Arianisme Menolak Keilahian Yesus: Bid'ah yang tak Pernah Menggoyahkan Iman Kristen
Arianisme Menolak Keilahian Yesus; meski yang ditotak tetap ada. |
Oleh Rev.Mikael Dou Lodo, S.T.L.
Menolak artinya tidak mengakui eksistensi suatu yang ada. Hal yang ditotak itu tetap ada, hanya tiak diakuinya. Diakui berarti: dijadikan milik-sendiri, dipegang teguh sebagai milik. Dijadikan pedoman, petunjuk, dan cahaya dalam hidup.
Demikian Arianisme menolak Kelilahian Yeus, bid;ah yang tak pernah meruntuhkan iman Kristen sepanjang zaman.
Saya masih ingat pertama kali mendengar tentang Arianisme di
kuliah Teologi Fundamental dan Sejarah Gereja di STFT di Malang, di mana dosen
kami menyebutnya sebagai “bid’ah kuno yang hampir memecah Kekristenan.”
Isu Yesus bukan-Tuhan ini sudah terjadi 18 abad. Bukti orang Kristen teguh imannya. Sudah selesai debat terkait keilahian dan kemanusiaan Yesus itu. Bagi orang Kristen, hal itu bukan soal. Sebab telah jelas lagi terang benderang dalam pengakuan iman yang dasarnya Kitab Suci, bukti-bukti perbuatan ajaib (perbuatan ilahi) Yesus, bangkit dari mati, dan naik ke surga.
Esai ini akan menelusuri Arianisme dari multifaset, yakni: sejarah
kemunculannya, doktrin utamanya, respons gereja, dampaknya, dan kenapa ia gagal
mengubah iman Kristen. Saya akan coba jelaskan dengan cara yang sederhana tapi
mendalam, sambil sesekali menyisipkan refleksi dari sudut pandang kita di
Indonesia, di mana isu-isu teologi kadang terasa jauh tapi tetap punya gaung.
Saya juga akan merujuk pada tulisan-tulisan Bapa Gereja
seperti Athanasius, plus beberapa sarjana modern, untuk memastikan argumennya
kuat. Oh ya, meskipun ada yang bilang Arianisme relevan lagi di abad XX atau
bahkan sekarang (mungkin karena kelompok seperti SY), saya rasa isu
ini sebenarnya cuma “hantu lama” yang tak pernah benar-benar mengguncang
fondasi iman Kristen.
Arianisme, yang muncul pada abad ke-4, memang jadi topik yang selalu menarik perhatian saya karena ia berani menantang sesuatu yang begitu mendasar bagi iman Kristen: keilahian Yesus Kristus. Doktrin ini, yang dipelopori oleh Arius, seorang pendeta dari Aleksandria, mengklaim bahwa Yesus bukan Tuhan sejati, melainkan ciptaan Allah Bapa; pandangan yang langsung bikin orang-orang waktu itu ribut. Meskipun isunya sudah berusia ratusan tahun, Arianisme tetap relevan untuk dipelajari karena menunjukkan betapa rapuhnya keyakinan kalau kita mulai main-main dengan dasar-dasar iman.
Mari kita masuk ke masa abad ke-4, ketika Kekaisaran Romawi sedang sibuk bertransisi jadi negara Kristen di bawah Kaisar Konstantinus. Tiba-tiba, muncul Arius dengan ide-ide yang bikin orang bingung: kalau Yesus bukan Tuhan sejati, lalu apa artinya karya keselamatan-Nya?
Kontroversi ini bukan cuma soal teologi, tapi juga politik, karena perpecahan gereja bisa melemahkan kekaisaran. Makanya, Konsili Nicea tahun 325 M jadi momen kunci, di mana Arianisme dikutuk sebagai bid’ah. Tapi, apakah itu akhir cerita? Ternyata tidak, karena Arianisme sempat bangkit lagi, didukung oleh beberapa kaisar dan suku-suku barbar. Namun, pada akhirnya, keyakinan Kristen ortodoks yang kita kenal sekarang yang menegaskan Yesus sebagai Tuhan sejati; tetap menang.
Sejarah Kemunculan Arianisme
Arianisme tidak tiba-tiba muncul begitu saja. Mari kita
masuk ke masa Aleksandria di abad ke-4: kota yang ramai, penuh dengan filsuf,
teolog, dan ide-ide baru. Di sinilah Arius, seorang pendeta yang katanya
karismatik, mulai mengajarkan sesuatu yang bikin orang-orang geleng-geleng
kepala. Menurutnya, Yesus adalah ciptaan pertama Allah, bukan Tuhan yang setara
dengan Bapa. Ide ini sebenarnya bukan murni ciptaan Arius; ia dipengaruhi oleh
pemikiran subordinasionisme, yang sudah ada di kalangan beberapa teolog awal,
dipadukan dengan filsafat Yunani yang lagi populer waktu itu.
Sekitar tahun 318 M, Arius mulai berselisih dengan uskupnya,
Aleksander, yang marah besar karena ajaran ini dianggap menghujat. Arius tidak
menyerah; ia menulis surat-surat, bahkan membuat lagu-lagu sederhana supaya
rakyat biasa bisa nyanyi dan ingat ajarannya. Mari kita masuk ke masa itu
sejenak: seperti lagu rohani zaman sekarang, tapi isinya bid’ah! Perseteruan
ini akhirnya sampai ke telinga Kaisar Konstantinus, yang sedang berusaha
menyatukan kekaisaran. Ia memanggil Konsili Nicea pada tahun 325 M, dihadiri
ratusan uskup, untuk menyelesaikan masalah ini. Di sana, Arius dikutuk, tapi
ceritanya tidak selesai. Dukungan dari tokoh-tokoh seperti Eusebius dari
Nikomedia dan bahkan beberapa anggota keluarga kaisar membuat Arianisme tetap
hidup, terutama di kalangan suku-suku seperti Goth dan Vandal.
Di Indonesia, kita mungkin sulit membayangkan betapa besar
dampaknya perpecahan teologi seperti ini. Tapi coba pikir: kalau di gereja
lokal kita tiba-tiba ada yang bilang Yesus bukan Tuhan, pasti heboh, kan?
Itulah yang terjadi waktu itu, dan Arianisme sempat jadi ancaman serius karena
dukungan politik. Untungnya, tokoh seperti Athanasius, yang rela diasingkan
berkali-kali, terus memperjuangkan iman ortodoks. Menurut Rowan Williams,
seorang sarjana modern, Arius sebenarnya bukan penutur ide baru, melainkan cuma
mengemas ulang pemikiran lama dengan cara yang lebih agresif. Ini menunjukkan
bahwa Arianisme adalah bagian dari pergulatan intelektual Kristen awal, tapi
akhirnya kalah oleh kebenaran yang lebih kuat.
Doktrin Utama Arianisme: Penolakan Keilahian Yesus
Inti dari Arianisme sederhana tapi kontroversial: Yesus
bukan Tuhan sejati. Arius bilang bahwa hanya Allah Bapa yang abadi dan tidak
diciptakan, sedangkan Yesus adalah makhluk pertama, diciptakan dari ketiadaan
sebelum dunia ada. Kalau dengar ini, mungkin kita langsung teringat Yohanes
1:1, “Firman itu adalah Allah,” tapi Arius punya caranya sendiri menafsirkan
ayat-ayat Alkitab. Ia suka mengutip Kolose 1:15, yang menyebut Yesus sebagai
“sulung dari segala ciptaan,” untuk membenarkan pandangannya.
Saya pernah diskusi dengan teman di kelompok belajar
Alkitab, dan kami bingung: kalau Yesus cuma ciptaan, lalu bagaimana Ia bisa
menyelamatkan kita? Itulah kelemahan besar Arianisme. Menurut Arius, Yesus
adalah semacam “dewa junior,” mirip malaikat tertinggi, yang bertugas jadi
perantara. Ini sebenarnya cerminan pemikiran Yunani, yang suka membagi dunia
antara yang ilahi dan yang diciptakan. Tapi bagi orang Kristen, ini bikin
masalah, karena kalau Yesus bukan Tuhan, karya salib-Nya jadi kurang bermakna.
Ada juga versi yang lebih lunak, yang disebut
Semi-Arianisme, yang bilang Yesus “mirip” dengan Bapa, tapi tetap tidak setara.
Ini seperti kompromi yang gagal, karena intinya tetap sama: menolak Trinitas.
Athanasius, dalam tulisannya, bilang bahwa kalau Yesus bukan Tuhan sejati, maka
keselamatan kita tidak mungkin terjadi. Saya rasa argumen ini masih relevan di
Indonesia, di mana kita sering dengar pandangan bahwa Yesus cuma nabi atau guru
moral. Maurice Wiles, seorang sarjana, menyebut Arianisme sebagai “bid’ah
arketipe” yang terus muncul dalam bentuk baru, seperti di kelompok-kelompok
non-Trinitarian modern.
Konsili Nicea dan Pengutukan Arianisme
Saat Arianisme mulai bikin gaduh, gereja tidak tinggal diam.
Mari kita masuk ke masa Konsili Nicea tahun 325 M, yang dipanggil oleh Kaisar
Konstantinus, jadi titik balik. Ratusan uskup dari seluruh Kekaisaran Romawi
berkumpul untuk debat soal iman! Di sana, mereka menyusun Kredo Nicea, yang
dengan tegas bilang bahwa Yesus adalah “Allah dari Allah, Terang dari Terang,
Allah yang benar dari Allah yang benar, dilahirkan bukan diciptakan, satu
esensi dengan Bapa.” Ini adalah pukulan telak buat Arius, yang akhirnya dikutuk
dan diasingkan.
Tapi cerita tidak berhenti di situ. Setelah Nicea, Arianisme
sempat bangkit lagi, terutama karena dukungan dari Kaisar Constantius II, yang
lebih condong ke Semi-Arianisme. Baru di Konsili Konstantinopel tahun 381 M, di
bawah Kaisar Theodosius I, Arianisme benar-benar dipukul mundur, dan Kredo
Nicea-Konstantinopel disahkan sebagai standar iman. Athanasius, yang jadi tokoh
kunci, menulis banyak bantahan, termasuk “Against the Arians,” yang bikin
argumen Arius terlihat lemah.
Saya pernah mikir, di Indonesia, kita jarang ngomongin
konsili-konsili ini, tapi coba pikir: tanpa Konsili Nicea, mungkin
gereja-gereja kita sekarang punya keyakinan yang berbeda. Lewis Ayres, seorang
sarjana, bilang bahwa Nicea bukan cuma soal politik, tapi juga soal
memperjuangkan kebenaran teologis. Itulah kenapa Arianisme akhirnya kalah.
Arianisme Tidak Mengubah Keyakinan Kristen
Arianisme memang sempat bikin heboh, terutama di kalangan
suku-suku seperti Goth dan Vandal, yang dibawa masuk oleh misionaris seperti
Ulfilas. Tapi, di Barat, ketika suku-suku seperti Frank mulai masuk Kristen
ortodoks pada abad ke-6, pengaruh Arianisme memudar. Di Timur, Konsili
Konstantinopel 381 M jadi paku terakhir di peti mati Arianisme. Yang menarik,
kontroversi ini justru memperkuat doktrin Trinitas, karena gereja dipaksa untuk
menjelaskan keyakinannya dengan lebih jelas, menghasilkan kredo yang masih kita
pakai di gereja-gereja sampai sekarang.
Di Indonesia, kita mungkin lebih sering dengar tentang Arianisme dalam konteks sejarah, tapi elemen-elemennya masih ada di kelompok-kelompok modern seperti sekte SY yang menolak keilahian Yesus. Jika menolak salah satu dari 2 kodrat Yesus memang tidak dapat disebut Kristen. "Orang disebut Kristen karena mengakui Yesus sungguh Allah dan sungguh manusia".
Menjadi Kristen tidak hanya soal mengikuti ajaran moral Yesus, tetapi juga soal iman kepada siapa Yesus itu sebenarnya. Dalam keyakinan Kristen:
- Yesus adalah sungguh Allah → Artinya, Yesus adalah bagian dari Allah sendiri, satu dengan Allah Bapa dan Roh Kudus dalam Tritunggal Mahakudus.
- Yesus adalah sungguh manusia → Artinya, Yesus benar-benar menjadi manusia, lahir dari Maria, mengalami kehidupan manusia, termasuk penderitaan dan kematian.
Iman akan Yesus yang benar-benar Allah dan benar-benar manusia adalah dasar utama iman Kristen. Tanpa pengakuan ini, seseorang tidak bisa disebut Kristen dalam arti yang sejati. Yesus di dalam diri-Nya ada dua kodrat ini diakui dalam Konsili Nicea (Tahun 325 M). Konsili Nicea adalah konsili ekumenis (seluruh Gereja) pertama yang diadakan oleh Gereja, dan diselenggarakan oleh Kaisar Konstantinus di kota Nicea (sekarang Iznik, Turki).
Namun, menurut saya, isu menolak keilahian Yesus (Arianisme) ini cuma bayang-bayang dari masa lalu. Orang Kristen sudah selesai dengan imannya. Apa pun, tidak goyah. Isu Yesus bukan-Tuhan ini sudah terjadi 18 abad. Bukti orang Kristen teguh imannya. Sudah selesai debat terkait keilahian dan kemanusiaan Yesus itu. Bagi orang Kristen, hal itu bukan soal. Sebab telah jelas dalam pengakuan iman yang dasarnya Kitab Suci, bukti-bukti perbuatan ajaib (perbuatan ilahi) Yesus, bangkit dari mati, dan naik ke surga.
Bishop Robert Barron, seorang teolog modern, bilang bahwa “hantu Arianisme” masih muncul dalam pandangan yang melihat Yesus cuma sebagai guru moral, bukan Tuhan.
Tapi, kenapa Arianisme gagal? Karena ia bertentangan dengan Alkitab dan tradisi apostolik. Keyakinan Kristen, yang berakar pada wahyu ilahi, ternyata terlalu kuat untuk digoyahkan oleh bid’ah seperti ini.