakan kesatuan dalam iman dan sakramen. “Kudus” berarti dipanggil untuk
hidup dalam kesucian. “Katolik” berarti universal, terbuka untuk semua bangsa.
“Apostolik” berarti berakar pada tradisi dan ajaran para rasul.
e. Harapan akan kebangkitan dan kehidupan kekal
Credo ditutup dengan pengakuan iman akan kebangkitan badan dan hidup kekal. Ini
adalah puncak iman: dunia bukan akhir dari segalanya. Ada kehidupan baru yang
dijanjikan Allah.
Relevansi Credo di Zaman Sekarang
Pertanyaan yang sering muncul: Apa gunanya Credo bagi
kita hari ini? Bukankah ia hanya teks tua dari abad-abad lalu?
Pertama, Credo mengingatkan kita akan identitas iman.
Di tengah dunia yang serba plural dan relatif, Credo menegaskan bahwa umat
Katolik punya keyakinan yang jelas: Allah Tritunggal, Kristus yang bangkit, Roh
Kudus yang menghidupkan, Gereja yang kudus, dan harapan akan kehidupan kekal.
Kedua, Credo adalah penuntun moral. Jika kita percaya
bahwa Allah adalah Pencipta, maka kita wajib menjaga ciptaan. Jika kita percaya
pada pengampunan dosa, maka kita harus hidup dalam semangat pertobatan dan
pengampunan.
Ketiga, Credo memperkuat kesatuan Gereja. Di manapun
umat Katolik berada, entah dari kapel kecil di pedalaman Flores, pedalaman
Kalimantan, pulau Sulawesi, hingga
basilika agung di Roma; mereka mengucapkan kata-kata yang sama. Inilah simbol
persaudaraan sejati.
Keempat, Credo menantang kita untuk menghayati iman secara nyata. Mengucapkan “Aku percaya” berarti berani hidup sesuai iman itu. Tantangan terbesar bukanlah menghafal Credo, melainkan mewujudkannya dalam hidup sehari-hari: dalam keluarga, pekerjaan, pelayanan, dan sikap sosial.
Credo Katolik adalah jantung iman
Credo Katolik adalah jantung iman. Ia lahir dari sejarah
panjang, dirumuskan dengan penuh pergumulan, dan dipelihara Gereja hingga kini.
Ia bukan sekadar teks yang dibaca setiap Minggu, melainkan janji iman yang
dihidupi.
Saat kita berkata “Aku percaya”, itu bukan sekadar kata, tetapi sebuah komitmen hidup. Credo adalah undangan untuk terus menghidupi iman, bukan hanya mengucapkannya di bibir, melainkan mewujudkannya dalam kasih kepada Allah dan sesama.