Kristen
Orang Kristen berkumpul bersama, memecah roti (makan bersama) sebagai simbol belarasa, compassion, seperti dilkakukan dan dianjurkan Yesus Kristus. |
Oleh Teguh Imanqu
Kristen adalah julukan dari orang luar bagi para pengikut Yesus Krisus di kota Antiokia ( Kisah Para Rasul 11:26.).
Mula-mula orang
Kristen segelintir. Hanya bisa dibilang dengan jumlah jemari tangan sebelah
saja. Lama kelamaan berkembang. Beranak-pinak.
Kini hingga tahun 2025, hanya Katolik tercatat 1,5 miliar
umat. Artinya, 18,5% dari 8,1 miliar populasi manusia dunia. Dimbuhi penganut
Kristen lainnya, orang Kristen sedunia tidak kurang dari 2,7 miliar (33%
penduduk dunia). Kita menjumpai fakta 1 dari 3 penduduk dunia adalah Kristen.
Bagaimana perjalanan Kristen sampai yang demikian itu? Penasaran,
gak sih?
Kristen mula-mula di Antiokia
Ada sebuah kota yang menjadi titik balik dalam sejarah iman:
Antiokia. Di sinilah, untuk pertama kalinya, para pengikut Kristus diberi nama
baru, yakni Kristen.
Predikat “Kristen”bukan sekadar sebutan, melainkan identitas
yang melekat.
“Di Antiokia
murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen,” catat Lukas dalam Kisah
Para Rasul 11:26.
Kota Antiokia sendiri adalah pusat perdagangan. Hiruk-pikuk
pasar, pelabuhan, dan arus manusia dari berbagai bangsa membuatnya
kosmopolitan. Justru dalam suasana itulah, Injil tumbuh. Paulus dan Barnabas
menetap di sana setahun penuh. Mereka mengajar, berdialog, membangun iman.
Orang-orang Yahudi dan Yunani sama-sama tertarik mendengar kabar tentang Yesus
dari Nazaret, yang wafat di kayu salib dan bangkit pada hari ketiga.
Namun kehidupan Kristen mula-mula bukan hanya soal nama atau
pengajaran. Ia adalah cara hidup. Lukas menulis bahwa mereka “bertekun dalam
pengajaran para rasul dan dalam persekutuan, dalam pemecahan roti dan dalam
doa” (Kisah 2:42).
Masuk alam sejarah suasana ketika itu. Setiap rumah menjadi
tempat berkumpul. Orang Kristen memecah roti, berbagi apa adanya, bernyanyi,
mendoakan satu sama lain.
Bela rasa nyata. “Semua orang percaya hidup bersatu, dan
segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama” (Kisah 2:44). Kalimat
itu sederhana, tetapi menggugah. Mereka saling menopang. Tidak ada yang lapar
ketika yang lain kenyang. Tidak ada yang telanjang ketika yang lain berpakaian.
Kehidupan baru dalam Kristus tercermin dalam solidaritas sehari-hari.
Pertumbuhan Kristen yang tak Terbendung
Sejarah kemudian bergerak cepat. Jemaat bertumbuh. “Tuhan
menambah jumlah mereka setiap hari dengan orang yang diselamatkan” (Kisah
2:47). Persekutuan kecil itu perlahan berubah menjadi gerakan besar.
Salah satu saksi penting adalah Stefanus. Ia bukan
rasul, melainkan seorang diaken penuh iman. Dalam sidang Mahkamah Agama, ia
memberikan kesaksian yang panjang tentang rencana Allah dari zaman Abraham
hingga Yesus Kristus. Kata-katanya menusuk hati para pendengarnya. Akhirnya ia
dirajam. Stefanus menjadi martir pertama. Tetapi darahnya justru menyuburkan
iman. Penganiayaan membuat jemaat terpencar, dan di manapun mereka singgah,
Injil diberitakan (Kisah 8:4).
Di sisi lain, ada figur lain yang mengubah arah sejarah: Saulus
dari Tarsus. Ia pernah menganiaya pengikut Kristus, menyeret mereka ke
penjara. Tetapi di jalan menuju Damsyik, hidupnya berbalik arah. Kristus yang
bangkit menampakkan diri kepadanya. Saulus ,yang kemudian dikenal sebagai
Paulus, menjadi pewarta utama Injil.
Bersama Barnabas, Paulus menempuh perjalanan misioner. Dari
Antiokia mereka berlayar ke Siprus, lalu ke Perga, Ikonium, Lystra, Derbe. Di
setiap kota, Injil disampaikan, jemaat didirikan, para penatua ditunjuk.
“Sesudah memberitakan Injil di kota itu dan membuat banyak murid, mereka
kembali ke Lystra, Ikonium, dan Antiokia,” tulis Lukas (Kisah 14:21).
Jumlah pengikut Kristus bertambah. Ada yang percaya karena
mendengar khotbah Petrus di Yerusalem. Ada yang tergerak melihat keberanian
Paulus di kota-kota Yunani. Ada pula yang tersentuh oleh kesaksian sederhana
para jemaat yang hidup berbeda: penuh kasih, tidak mementingkan diri, berani
berharap di tengah penderitaan.
Kisah-kisah itu menjalar cepat. Dari rumah ke rumah. Dari
pasar ke pelabuhan. Dari mulut ke telinga.
Injil Menembus Dunia
Sejatinya, apa yang terjadi bukan kebetulan. Para nabi telah
menubuatkan bahwa terang Allah akan menjangkau bangsa-bangsa. Yesaya menulis,
“Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa, supaya keselamatan
yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi” (Yesaya 49:6).
Yesus sendiri menegaskan hal itu. “Kamu akan menjadi
saksi-Ku di Yerusalem, di seluruh Yudea dan Samaria, bahkan sampai ke ujung
bumi” (Kisah 1:8). Dan sebelum naik ke surga, Ia berkata, “Pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Matius 28:19).
Sabda itu bukan sekadar mandat, melainkan nubuatan yang
digenapi langkah demi langkah. Injil memang bergerak melampaui batas bangsa,
bahasa, dan budaya.
Paulus, misalnya, tiba di Efesus, pusat provinsi Asia. Di
sana ia tinggal dua tahun. Lukas mencatat, “Semua penduduk Asia mendengar
firman Tuhan, baik orang Yahudi maupun orang Yunani” (Kisah 19:10).
Efesus kemudian menjadi pusat penting jemaat Asia Kecil, hingga menerima salah
satu surat dari Yohanes di Kitab Wahyu.
Lalu Roma. Kota kekaisaran, pusat dunia kala itu. Paulus
tiba di sana sebagai tahanan, tetapi justru di jantung kekuasaan, Injil
bergema. “Ia memberitakan Kerajaan Allah dengan terus terang dan tanpa
rintangan apa-apa” (Kisah 28:31). Sebuah ironi: penjara menjadi mimbar,
borgol menjadi saksi, Kaisar tak kuasa membungkam kabar baik.
Adapun Sisilia, pulau di Laut Tengah, meski tak disebut
langsung dalam narasi Kisah Para Rasul, berada di jalur pelayaran penting.
Banyak sejarawan percaya jemaat sudah hadir di sana sejak abad pertama, dibawa
oleh pelaut atau pedagang yang mendengar Injil. Seperti benih yang terbawa
angin, kabar itu singgah di setiap pelabuhan.
Dari Antiokia ke Siprus, dari Efesus ke Roma, dari pelabuhan
kecil hingga istana kekaisaran. Injil kemudian menyeberang lautan, mendaki pegunungan,
menembus pasar. Apa yang dulu hanya segelintir murid di Yerusalem kini menjelma
menjadi gerakan dunia.
Dari Sejarah ke Kehidupan
Sejarah asal mula Kristen bukan sekadar catatan masa lalu.
Ia adalah kisah hidup yang terus bergulir. Dari meja sederhana tempat roti
dipecah, dari doa-doa lirih di rumah-rumah kecil, dari keberanian seorang
martir muda yang dilempari batu, dari perjalanan melelahkan seorang rasul di
kapal-kapal reyot. Dari sanalah lahir sebuah iman yang mengubah dunia.
Hari ini, ketika kita menyebut diri Kristen, kita sedang
menyambung benang merah itu. Benang yang bermula di Antiokia. Benang yang
dibasuh darah Stefanus, diteguhkan pengajaran Petrus, diperluas perjalanan
Paulus. Benang yang ditenun oleh ribuan jemaat tanpa nama, yang hidupnya
sederhana namun penuh kasih.
Asal mula Kristen adalah juga asal mula sebuah gaya
hidup: persekutuan, doa, pemecahan roti, bela rasa. Bukan semata nama,
melainkan cara berada di dunia. Sebuah cara yang, dari abad pertama hingga hari
ini, terus bertahan. Dan bertumbuh.