Stefanus, Saksi Kristus dan Martir Pertama Gereja

 

Stefanus, Saksi Kristus dan Martir Pertama Gereja
Stefanus mengajarkan tentang keberanian saksi (martir) dalam menghadapi permusuhan, dan bagaimana penderitaan bisa menjadi benih pertumbuhan iman. Ist.

Oleh Sr. Felicia Tesalonika 

Stefanus yang tercatat sebagai martir pertama sejak era Yesus Krisus. Ia gak tiba-tiba jadi saksi-iman dan pewarta sejati yang gigih.

Konteksnya adalah suasana Yerusalem pada masa-masa awal abad pertama. Kota yang selalu ramai, penuh dengan jeritan pedagang di pasar, gumaman doa dari Bait Suci, dan bisik-bisik gelisah soal Guru asal Nazaret yang baru saja disalib. Stefanus tampil di sana sebagai pewarta, sekaligus saksi Kristus yang berani.

Konteks dan latar hidup Stefanus

Stefanus nggak langsung jadi pengikut Kristus begitu saja; dia menemukannya seperti hembusan angin sepoi setelah hujan deras. Itu sekitar tahun 30-33 Masehi, pasca Pentakosta, saat Roh Kudus turun bagai kobaran api ke atas murid-murid Yesus.

Gereja kecil di Yerusalem lagi tumbuh subur, tapi masalah datang: janda-janda yang bicara Yunani merasa dilupakan saat bagi-bagi makanan harian. Para rasul, yang lagi sibuk nyebarin kabar baik, akhirnya pilih tujuh diakon buat ngurusin urusan itu.

Stefanus adalah yang pertama disebutkan, digambarkan sebagai "orang penuh iman dan kuasa Roh Kudus".tidak hanya melayani kebutuhan fisik, tapi juga berani memberitakan Injil dengan tanda-tanda ajaib, seperti mukjizat yang membuat banyak orang percaya.

Nama Stefanus disebut pertama. Tak syak, ia seorang pria "penuh iman dan kuasa", begitu tertulis di Kisah Para Rasul.

Kisah Para Rasul 6:5

"Mereka menempatkan Stefanus, seorang yang penuh iman dan Roh Kudus, serta Filipus, Prokoros, Nikanor, Timon, Parmenas, dan Nikolaus seorang Makedonia, untuk pelayanan ini."

Kisah Para Rasul 6:8

"Stefanus, yang penuh kasih karunia dan kuasa, melakukan mujizat-mujizat dan tanda-tanda besar di tengah bangsa."

Mulai saat itu, Stefanus bukan sekadar pelayan dapurnya gereja; dia jadi penyembuh, orator yang bikin orang terpaku, dan tukang mujizat di tengah kerumunan. Coba bayangin dia jalan-jalan di gang-gang Yerusalem, tangannya pegang bahu orang sakit, mulutnya cerita soal Raja yang bangkit dari kubur. Itu permulaan dari perjalanan yang penuh sinar, tapi juga bayangan gelap penganiayaan.

Di antara keramaian semacam itu, hidup seorang pria bernama Stefanus, Yahudi Hellenis yang berarti dia dibesarkan dengan campuran budaya Yunani dan Yahudi, kemungkinan lahir sekitar tahun 5 Masehi, walaupun catatan sejarah tak pernah repot-repot mencatat tanggal pastinya. 

Stefanus bukan tipe orang yang lewat begitu saja; wajahnya selalu berbinar, matanya menyala-nyala, dan hatinya seperti samudra yang tenang di permukaan tapi bergolak di dasar. Stefanus lahir di tanah para nabi, tapi ceritanya sendiri yang akhirnya mengguncang dunia.

Stefanus disiksa dan dianiaya karena iman

Lalu kenapa, ya ampun, kenapa harus ada batu-batu yang beterbangan itu? Semua gara-gara perdebatan sengit di sinagoge-sinagoge, di mana Stefanus bentrok sama para sarjana Taurat dari Aleksandria, Kirene, sama Asia. Mereka nggak kuat sama gaya radikalnya; dia cerita Yesus sebagai Mesias, soal Bait Suci yang sebenarnya ada di hati orang, bukan di tumpukan batu. Tuduhan bohongan datang deras: "Dia ngehina Musa dan Tuhan!" Mereka tarik dia ke Sanhedrin, majelis tinggi Yahudi, di mana muka-muka marah ngelotot ke arahnya. Stefanus nggak ciut.

Bukannya takut, Stefanus kian berkobar keberaniannya mewartawakan Kristus yang mati dan bengkit kembali. Dia berdiri mantap, dan lewat pidato panjang yang mengalir deras, dia susun ulang sejarah Israel: dari Abraham sampe para nabi, dari rahmat Tuhan sampe keras kepala orang-orang yang nolak Dia. "Kalian ini, orang-orang berleher kaku, kalian yang selalu ngeyel sama Roh Kudus!" bentaknya, nuduh mereka pewaris pembunuh nabi. Dan sekarang, pembunuh Mesias.

Mendengar kata-kata Stefanus yang benar tapi pedas itu, amarah khalayak meledak bagai gunung berapi. Mereka menggigit bibir, berteriak, dan seret dia keluar kota. Kerumunan orang banyak melempar dan merajam Stefanus dengan batu.

Pas batu-batu mulai hantam tubuhnya, Stefanus lihat surga terbuka: Yesus berdiri di kanan Bapa. "Tuhan Yesus, ambillah rohku," gumamnya, lalu dengan suara retak tapi penuh kelembutan, "Tuhan, jangan hitung dosa ini buat mereka."

Sama persis kayak Yesus di kayu salib. Yesus pilih maafin di saat sakitnya nggak ketulungan. Itulah akhir andalnya, sekitar tahun 34-36 Masehi. Stefanus  adalah martir pertama Gereja, dirajam sama tangan-tangan yang gemetar antara takut dan dendam.

Yang menjadikan Stefanus teladan iman

Apa sih yang bikin Stefanus nggak cuma santo, tapi teladan yang masih hidup sampe sekarang? Bukan mujizatnya yang nyembuhin orang buta atau pidatonya yang menggelegar, meski itu semua hebat banget. Bukan juga mahkotanya yang basah darah, walaupun itu lambang ketangguhan. Yang bikin Stefanus layak ditiru adalah hatinya yang mirip Kristus: berani ngomong jujur walau suara bergetar, layanin yang miskin tanpa harap balasan, dan yang paling susah maafin musuh pas dunia pengen balas dendam. Di tengah hujan batu itu, dia nggak benci; dia berdoa.

Coba kita pikir: Andai kita kayak dia, di kantor penuh tipu daya, di rumah yang kadang beku, atau di jalan yang kasar, kita pilih maaf daripada marah. Stefanus ajarin bahwa iman itu bukan dongeng manis di buku; itu darah yang mengalir, luka yang jadi bekas kebanggaan.

Cerita Stefanus mengajarkan tentang keberanian saksi (martir) dalam menghadapi permusuhan, dan bagaimana penderitaan bisa menjadi benih pertumbuhan iman.

Setiap 26 Desember, pas kita inget kelahiran abadinya, yuk kita tanya ke diri sendiri: siap nggak kita pake mahkota itu, meski berat? Soalnya kayak Stefanus, kita semua dipanggil jadi saksi. Bukan pake batu, tapi pake hati yang lebar terbuka. Di mana pun kita berada.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org