Katolik bagai Pohon Mangga, makin Dilukai kian Kokoh dan Rajin Berbuah

Katolik bertahan, dan makin berbilang-bilang jumlahnya. Mulai dengan 12 rasul, meski 1 berkhianat.
Katolik bertahan, dan makin berbilang-bilang jumlahnya dari abad ke abad sejak mula-mula mereka disebut Kristen, pengikut Yesus Kristus di Antiokia (Kisah Para Rasul 11:26).

 Oleh Sr. Felicia Tesalonika

Petani desa di Jawa punya kearifan sederhana: pohon mangga yang digores kulitnya atau dipangkas cabangnya, justru kerap menghasilkan buah lebih lebat dan manis. 

Luka itu bukan tanda kematian, melainkan pemicu kehidupan baru. Seakan pohon berjuang lebih gigih untuk melahirkan buah.

Begitu pula Gereja Katolik. Sepanjang sejarahnya, ia tumbuh bukan di ruang nyaman, melainkan di ladang luka. Semakin ditekan, semakin berakar. Semakin dihambat, semakin bersemi. Dalam kata lain, iman Katolik bukanlah pohon yang hanya tumbuh di taman istana, melainkan pohon yang tetap hidup meski ditanam di tanah gersang, di tepi jalan berbatu, bahkan di tengah ladang yang penuh duri.

Di Nusantara, sejarah Katolik sejak awal juga mengalami luka dan goresan. Portugis yang datang pada abad ke-16 membawa misi perdagangan sekaligus misi iman. Para imam Dominikan, Fransiskan, dan Yesuit menjejak di tanah Maluku, Timor, hingga Jawa. Kehadiran mereka kerap disambut dengan curiga oleh penguasa lokal. Agama impor (alokhton) dari luar Nusantara yang lebih dulu berakar di pesisir menanggapi kedatangan Misi Katolik sebagai ancaman. Bahkan sesama bangsa Eropa pun saling bertikai: Portugis bersaing dengan Belanda, dan sering kali umat Katolik menjadi korban politik dagang.

Namun, sama seperti pohon mangga, luka itu justru melahirkan buah. Komunitas-komunitas kecil tetap bertahan. Di Ambon, umat Katolik yang ditinggal tanpa imam bertahun-tahun, tetap berdoa, membaptis anak-anak mereka dengan tradisi setempat, dan menjaga iman. Mereka menjadi saksi bahwa iman bisa bertahan di luar dukungan struktural.

Di sinilah kita melihat paradoks Katolik: ia tidak hidup karena dilindungi kekuasaan, melainkan justru karena luka itu sendiri.

Darah Martir, Sejak Santo Stefanus, Menjadi Benih yang Hidup

Sejarah iman Kristen dimulai dengan darah martir. Santo Stefanus, seorang diakon muda yang penuh Roh Kudus, dirajam batu di depan kota Yerusalem (Kisah Para Rasul 7). Namun sebelum napasnya habis, ia menatap ke langit dan berkata, “Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka.” Kata-kata itu bukan hanya doa, tetapi juga benih iman baru. Salah satu saksi yang menyaksikan peristiwa itu adalah Saulus: ia kelak bertobat dan dikenal sebagai Paulus, rasul bangsa-bangsa.

Baca Stefanus, Saksi Kristus dan Martir Pertama Gereja

Itulah paradoks martir: kematian mereka bukanlah akhir, melainkan awal. Darah martir menjadi benih, sanguis martyrum semen christianorum. Benih itu jatuh ke tanah, mati, lalu berbuah banyak, seperti yang dikatakan Yesus: “Jika biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24).

Sejarah Gereja penuh dengan deretan nama yang menegaskan kebenaran ini. Di Roma, umat Katolik dipaksa masuk ke arena singa. Di Jepang abad ke-16, misionaris dan umat lokal digantung di salib. Di Vietnam abad ke-18, ribuan orang Katolik dipenggal atau dipaksa murtad. Namun darah mereka tidak pernah tumpah sia-sia.

Indonesia pun punya kisahnya. Di Banjarmasin, seorang misionaris Dominikan asal Sisilia bernama Antonio Ventimiglia datang pada 1670-an. Ia bukan pedagang, bukan politikus, melainkan seorang imam yang ingin memperkenalkan Kristus kepada masyarakat Kalimantan. Namun kehadirannya tidak diterima. Situasi politik lokal yang curiga terhadap Portugis dan Belanda membuatnya ditolak. Ventimiglia ditangkap, dipermalukan, bahkan akhirnya dibunuh.

Kisahnya seakan lenyap ditelan sejarah besar VOC dan kerajaan-kerajaan lokal. Tetapi dalam catatan Gereja, namanya tetap dikenang. Antonio Ventimiglia menjadi saksi bahwa iman Katolik tidak hadir tanpa darah. Ia menjadi benih yang tertanam di tanah Borneo. Meski hasilnya baru terlihat jauh kemudian, kisahnya adalah bagian dari fondasi iman Katolik di tanah air.

Martir Sepanjang Abad: Kesetiaan yang Tak Padam

Sejarah Gereja tidak pernah sepi dari martir. Dari abad pertama hingga abad ke-21, selalu ada orang Katolik yang memilih setia meski harus membayar dengan nyawa.

Nama-nama besar sering disebut: Santa Perpetua dan Felisitas, dua perempuan muda dari Kartago yang rela mati di arena demi mempertahankan iman. Santo Fransiskus Xaverius, misionaris besar yang wafat di Sancian dalam perjalanan ke Tiongkok. Santo Laurensius yang dibakar hidup-hidup di Roma. Bahkan di zaman modern, Uskup Oscar Romero di El Salvador, yang ditembak saat sedang merayakan Misa pada 1980.

Tetapi nama yang lebih kecil, seperti Antonio Ventimiglia, justru memperlihatkan wajah martir yang lebih dekat dengan kita. Ia bukan tokoh besar yang punya pengaruh politik. Ia hanyalah seorang imam yang berjalan jauh dari Sisilia ke Kalimantan dengan hati sederhana. Namun ia tetap setia hingga akhir.

Kisahnya menunjukkan: martir bukanlah pahlawan dalam arti duniawi. Mereka bukan penakluk, melainkan saksi. Mereka menunjukkan bahwa iman lebih berharga dari nyawa. Dan justru dalam kesetiaan itulah Gereja menemukan energinya.

Di tanah Asia, martir juga menjadi sumber kesuburan iman. Di Korea, ribuan umat Katolik dibunuh pada abad ke-19. Tetapi hari ini, Gereja Korea adalah salah satu yang paling hidup di dunia, mengirim misionaris ke banyak negara. Di Vietnam, darah martir melahirkan komunitas Katolik yang kuat, yang hari ini tetap menjadi minoritas penuh semangat.

Kesetiaan yang tak padam itu adalah warisan bagi umat Katolik di mana pun. Ketika menghadapi diskriminasi, stigma, atau hambatan, umat belajar dari martir: setia adalah jalan berbuah.

Iman Kristen Tumbuh Subur di Tanah yang Gersang

Fakta sejarah menunjukkan satu hal: Gereja Katolik justru sering tumbuh di tanah yang keras. Di Tiongkok, meski kebebasan beragama dibatasi, umat Katolik tetap berkumpul diam-diam, berdoa, dan bertahan. Di Timur Tengah, meski dikepung konflik dan ekstremisme, umat Katolik tetap merayakan iman.

Indonesia pun demikian. Pada masa VOC, Katolik ditekan karena Belanda lebih condong mendukung Protestan. Sekolah-sekolah Katolik ditutup, misionaris diusir, dan umat dipaksa beralih. Tetapi benih itu tidak mati. Komunitas Katolik tetap hidup, dan justru dari sekolah-sekolah Katolik yang akhirnya berdiri kembali, lahir generasi baru yang memberi sumbangan besar bagi bangsa.

Di Kalimantan Selatan, kisah Antonio Ventimiglia adalah simbol tanah gersang yang perlahan menjadi subur. Benih iman yang ia tabur dengan darahnya memang tidak langsung berbuah. Tetapi seabad kemudian, misionaris lain datang, menemukan bahwa masyarakat lokal masih menyimpan rasa ingin tahu terhadap iman Katolik. Hari ini, Kalimantan menjadi rumah bagi ratusan ribu umat Katolik yang aktif membangun Gereja dan masyarakat.

Seperti pohon mangga, iman Katolik di Nusantara tumbuh melalui luka. Seperti biji gandum, ia berbuah melalui kematian. Dan seperti benih di tanah gersang, ia menemukan hidup dalam rahmat Allah yang tak pernah padam.

Luka yang Melahirkan Buah

“Katolik makin tumbuh subur di tempat dianiaya dan dihambat.” Kalimat ini bukan sekadar slogan, melainkan kesaksian sejarah. Dari Stefanus di Yerusalem, para martir di Roma, hingga Antonio Ventimiglia di Banjarmasin, semua menorehkan pola yang sama.

Iman Kristen tidak runtuh oleh kekerasan. Justru, kekerasan itu menjadi pupuk yang memurnikan, luka yang melahirkan buah. Gereja bukanlah gedung, bukan pula struktur organisasi. Gereja adalah tubuh Kristus yang hidup, yang bahkan bila satu anggotanya disakiti, tubuh itu tetap bangkit dengan lebih kuat.

Bagi umat Katolik Indonesia, mengenang martir seperti Antonio Ventimiglia berarti menyadari bahwa iman yang kita miliki hari ini adalah warisan darah dan air mata. Kita tidak dipanggil hanya untuk menikmati hasil, tetapi juga untuk meneruskan kesetiaan itu, meski dengan cara berbeda: melalui pelayanan, keadilan, pendidikan, dan kasih.

Sejarah mengajarkan satu hal: iman Katolik, seperti pohon mangga, tak pernah mati oleh luka. Semakin dilukai, semakin rajin berbuah.

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org