Api Penyucian/ Purgatorium dalam Gereja Katolik

Mendoakan arwah orang meninggal dalam tradisi dan iman Katolik, ada ayat Kitab Sucinya di Makabe. Ist.
Mendoakan arwah orang meninggal dalam tradisi dan iman Katolik, ada ayat Kitab Sucinya di Makabe. Ist.

Oleh Sr. Tanti Yosepha

Bagi banyak orang, kematian selalu memunculkan pertanyaan besar: ke mana jiwa pergi setelah napas terakhir terhembus?

Dalam iman Katolik, jawaban itu tidak sederhana hitam-putih, surga atau neraka saja. Gereja mengajarkan adanya satu tahap penyucian, yang disebut Api Penyucian atau Purgatorium, yakni keadaan sementara di mana jiwa-jiwa yang sudah selamat disucikan terlebih dahulu sebelum layak memandang Allah muka dengan muka.

Credo Katolik

Api Penyucian bukan gambaran hukuman tanpa akhir, melainkan sebuah proses kasih. Bagaikan emas yang dibersihkan dalam tungku api, jiwa manusia yang masih memiliki sisa noda akibat dosa, meski sudah diampuni, dimurnikan oleh kasih Allah.

Iman Katolik menegaskan bahwa kasih Allah bukan hanya mengampuni, tetapi juga menyucikan. Dengan cara inilah keselamatan menjadi sempurna.

Credo Katolik yang selalu didaraskan dalam Misa juga mengingatkan kita akan misteri ini. Gereja percaya pada persekutuan para kudus yang hadir dalam tiga keadaan: pertama, para kudus yang sudah berbahagia di surga; kedua, jiwa-jiwa yang masih disucikan dalam Api Penyucian; dan ketiga, Gereja yang masih berziarah di dunia. Dengan demikian, persekutuan ini nyata melampaui sekat kematian: yang hidup, yang disucikan, dan yang mulia di surga saling terhubung dalam kasih Kristus.

Dasar Kitab Suci dan Tradisi

Ajaran tentang Api Penyucian bukanlah tambahan belakangan, melainkan tumbuh dari pengalaman iman Gereja sejak awal. Kitab 2 Makabe 12:44–45, yang menjadi bagian dari Kitab Suci Katolik, mencatat bagaimana Yudas Makabe mempersembahkan kurban silih bagi orang-orang mati, karena ia percaya “suatu kebangkitan yang indah menanti orang yang wafat dengan saleh.” Ayat ini menunjukkan keyakinan bahwa doa dan kurban bagi arwah memiliki makna.

Tradisi Gereja perdana juga menegaskan hal ini. Santo Agustinus, salah seorang bapa Gereja besar, menulis bahwa doa dan Ekaristi yang dipersembahkan bagi arwah sungguh membantu mereka. Gereja mula-mula memahami bahwa kasih tidak berhenti pada liang lahat, melainkan menembus batas waktu dan ruang.

Konsili Trente (abad ke-16) kemudian menegaskan kembali iman ini melawan keraguan dan kritik yang muncul. Gereja Katolik, dalam kesetiaan pada Kitab Suci dan Tradisi, mengajarkan bahwa Api Penyucian merupakan bagian dari rencana keselamatan Allah.

Penegasan Katekismus Gereja Katolik

Agar umat tidak salah memahami, Gereja menegaskan dengan jelas dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK 1030–1032) tentang Api Penyucian.

KGK 1030 menuliskan:
"Mereka yang mati dalam kasih karunia dan persahabatan dengan Allah, tetapi masih belum sepenuhnya dimurnikan, memang dijamin keselamatan kekal mereka; namun setelah mati mereka mengalami penyucian, supaya mereka memperoleh kekudusan yang diperlukan untuk masuk ke dalam sukacita surga."

KGK 1032 melanjutkan:
"Gereja juga menghimbau umat beriman agar mempersembahkan doa bagi arwah. Sejak awal, Gereja menghormati kenangan akan orang mati dan mempersembahkan doa syafaat bagi mereka, terutama dalam Ekaristi, supaya mereka dibersihkan."

Kedua teks resmi ini memperlihatkan betapa Gereja dengan penuh kejelasan menempatkan Api Penyucian dalam terang kasih Allah. Api itu bukan untuk menghukum, melainkan untuk menyempurnakan. Gambaran api yang digunakan bukanlah api neraka, tetapi simbol kasih Allah yang membakar habis noda dosa.

Dengan ajaran resmi ini, umat Katolik dituntun agar tidak terjebak pada imajinasi keliru yang kerap menakut-nakuti, melainkan melihat Api Penyucian sebagai bagian dari perjalanan menuju kebahagiaan kekal.

Doa, Belarasa, dan Harapan

Jika Api Penyucian sungguh nyata, apa sikap umat beriman?

Pertama-tama adalah doa. Setiap kali kita mendoakan arwah, kita ambil bagian dalam karya penyucian Allah bagi mereka. Misa arwah, doa Rosario, novena, bahkan doa pribadi sederhana, semua itu bernilai di hadapan Allah. Seperti ditulis Santo Yohanes Krisostomus: “Bukan tanpa alasan Gereja menetapkan peringatan bagi arwah. Melalui doa-doa, kurban, dan sedekah, kita membawa pertolongan nyata bagi mereka.”

Kedua, sikap belarasa. Dengan mendoakan arwah, kita diajak untuk semakin sadar bahwa kita juga masih dalam peziarahan. Kita pun suatu saat akan membutuhkan doa orang lain. Inilah indahnya persekutuan para kudus: kasih yang saling mengalir antara yang masih hidup dan yang sudah wafat.

Ketiga, harapan. Api Penyucian mengajarkan bahwa Allah selalu memberi kesempatan kedua, bahkan setelah kematian. Kasih-Nya tidak lekas menutup pintu, melainkan menyiapkan jalan penyucian agar jiwa sungguh siap memasuki kebahagiaan abadi.

Dalam terang itu, setiap kali kita mengingat orang terkasih yang sudah mendahului, janganlah berhenti pada kesedihan.

Doakan mereka! Persembahkan Misa, dan percayakan pada rahmat Allah. Kita percaya, doa-doa itu bukan sekadar kata hampa, melainkan jembatan kasih yang sungguh membantu jiwa-jiwa yang sedang dimurnikan.

Dalam Gereja Katolik, setiap tanggal 2 November dirayakan Peringatan Arwah Semua Orang Beriman. Peringatan ini ditempatkan sehari setelah Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November). Pada hari tersebut, Gereja secara khusus mendoakan semua arwah orang beriman yang telah meninggal dunia.

Pada hari itu, umat Katolik berdoa khusus bagi arwah yang masih dalam Api Penyucian. Tujuannya agar mereka cepat disucikan dan bisa masuk dalam kebahagiaan kekal bersama Allah di surga.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org