Mendoakan Arwah dalam Katolik Dasar Kitab Sucinya 2 Makabe 12:44–45

 

Mendoakan arwah:  Itu bagian dari tradisi panjang umat Allah sejak ribuan tahun lalu.
Mendoakan Arwah dalam Katolik Dasar Kitab Sucinya 2 Makabe 12:44–45 Ujud dari tradisi panjang umat Allah sejak ribuan tahun lalu. Ist.

Oleh Raymundus Rai

Suatu malam di kampung, saya duduk di kursi plastik biru. Lampu neon di ruang tamu redup, hanya ditemani lilin-lilin kecil yang berjejer di meja.

Di depan foto almarhum. Asap dupa mengepul pelan, menyatu dengan doa Rosario yang dilafalkan bersama. Setelah doa selesai, ada kopi pahit, pisang goreng, dan obrolan lirih yang menenangkan hati.

Waktu itu saya masih kecil. Saya tidak sepenuhnya paham mengapa keluarga harus berdoa begitu lama untuk orang yang sudah meninggal. Nenek saya hanya berbisik: “Kita berdoa agar kakek cepat bertemu Tuhan.”

Kata “cepat bertemu Tuhan” tertanam di benak saya. Seolah kematian bukanlah akhir, melainkan perjalanan yang masih bisa dipercepat dengan doa-doa orang yang mencintai.

Belakangan, ketika saya membaca Kitab 2 Makabe, saya tertegun. Di sana ada catatan tentang Yudas Makabe yang mengumpulkan uang untuk mempersembahkan korban penghapusan dosa bagi tentaranya yang sudah mati. Ternyata, apa yang saya alami dalam suasana doa arwah di kampung bukanlah “kebiasaan lokal” belaka. Itu bagian dari tradisi panjang umat Allah sejak ribuan tahun lalu. 

Ayat dari Kitab Makabe

Kutipannya jelas. Dalam 2 Makabe 12:44–45 tertulis yang demikian inilah:

“Sebab jikalau ia tidak mengharapkan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit, maka adalah sesuatu yang sia-sia dan bodoh berdoa untuk orang-orang mati. Tetapi kalau ia percaya bahwa tersedia suatu upah yang indah bagi orang-orang yang meninggal saleh, maka pikirannya adalah suci dan saleh. Oleh karena itu, ia mengadakan persembahan pendamaian bagi orang-orang mati supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka.”

Bayangkan situasinya. Yudas Makabe menemukan bahwa tentaranya yang mati menyimpan jimat kafir. Itu dosa berat. Namun, alih-alih mengutuk mereka, ia justru mengumpulkan dana dan mengirimkannya ke Yerusalem, supaya diadakan korban penghapusan dosa. Ada keyakinan: meski mati, mereka masih bisa ditolong. Ada iman bahwa doa dan persembahan orang hidup menjangkau mereka yang telah meninggal.

Bukankah itu yang kita lakukan dalam misa arwah? Kita percaya, kasih tidak berhenti pada makam. 

Mengapa Saudara Protestan Tidak Menemukannya

Namun, sebagian teman saya yang Protestan sering bertanya sinis: “Mana ayatnya mendoakan orang mati?”

Mereka membuka Alkitab mereka, tidak menemukannya. Lalu menyimpulkan: orang Katolik mengada-ada.Katolik punya Kitab Suci yang jumlahnya lebih banyak. Kanon kedua yang disebut Deutero-kanonika, yang tak ada dalam Protestan.

Di sinilah sejarah bicara. Gereja Katolik memiliki Kitab Suci 73 kitab. Sementara Protestan, sejak Reformasi abad ke-16, “hanya” mengakui dan memakai 66 kitab.

Mengapa berbeda? Karena Martin Luther dan reformator lain memutuskan hanya mengakui kitab-kitab berbahasa Ibrani, lalu memisahkan kitab-kitab Deuterokanonika, termasuk 1–2 Makabe, ke bagian “apokrifa”. Lama-lama, sebagian tradisi Protestan menghapusnya sama sekali.

Akibatnya, ayat tentang doa bagi arwah hilang dari Alkitab Gereja Reformasi. Padahal, sejak awal, Gereja perdana memakai Septuaginta (terjemahan Yunani) yang memuat Makabe.

Konsili di Hippo (393) dan Kartago (397) sudah menetapkan kanon 73 kitab. Tradisi itu bertahan berabad-abad.

Jadi, ketika orang Katolik mendoakan arwah, mereka bukan sedang berimajinasi. Mereka sedang melanjutkan apa yang telah ditulis, dibacakan, dan dihayati oleh umat Allah sejak ribuan tahun. 

Doa Arwah dalam Kehidupan Kristen Perdana

Mari melompat ke Roma abad ke-2. Di katakombe, ruang pemakaman bawah tanah, ada ukiran sederhana di batu: “Semoga engkau beristirahat dalam damai” atau “Semoga terang abadi menyertaimu.” Itu bukan sekadar epitaf puitis. Itu doa.

Para Bapa Gereja mencatat hal serupa. Tertullianus menulis bahwa orang Kristen berdoa bagi arwah pada peringatan tahunan mereka. St. Siprianus menegaskan doa itu bagian dari liturgi. Dan St. Agustinus, dalam Confessiones, mendoakan ibunya, Santa Monika, dengan hati yang penuh haru.

Tradisi ini jelas: umat Kristen perdana tidak ragu mendoakan yang sudah meninggal. Mereka percaya akan kebangkitan, mereka percaya persekutuan orang kudus tidak terputus oleh kematian, dan mereka percaya kasih Allah melampaui batas hidup–mati. 

Magisterium Meneguhkan

Gereja Katolik tidak berhenti pada kebiasaan. Ia menjaga, menguji, lalu meneguhkan. Konsili Trente (1545–1563), sebagai jawaban terhadap Reformasi, menegaskan bahwa kitab-kitab Deuterokanonika adalah bagian sah dari Kitab Suci. Sekaligus, konsili itu meneguhkan ajaran tentang api penyucian (purgatorium) dan doa bagi jiwa-jiwa di sana.

Magisterium mengajarkan bahwa doa, terutama Ekaristi, dapat membantu mereka yang sedang disucikan. Maka lahirlah tradisi misa arwah, doa bulan November, indulgentia bagi arwah, semua berakar pada iman Gereja universal.

Bagi saya, ini meneguhkan pengalaman sederhana di kampung: doa, lilin, kopi pahit, dan air mata. Semua itu ternyata punya dasar kokoh dalam iman Gereja. 

Keberatan dan Jawaban

Tetapi keberatan tetap ada. Mari kita singgung beberapa.

  • “Ibrani 9:27 bilang: manusia mati sekali, lalu dihakimi. Jadi, untuk apa doa?”
    → Benar, mati lalu dihakimi. Tapi, apakah penghakiman langsung berarti selesai tanpa ruang bagi penyucian? Katolik percaya: ya, ada surga, ada neraka, tetapi ada juga proses pemurnian bagi mereka yang mati dalam kasih karunia namun belum sempurna. Doa kita membantu mereka. Dalam Katolik, api pencucian disebut Api Penyucian di Api Purgatorium (Purgatory fire), yaitu keadaan penyucian jiwa setelah mati sebelum masuk surga, agar jiwa dibersihkan dari dosa ringan maupun akibat dosa yang sudah diampuni

→ Saya selalu menjawab: Doa bukan percuma. Doa adalah partisipasi kita dalam kasih Kristus, yang kekal. Kasih itu bekerja melampaui ruang dan waktu.

  • “Alkitab kami tidak ada Makabe.”
    → Justru itulah masalahnya. Yang hilang bukan ayatnya, melainkan kanonnya. Gereja perdana memakai Makabe, dan itu fakta sejarah. 

Doa Arwah dalam Kehidupan Umat

Di paroki saya, misa arwah sering menjadi momen yang paling menyentuh. Nama-nama almarhum disebut, umat menjawab lirih: “Kabulkanlah doa kami, ya Tuhan.” Ada keheningan penuh hormat.

Doa arwah hadir dalam berbagai bentuk:

  • Misa arwah di gereja atau di rumah.
  • Doa Rosario Arwah yang diadakan beberapa malam berturut-turut.
  • Hari Arwah 2 November, ketika seluruh Gereja berdoa bersama.
  • Indulgensi, terutama dengan mengunjungi makam pada awal November.

Bagi keluarga, ini memberi penghiburan. Ada rasa: kita masih bisa berbuat sesuatu bagi yang kita cintai. Kematian tidak memutus kasih. 

Dimensi Teologis dan Pastoral

Secara teologis, doa arwah menegaskan tiga hal:

  1. Kebangkitan badan: kita percaya kematian bukan akhir.
  2. Persekutuan orang kudus: yang hidup dan mati tetap terhubung.
  3. Kasih Allah: doa adalah partisipasi dalam kasih Allah yang menyelamatkan.

Secara pastoral, doa arwah menyalakan harapan. Seorang ibu yang kehilangan anak bisa berkata: “Aku masih bisa mendoakanmu.” Itu menghibur. Itu menjaga iman.

Kasih yang Melampaui Makam

Kini saya mengerti bisikan nenek saya dulu: “Kita berdoa agar kakek cepat bertemu Tuhan.” Itu bukan sekadar kalimat penghiburan untuk anak kecil. Itu teologi hidup, sederhana, namun mendalam.

Doa bagi arwah bukan ajaran kosong. Ia berakar di Kitab Makabe, dipelihara Gereja perdana, diteguhkan Magisterium, dan dijalani umat beriman hingga hari ini.

Di balik lilin, dupa, doa Rosario, dan misa arwah, ada keyakinan yang sama: kasih tidak berhenti di liang lahat. Kasih menembus kematian, berdoa, berharap, sampai akhirnya semua berkumpul dalam terang abadi.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org