Petrus dan Paulus
Petrus dan Paulus adalah Dwitunggal pemimpin dan pewarta Gereja Kristus di dunia sepanjang masa. Istimewa. |
Oleh: Raymundus Ray
Mengapa Petrus dan Paulus dihormati sebagai rasul
utama? Karena keduanya adalah wajah Gereja yang berbeda, tetapi saling
melengkapi.
Petrus adalah batu karang. Ia yang pertama dipanggil, ia yang ditetapkan Yesus sebagai pemimpin para murid:
“Engkaulah Petrus, dan
di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku” (Mat 16:18). Dari
dirinya, kita melihat Gereja yang nyata, berwajah otoritas dan kesatuan. Ia
adalah pondasi yang kokoh, jangkar yang menahan badai.
Paulus datang dengan kisah berbeda. Ia bukan bagian
dari Dua Belas, bahkan semula musuh Gereja. Namun panggilan Kristus mengubah
jalan hidupnya. Dari penganiaya, ia berbalik menjadi pewarta. Dari Saulus,
lahirlah Paulus. Dialah rasul bangsa-bangsa, pembawa Injil ke luar tembok
Yerusalem, hingga melintasi Asia Kecil dan Yunani, bahkan mencapai Roma. Paulus
adalah wajah Gereja yang bergerak: penuh dinamika, penuh misi, tak kenal lelah.
Akhir perjalanan mereka bertemu di kota yang sama:
Roma, pusat dunia kala itu. Petrus menutup hidupnya di tiang salib, Paulus di
hadapan pedang algojo. Keduanya mati sebagai martir, tetapi justru dari darah
itulah tumbuh kesaksian iman yang tak padam.
Itulah sebabnya Gereja Katolik melihat Petrus dan Paulus sebagai dua pilar penopang yang tak terpisahkan. Satu melambangkan kesatuan, yang lain melambangkan gerak. Satu menjaga dasar, yang lain membuka jalan. Dan setiap 29 Juni, umat Katolik di seluruh dunia merayakan Hari Raya Santo Petrus dan Paulus: hari ketika dua arus besar iman itu dipertemukan dalam satu perayaan, satu Gereja, satu kasih Kristus.
Santo Petrus, si Batu Karang dan Paus Pertama
Simon, yang juga dikenal sebagai Simon Petrus, lahir
di Betsaida, kampung nelayan di tepi Danau Galilea. Anak Yohanes, ia hidup
sederhana, menjaring ikan bersama saudaranya, Andreas. Mereka bekerja keras di
perairan Danau Tiberias, bergantung pada hasil tangkapan ikan. Namun, pertemuan
dengan Yesus mengubah segalanya.
Andreas, yang mula-mula mengikuti Yohanes Pembaptis,
memperkenalkan Simon kepada Yesus. Dalam Yohanes 1:42, Yesus memandangnya dan
berkata, “Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan dinamakan Kefas,” yang
berarti Petrus, batu karang. Nama baru ini bukan sekadar sebutan, melainkan
janji peran besar dalam sejarah iman.
Sumber-sumber kuno mengenai Petrus lebih banyak berupa
tradisi dan tulisan para Bapa Gereja, bukan catatan sejarah rinci. Banyak ahli
memperkirakan ia lahir di Betsaida, Galilea, sekitar tahun 1 SM hingga 1 M.
Sebagai anak Yohanes (Yoh 1:42), ia bekerja sebagai nelayan di Danau Galilea
(Luk 5:1–11). Fakta-fakta awal ini menegaskan latar hidupnya yang sederhana
sebelum dipanggil Yesus.
Pernyataan Yesus kepada Petrus bukanlah sekadar sapaan
pribadi, melainkan penetapan fondasi kepemimpinan rohani. “Di atas batu karang
ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku” (Mat 16:18) menegaskan bahwa Gereja berdiri
bukan di atas gagasan manusia, melainkan atas peneguhan Kristus sendiri. Batu
karang melambangkan kekokohan, keteguhan, dan daya tahan menghadapi guncangan
zaman. Petrus yang rapuh diubah oleh rahmat menjadi pemimpin yang teguh, tempat
umat berpegang di tengah badai sejarah.
Kepada Petrus juga diberikan wewenang istimewa:
“Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga; apa yang kauikat di dunia akan
terikat di surga, dan apa yang kaulepaskan di dunia akan terlepas di surga”
(Mat 16:19). Inilah dasar kuasa rohani yang tak hanya menyangkut kepemimpinan,
melainkan juga pengampunan dosa dan pemulihan umat. Kuasa kunci ini menandai
Petrus sebagai gembala yang tidak hanya memimpin, tetapi juga menuntun umat
pada keselamatan.
Dari ayat inilah Gereja Katolik merumuskan Sakramen
Pengakuan Dosa. Melalui imam yang tertahbis, otoritas Petrus diteruskan: dosa
diakui, diikat atau dilepaskan, bukan atas nama manusia, melainkan atas nama
Gereja dan Kristus sendiri. Dengan demikian, setiap kali seorang umat mendengar
kata-kata absolusi, ia sesungguhnya berjumpa dengan belas kasih Tuhan yang
bekerja melalui Gereja-Nya.
Sejak Petrus, garis kepemimpinan Gereja diteruskan
tanpa putus melalui para penerusnya yang dikenal sebagai Paus. Dari Roma,
kepemimpinan itu menjalar ke seluruh dunia, meneguhkan iman dan menyatukan umat
lintas bangsa serta budaya. Kini, pengganti Petrus adalah Paus Leo XIV, Paus
ke-267, yang melanjutkan tugas sebagai gembala universal. Dengan demikian,
janji Yesus tentang Gereja yang dibangun di atas batu karang tetap hidup,
terwujud dalam kontinuitas suksesi kepausan dan pelayanan sakramen selama lebih
dari dua milenium.
Namun Petrus juga manusia biasa. Ia penuh semangat,
tetapi goyah. Di malam penyaliban, ia menyangkal Yesus tiga kali, lalu menangis
pahit. Justru dalam kelemahan itulah lahir kerendahan hati, yang kelak
diteguhkan kembali oleh Yesus di tepi Danau Galilea: “Gembalakanlah
domba-domba-Ku” (Yoh 21:15–19).
Sejak hari Pentakosta, Petrus berdiri sebagai pemimpin
Gereja perdana. Khotbahnya mengguncang Yerusalem; tiga ribu orang dibaptis
dalam satu hari (Kis 2:41). Ia menyembuhkan, mewartakan, berhadapan dengan
Sanhedrin, bahkan keluar masuk penjara. Dari seorang nelayan sederhana, ia
berubah menjadi batu karang yang teguh.
Langkahnya kemudian sampai ke Kaisarea, rumah
Kornelius, perwira Romawi. Petrus menerima wahyu bahwa Injil tak lagi terbatas
untuk satu bangsa. “Allah tidak memandang bulu,” katanya (Kis 10:34–35).
Keputusan ini menandai loncatan besar: iman Kristen bersifat universal. Konsili
Yerusalem (Kis 15) meneguhkan sikap Petrus, membuka jalan bagi bangsa-bangsa
non-Yahudi untuk diterima tanpa syarat hukum Taurat.
Perjalanan Petrus berakhir di Roma. Tradisi Gereja
Katolik menyebut ia wafat sebagai martir pada masa Kaisar Nero, sekitar tahun
64–67 M. Menurut Eusebius dari Kaisarea dalam Historia Ecclesiastica
(abad ke-4), yang mengutip Origenes (†253), Petrus disalibkan di Roma. Tradisi
menambahkan bahwa ia disalibkan terbalik karena merasa tidak layak mati seperti
Kristus. Fakta arkeologis mendukung tradisi itu: di bawah Basilika Santo
Petrus, Vatikan, ditemukan kompleks pemakaman yang dipercaya sebagai makam
Petrus, hasil penggalian tahun 1940-an pada masa Paus Pius XII.
Di sisi lain, muncul Paulus, sang rasul yang datang
terlambat tetapi dengan api yang tak kalah menyala. Dari penganiaya jemaat, ia
berbalik menjadi pewarta bangsa-bangsa. Ia mengajarkan Injil hingga Yunani dan
Roma, menulis surat-surat yang menjadi pilar teologi Kristen. Jika Petrus
adalah simbol kesatuan Gereja yang tampak, Paulus adalah wajah dinamis dari
pewartaan Injil tanpa batas.
Keduanya akhirnya bermuara di kota yang sama: Roma,
jantung kekaisaran. Petrus di tiang salib, Paulus di hadapan pedang algojo.
Darah mereka mengalir di tanah yang sama, menjadi benih Gereja yang hidup.
Itulah sebabnya Gereja Katolik menghormati keduanya sebagai rasul utama, dua pilar yang menyangga tubuh Kristus. Satu melambangkan dasar dan otoritas, yang lain melambangkan gerak dan misi. Setiap 29 Juni, Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, umat Katolik di seluruh dunia mengenang keduanya dalam satu perayaan iman: batu karang dan pewarta, pondasi dan dinamika, yang bersatu dalam kasih Kristus.
Santo Paulus, Rasul Utama Saksi dan Pewarta Yesus sejati
Santo Paulus, yang pada awalnya dikenal sebagai Saulus
dari Tarsus, lahir sekitar tahun 5–10 M di kota Tarsus, Kilikia (Kis 22:3). Ia
berasal dari keluarga Yahudi suku Benyamin (Flp 3:5), tetapi sekaligus memiliki
kewarganegaraan Romawi (Kis 22:25–29). Saulus dididik dengan ketat dalam hukum
Taurat di bawah Rabi Gamaliel (Kis 22:3), menjadikannya seorang Farisi yang
tekun.
Pada awalnya, Saulus adalah penganiaya jemaat Kristen.
Ia hadir saat Stefanus dirajam mati (Kis 7:58–8:1) dan dengan giat mengejar
pengikut Kristus (Kis 8:3). Namun, peristiwa besar terjadi saat ia dalam
perjalanan ke Damsyik. Yesus menampakkan diri kepadanya dengan cahaya yang
menyilaukan, membuatnya buta selama tiga hari (Kis 9:1–19). Melalui Ananias, ia
menerima kembali penglihatannya, dibaptis, dan mulai mewartakan bahwa Yesus
adalah Mesias. Pertobatan ini menjadi titik balik yang monumental, menandai awal
hidup Paulus sebagai rasul Kristus.
Gelar Paulus sebagai “rasul bangsa-bangsa non-Yahudi” ditegaskan dalam Kitab Suci:
“Sebab Aku ini adalah rasul untuk bangsa-bangsa lain” (Rm 11:13).
“Ketika mereka melihat bahwa aku dipercayakan untuk memberitakan Injil kepada orang-orang tak bersunat, sama seperti Petrus kepada orang-orang bersunat” (Gal 2:7).
Paulus melakukan tiga perjalanan misi besar
(Kis 13–21), menanam dan menguatkan komunitas Kristen di Asia Kecil, Yunani,
hingga Roma. Surat-suratnya (misalnya Roma, 1–2 Korintus, Galatia, Efesus,
Filipi, Kolose, Tesalonika, Timotius, Titus, dan Filemon) menjadi bagian
kanonis Perjanjian Baru. Tulisan-tulisan ini berisi ajaran teologis mendalam
mengenai iman, rahmat, kasih, pembenaran oleh iman, dan hidup baru dalam
Kristus.
Paulus menghadapi banyak penderitaan demi Injil: ia
dipenjara, dicambuk, dirajam, dan mengalami kapal karam (2 Kor 11:23–28).
Setelah ditangkap di Yerusalem (Kis 21:27–36) dan ditahan di Kaisarea (Kis
24–26), ia mengajukan banding kepada Kaisar sebagai warga Romawi. Kisah Para
Rasul berakhir dengan Paulus memberitakan Injil di Roma (Kis 28:30–31).
Tradisi Gereja menyebut bahwa ia wafat sebagai martir
di Roma, sekitar tahun 64–67 M, dipenggal dengan pedang pada masa Kaisar Nero.
Paulus lahir dari latar belakang yang unik: seorang Yahudi dari Tarsus,
dididik di bawah bimbingan Gamaliel, dan taat pada hukum nenek moyangnya (Kis
22:3; Flp 3:5). Identitasnya yang ganda, sebagai orang Ibrani sekaligus warga
Romawi, kelak memberinya posisi istimewa dalam menjembatani dunia Yahudi dan
Yunani-Romawi. Namun, awal perjalanannya tidak langsung menuju Kristus. Ia
justru dikenal sebagai penganiaya jemaat, hadir ketika Stefanus dirajam (Kis
7:58), bahkan dengan tekun mengejar orang-orang Kristen hingga ke rumah-rumah
(Kis 8:1–3; Gal 1:13).
Segalanya berubah drastis di jalan menuju
Damsyik. Dalam kisah yang berulang kali diceritakan (Kis 9:1–19; Kis 22:6–16;
Kis 26:12–18), Paulus mengalami perjumpaan langsung dengan Kristus yang
bangkit. Dari sosok yang penuh amarah, ia dijatuhkan, dibutakan, lalu
dipulihkan. Pertobatan ini bukan sekadar perubahan batin, melainkan panggilan
misi. Ia diutus bukan hanya bagi bangsanya sendiri, tetapi sebagai “rasul bagi
bangsa-bangsa lain” (Rm 11:13; Gal 2:7–8).
Sejak itu, Paulus menghidupi panggilannya
dengan harga yang mahal. Dalam suratnya, ia mencatat penderitaan demi
penderitaan: dipenjara, didera, karam kapal, lapar, haus, dan menghadapi bahaya
dari segala arah (2 Kor 11:23–28). Namun penderitaan itu justru mengukuhkan
kesaksiannya. Baginya, Injil lebih berharga daripada kenyamanan hidup. Dari
penganiaya menjadi pewarta, Paulus menjelma ikon perubahan radikal yang hanya
mungkin terjadi ketika kasih Allah mengambil alih seluruh hidup manusia.
Di akhir perjalanannya, Paulus tiba di Roma, pusat kekaisaran yang juga menjadi panggung terakhir pelayanannya. Selama dua tahun penuh ia tinggal di rumah sewaan dengan pengawasan tentara, namun situasi itu tidak menghalanginya untuk berkarya.
Kitab Kisah Para Rasul mencatat bahwa ia menyambut semua orang
yang datang kepadanya, mewartakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Yesus
Kristus dengan penuh keberanian dan tanpa hambatan (Kis 28:30–31). Roma, yang
semula tampak sebagai belenggu, justru menjadi mimbar universal bagi
pewartaannya.
Petrus dan Paulus satu paket
Petrus dan Paulus kerap dipandang Gereja sebagai dua wajah
dari satu misteri yang sama. Petrus dipilih langsung dari lingkaran terdalam
murid-murid Yesus, seorang nelayan Galilea yang dijadikan batu karang tempat
Gereja didirikan (Mat 16:18–19). Sementara Paulus muncul “di luar waktu,” bukan
bagian dari Dua Belas Rasul, tetapi dipanggil secara langsung oleh Kristus yang
bangkit di jalan menuju Damsyik (Kis 9:1–19).
Dalam hermeneutika alkitabiah, keterpautan mereka justru
menyatakan kelengkapan rencana Allah: Petrus mewakili kesinambungan historis
dari Yesus ke Gereja, Paulus mewakili dinamika pewartaan Injil yang menembus
segala batas bangsa dan budaya.
Paulus sendiri menegaskan identitasnya: “Aku ini rasul bagi
bangsa-bangsa lain” (Rm 11:13). Ia tidak berdiri di luar tradisi apostolik,
melainkan melengkapinya. Galatia 2:7–8 memperlihatkan adanya “pembagian wilayah
kerasulan” Petrus diutus bagi orang bersunat, Paulus bagi bangsa-bangsa lain; namun keduanya diikat oleh sumber yang sama:
Kristus yang hidup.
Dari perspektif hermeneutika, hal ini menggarisbawahi
prinsip bahwa misi Gereja selalu memiliki dua poros: kesetiaan pada akar
(Petrus) dan keberanian melangkah keluar menuju horizon baru (Paulus). Tanpa
keduanya, Gereja pincang; dengan keduanya, Gereja kokoh sekaligus bergerak.
Tradisi kemudian menyatukan mereka di Roma, jantung
kekaisaran. Petrus mati di tiang salib terbalik, Paulus dihadapkan pada pedang
algojo. Darah mereka, yang tercurah di tanah yang sama, menjadi benih Gereja
yang terus hidup. Teologisnya, kesyahidan mereka menegaskan bahwa kepemimpinan
Gereja bukan sekadar struktur hierarkis, melainkan kesaksian total kepada
Kristus.
Petrus dan Paulus bukan dua kisah terpisah. Kedua tokoh penting Gereja ini satu paket providensial, simbol keutuhan Gereja berdiri di atas batu karang yang bergerak dengan daya Roh.
Sekaligus Petrus dan Paulus menyatukan dasar dan misi dalam tubuh Kristus
yang satu, kudus, Katolik, dan apostolik.
Jakarta, 21 September 2025